Ambil Semua Ijazahku Ini, Beri Aku Seorang Suami!

Salah satu kenyataan yang terjadi di masyarakat kita saat ini, banyak wanita yang lebih mementingkan karier ketimbang pernikahan. Hal ini terjadi karena keinginan pribadi untuk mendapatkan kesenangan hidup, harta, jabatan, kedudukan, dst. Ditambah lagi sebagian orang tua, keluarga dan masyarakat terus menekan mereka untuk bekerja, melanjutkan studi, dan meraih titel tertinggi, sehingga bisa memperoleh penghasilan yang banyak. Akibatnya, banyak diantara mereka yang akhirnya “ketinggalan kereta” dan menjadi perawan tua.

Sebagai seorang muslim, ini perlu kita renungkan. Bisa jadi ini adalah balasan dunia ketika seorang telah mengganggap nikah itu adalah sebuah penghalang, karena secara tidak langsung ia telah membenci sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Nikah itu adalah ajaran Rasulullah, barang siapa yang merasa tidak suka maka dia bukan lagi ummat Nabi. Perhatikan hadits berikut:

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.” Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari: 5063, Muslim: 1401)

Dalam hadits di atas, orang yang mengatakan tidak mau menikah ini pada dasarnya karena niat baik yaitu ingin lebih fokus untuk ibadah bukan karena untuk mencari dunia. Namun meskipun demikian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam marah dengan pernyataan ini. Lantas bagaimana jika seorang itu tidak mau menikah karena alasan karier dunia?!

Setiap penyelisihan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pasti akan mendatangkan celaka baik disegerakan di dunia atau ditunda nanti di akahirat. Maka menjadi perawan tua, bisa jadi sebuah balasan dunia bagi wanita-wanita yang menganggap bahwa pernikahan itu adalah penghalang karier mereka. Allah berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur: 63)

Mengejar karier berandil besar menjadikan banyak wanita perawan tua. Sebuah survei yang dilakukan oleh salah satu instansi perempuan Maroko terhadap 520 pekerja perempuan Jeddah menunjukkan hanya 250 orang (hampir 50%) dari mereka yang membina rumah tangga.

Survei yang sama juga dilakukan oleh surat kabar Arab Saudi, al-Bilad, terhadap 200 orang perawat perempuan. Hasilnya, 62% berstatus perawan tua.

Padahal jika para wanita itu jujur niscaya mereka akan membenarkan ucapan orang yang mengatakan bahwa kebahagiaan seorang wanita itu adalah saat ia berhasil membina rumah tangga. Menjadi istri terbaik bagi suaminya serta ibu yang dicintai oleh anak-anaknya.

Salah seorang staf pengajar perempuan di salah satu perguruan tinggi di Inggris berpesan kepada para mahasiswinya seusai menyampaikan materi kuliah:

“Inilah aku, perempuan umur enam puluh tahun. Di usia seperti ini, aku telah meraih titel dan puncak kesuksesan. Tahun demi tahun, usiaku terus bertambah. Masyarakat melihatku sebagai orang sukses, karena dapat menggapai karier yang cemerlang. Tetapi, apakah aku merasakan kebahagiaan setelah mendapatkan semuanya? Sama sekali tidak. Tugas utama perempuan sesungguhnya adalah menikah dan membentuk sebuah keluarga. Kerja keras apalagi yang harus dilakukannya setelah itu apabila hasilnya sama sekali tidak bermanfaat bagi kehidupan pribadinya.”

Sebagian kaum perempuan menzalimi diri mereka sendiri dengan menghalangi dirinya untuk menikah dengan alasan studi atau karier. Ketika orang tuanya berusaha mencukupinya untuk menikah, ia malah menolak dan lebih memilih untuk menyelesaikan studinya.

Seiring berlalunya waktu, ia tidak menyadari bahwa dirinya telah “ketinggalan kereta”. Para lelaki yang berhasrat meminangnya pun sudah tidak berkenan lagi dan berpaling kepada yang lain. Akhirnya, tinggallah dia sebagai seorang yang terkukung di rumah orang tuanya.

Setelah itu, silahkan ia banggakan ijazahnya yang tidak bisa menghadirkan seorang bocah pun untuknya. Anak yang bisa mengisi hatinya dengan keceriaan dan kebahagiaan ketika ia mendengarnya memanggil-manggil: “Ibu! Ibu!” Betapa banyak perempuan yang menyesal karenanya. Sampai-sampai, salah seorang dokter perempuan berkata: “Ambil semua ijazahku ini dan beri aku seorang suami!” (Disarikan dari Zhulmul Mar’ah karya Muhammad bin Abdullah al-Habdan, diterjemahkan dengan judul Melawan Kezholiman Terhadap Wanita)

Oleh karenanya, mari mengubah cara pandang itu. Jangan sampai kita hanyut dalam arus pemikiran-pemikiran yang seolah air segar tapi hakikatnya adalah racun yang mematikan. Jangan terpengaruh dengan pandangan orang, karena kita tidak hidup untuk mereka. Apa gunanya karier yang tinggi sedangkan kita tidak mendapati kebahagian dalam diri kita sendiri.

Ingatlah bahwa kita hidup untuk mencari kebahagiaan diri, baik kebahagiaan dunia maupun kebahagian akhirat. Bukan mencari decak kagum manusia. Tidak ada salahnya kita merenungkan kembali sebuah nasehat lama: “Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.”

Selesai ditulis di rumah mertua tercinta, Jatimurni Bekasi, Kamis 25 Shafar 1441 /24 Okt 2019, 10:48 WIB

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !