ANTARA SORBAN DAN BLANGKON (Art.Refleksi Hikmah)

Katanya, di antara perbedaan antara bangsa Arab dan bangsa Indonesia adalah dalam hal falsafah hidup. Falsafah hidup bangsa Arab itu seperti sorban sedangkan bangsa Indonesia seperti blangkon. 

Meski sama-sama penutup kepala namun keduanya punya perbedaan. Sorban sama bentuk luar, dalam, depan dan belakangnya, sedangkan blangkon depannya biasa tapi belakang ada bendolannya.
Tak jauh-jauh dari itu, begitulah watak masing-masing bangsa tersebut. Bangsa Arab itu ibarat sorban antara yang tampak dengan yang ada di hatinya sama. 
Jika mereka senang mereka akan mengatakan senang dan jika mereka tidak suka mereka akan mengatakan tidak suka. Apabila terjadi perselisihan, mereka dengan mudah akan melupakan. Makanya tidak heran jika paginya mereka sikut-sikutan, di petang harinya sudah kembali rangkulan tangan.
Lantas bagaimana dengan blangkon? Ya seperti bentuknya, antara depan dengan belakangnya ada perbedaan yang mencolok. Di luar mengatakan senang namun dalam hati bersemayam kejengkelan dan dendam yang luar biasa. 
Dan yang lebih parah, jika terjadi perselisihan maka sakit hatinya bisa dibawa mati atau mungkin juga diwariskan. 
Di kampung saya ada sepasang kakak beradik. Yang namanya hidup tentu tak selamanya landai. Karena satu dan lain hal, terjadi cekcok antar keduanya. Yang tua tak mau mengalah yang kecil juga tak mau kalah, akhirnya mereka tetap berselisih sampai hari ini. Padahal seingat saya percekcokan itu terjadi pada sepuluh tahun yang lalu. 
Memang ketika mereka bertemu seolah mereka telah melupakan semuanya, namun dari sinar mata mereka masih terpancar kebencian yang tak kunjung padam.
MENYIKSA DIRI
Jika kita mau merenungkan, kita akan tahu bahwa seorang pendendam itu adalah dia yang sedang menikmati penyiksaan terhadap dirinya sendiri. 
Kenapa tidak? Seharusnya ia punya ruang kosong dalam hatinya. Ia bisa saja mengisi ruang itu dengan kebahagian atau membiarkannya kosong menunggu kebahagian baru datang. Namun ia lebih memilih mengisinya dengan kebencian, mempersilakannya masuk dan kemudian memberikan izin tinggal. 
Dia sendiri yang akhirnya membebani diri. Ketenangan hati hilang lantaran adanya kebencian. Padahal Allah berfirman:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

“Dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu) kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri.” (QS. al-Baqarah: 195) 
Oleh sebab itu, jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci dalam kehidupan ini. Benci kepada seseorang, kecewa, marah. Tapi ingat nasehat lama; tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri.
JADILAH PEMAAF
Pahamilah, bahwa sebenarnya saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah dan kita benar. Apakah orang itu jahat atau aniaya. Akan tetapi, kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati. Dengan kedamaian hati itulah kita hidup bahagia, sesuatu yang selama ini kita cari. 
Maafkanlah sebab hanya dengan itu kita bisa merengkuh kedamaian. Balaslah keburukan dengan kebaikan dan ingat bahwa mudah memaafkan adalah salah satu ciri penghuni surga. 
Allah berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ 
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang di sediakan  bagi orang orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 133-134)
Mari kita lihat sejarah hidup panutan kita; Nabi Muhammad. Ketika terjadi fathu Makkah di tahun 8 H, setelah beliau dengan karunia Allah dapat menaklukannya dan masuk ke Masijidil Haram, beliau berdiri di pintu Ka’bah memandangi massa yang hadir, mengamati wajah-wajah orang-orang kafir. Kemudian bersabda:

“Wahai sekalian orang-orang Quraisy, menurut kalian apa yang akan aku perbuat terhadap kalian?”
Mereka menjawab: “Engkau akan berbuat baik pada kami, engkau adalah saudara yang baik hati putra saudara kami yang baik hati.”
Dengan entengnya mereka mengatakan hal itu. Padahal, semuanya terlintas kala itu; kenangan-kenangan yang menyakitkan. Apa yang mereka lakukan terhadap Nabi dan umat Islam sebelumnya. Pengusiran, penyiksaan, hinaan serta caci maki mereka. 
Ini Bilal ada di sini, sementara bekas-bekas penyiksaan masih ada di punggungnya. 
Ini Ammar juga berdiri di sini, sementara peristiwa itu masih segar di pelupuk matanya, bagaimana mereka tanpa belas kasih membunuh ayah dan ibunya. 
Masih tergiyang tangisan bayi, rintihan orang tua, serta orang-orang papa saat mereka memboikot Nabi berserta orang-orang Islam yang lemah selama tiga tahun di lembah Bani Amir, penderitaan demi penderitan sampai-sampai mereka harus memakan dedaunan karena kelaparan. 
Sebenarnya beliau mampu menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada mereka, karena beliau sedang berada di puncak, sementara mereka (orang-orang kafir Quraisy) tidak lagi memiliki kekuatan, mereka tak ubahnya seorang pencundang yang tengah menunggu putusan.
Namun beliau tidak melakukannya. Beliau lebih memilih menjadi pemaaf ketimbang membalas dendam dan meluapkan kebencian.
Beliau bersabda: “Pergilah kalian! Kalian bebas!”

BUKA LEMBARAN BARU
Kesalahan itu ibarat halaman kosong yang tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, penghapus canggih, atau dengan apa pun. Akan tetapi, tetap akan tersisa bekasnya dan tidak akan hilang. 
Agar semua benar-benar bersih, hanya ada satu jalan keluarnya; “Bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.”
Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan ada lagi kata tapi, tapi dan tapi. Tutup lembaran yang tidak menyenangkan itu.
Memang tidak mudah melakukannya, butuh waktu dan kesungguhan. Tapi kalau tidak sekarang kita mulai, kapan lagi? Bertahun-tahun kita berkutat membolak-balik halaman yang tercoret itu hingga tidak pernah maju. 
Mulailah hari ini untuk melupakan semuanya. Biarkan kenangan itu pergi, tengelam bersama mentari. Curahkanlah segenap kesungguhan. Yakin dan percaya bahwa Allah akan memberikan jalan.
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ 
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk mencari keridaan Kami maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut: 69)
Semoga bermanfaat.
Zahir  al-Minangkabawi

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !