Bangga Karena Anak Sukses Ekonominya??

Umumnya orang tua bangga tatkala anaknya sukses ekonomi dan sehat badannya, padahal sukses ekonomi belum mesti diperoleh dengan jalan yang halal atau belum mesti bahagia. Begitu pula badan yang sehat, belum mesti Allah ﷻ meridhainya, karena orang kafir pun banyak yang kaya dan sehat badannya. Maka keliru jika orang tua bangga karena anaknya sukses ekonomi dan sehat badan, bila tidak disertai dengan iman dan takwa.

ANAK SEHAT BADAN DAN KAYA, TETAPI BERMAKSIAT

Bisa jadi anak badannya sehat, mendapatkan limpahan rezeki namun ia adalah orang yang gemar maksiat. Ia mencari rezeki dengan jalan yang haram; mencuri, berjudi, memakan riba. Ketahuilah, bahwa mendapatkan limpahan kekayaan dan badan sehat seperti itu bukanlah suatu tanda kemuliaan, namun itu adalah istidraj. Istidraj artinya, suatu jebakan berupa kesehatan badan dan kelapangan rezeki, meskipun yang diberi dalam keadaan terus bermaksiat pada Allah ﷻ.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Bila kamu melihat Allah ﷻ memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (Al-Mu’jam al-Kabir no. 14327, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami no. 561)

Allah ﷻ berfirman,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. al-An’am: 44)

Syaikh as-Sadi رحمه الله menjelaskan ayat di atas; “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagai pintu dunia dan kelezatannya (yang fana). Mereka pun lalai. Sampai tatkala mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah siksa mereka secara tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar. (Tafsir as-Sadi hal. 260)

KESEHATAN HATI ANAK ADALAH KEBAHAGIAAN HAKIKI

Kesehatan yang sebenarnya, yang menyejukkan hati orang tua dan anak adalah kesehatan hati anak yang berilmu agama, beramal shalih, dan mau berdakwah dengan penuh kesabaran. Inilah kesehatan yang menggembirakan orang tua di dunia dan di akhirat. Hal ini bisa kita bayangkan, bahkan buktikan. Ketika anak sehat badannya, dia bisa mencari rezeki sendiri, bahkan bisa membantu orang tuanya, tetapi dia nakal, berjudi, minum minuman keras, berhutang tidak dibayar, menipu, dsb. Tidakkah orang tua sedih jika didatangi banyak orang karena kasus (ulah) anaknya sendiri?

Sebaliknya, jika anak kita rezekinya pas-pasan, tetapi ahli ibadah, dengan orang tua baik akhlaknya, meski orang tua tidak dibantu ekonominya, maka orang tua yang beriman tentu lebih bisa bergembira.

Allah ﷻ memberitahu kita semua, bahwa kemuliaan seseorang adalah ketakwaan hati yang mau melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal. (QS. al-Hujurat: 12)

Rasulullah ﷺ mengabarkan, bahwa kesehatan hati, seperti ikhlas beramal mencari ridha Allah adalah yang dinilai. Beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat badan dan penampilanmu akan tetapi melihat hatimu.” (HR. Muslim: 2564)

Begitulah pentunjuk Allah ﷻ dan sabda Rasulullah ﷺ, cukup gamblang menjelaskan bagi kita yang beriman, bahwa hakikat kebahagiaan orang tua terhadap anaknya, ialah gembira tatkala anak dapat mengilmui agama dan beramal shalih, bukan sekadar sehat fisik, kaya, tetapi penggemar dosa.

BERGEMBIRA YANG KELIRU DAN BERBAHAYA

Terkadang anak merasa bangga dan gembira karena dia mendapatkan rezeki, padahal dia memperolehnya dengan mencuri dan menipu, dia selamat tidak tertangkap, orang-orang tua pun merasa bangga pula karena dapat bantuan dari anaknya dari hasil yang haram. Terkadang orang tua berkata, “saya sudah bahagia sekarang. Anak-anak saya semuanya sudah ‘jadi’, sudah berhasil semua. Saya bangga, anak pertama wakil direktur pabrik rokok, anak kedua saya jadi koordinator umum di urusan bea cukai, anak ketiga menjadi direktur perusahan rambut palsu, putri yang keempat pimpinan pemasaran minuman keras, dan seterusnya”. Inilah kegembiraan yang keliru dan sangat berbahaya. Padahal Allah ﷻ mengingatkan pelaku perbuatan haram dan keji ini dengan firman-Nya:

أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

Maka apakah mereka merasa aman dari makar Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. al-A’raf: 99)

Syaikh as-Sadi رحمه الله menjelaskan ayat di atas, “Ayat ini adalah ancaman Allah yang harus ditakuti oleh setiap hamba. Bahwa tidak layak seorang hamba yang beriman merasa aman dari siksa Allah atas perbuatan dosanya. Tetapi hendaknya senantiasa merasa takut kepada Allah, menghadapi bala’ yang bisa mengurangi keimanannya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman 1/298)

Seharusnya seorang muslim menjaga kehormatan dirinya dan anak-anaknya, jangan sampai menyusut imannya karena dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَزْنِي الْعَبْدُ حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَقْتُلُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah berzina seorang hamba yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan sempurna beriman, dan tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan sempurna beriman, tidaklah ia meminum khamer saat meminumnya dan ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah dia membunuh sedang dia dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari: 6807)

ANAK KAYA BUKAN UKURAN KEBAHAGIAAN

Sungguh amat keliru jika orang tua punya anggapan, bahwa anak kaya menandakan Allah mencintainya dan menunjukkan kebahagiaan hakiki. Karena kita saksikan orang kafir umumnya lebih kaya dan lebih menjaga kesehatan badan mereka, tetapi Allah ﷻ membencinya karena kekufuran dan kemaksiatannya. (Lihat QS. Saba: 35)

Ini memang benar prinsipnya orang kafir, karena mereka penyembah dunia. Mereka sama sekali tidak berpikir kehidupan di akhirat. Allah ﷻ mengabarkan, bahwa dengan ditangguhkan mereka menganiaya orang yang beriman dan mereka berbuat curang, tetap sehat dan kaya, lalu apakah Allah membiarkan mereka? Tidak, pasti Allah akan menimpakan hukuman saat tiba masanya kelak. Firman-Nya:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguhan kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (QS. Ali Imran: 178)

Kekayaan dan badan yang sehat tanpa iman, bukanlah tolak ukur kebaikan manusia, tetapi justru itu ujian bagi mereka. Rasulullah ﷺ bersabda:

إنَ اللهَ يُعطٍي الدُنْياَ مَنْ يُحِبُ وَمَنْ لاَ يُحِبُ وَلَاَ يُعْطِي الإيْماَنَ إلاَ مَنْ يُحِبُ

“Sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada orang-orang yang Dia cintai dan orang-orang yang tidak Dia cintai. Tetapi Dia tidak memberikan keimanan kecuali hanya kepada orang-orang yang Dia cintai saja.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 6/482)

KEKAYAAN ANAK YANG SEBENARNYA

Istilah kaya dan miskin menurut bahasa dan yang dimaklumi orang awan, ialah mereka yang memiliki harta yang banyak, itulah orang kaya. Sebaliknya, orang miskin adalah yang serba kurang kebutuhan hariannya. Namun ketahuilah! kaya yang mesti membahagiakan kehidupan dunia dan akhirat adalah kekayaan hati. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari: 6446, -Syamilah-)

Imam an-Nawawi رحمه الله menjelaskan hadits ini, “Kaya yang terpuji ialah kaya hati, merasa cukup dengan pemberian Allah yang dia terima, tidak tamak mencarinya. Bukan yang dinamakan kaya, orang yang banyak hartanya namun masih rakus mencari tambahan. Karena orang yang selalu mencari tambahan rezeki, berarti dia merasa kurang dengan pemberian yang ada, dan dia bukan dinamakan orang yang cukup atau kaya.” (Syarh Shahih Muslim 4/3, -Syamilah-)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رحمه الله menjelaskan mengenai ciri kebahagiaan, “Jika diberi (kenikmatan) maka ia bersyukur, jika diuji (dengan musibah) ia bersabar dan jika melakukan dosa ia beristigfar (bertaubat). Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.” (Matan al-Qawaid al-Arba)

KEBAHAGIAAN YANG SEBENARNYA

Kebahagiaan yang hakiki adalah bahagia jika melaksanakan perintah Allah dan merasa sedih jika melakukan kemaksiatan.
Jadi, jika kita berat melaksanakan ibadah seperti; shalat, puasa, menuntut ilmu, atau berat melaksanakan amalan-amalan sunnah, maka itu adalah tanda tidak bahagia.

Kemudian jika kita melakukan maksiat –na’udzubillah- tetapi kita tenang-tenang saja, bahkan merasa senang, atau yang lebih parah tidak tahu bahwa hal yang kita lakukan adalah maksiat dan dilarang oleh agama, maka ini adalah makar. Perhatikan perkataan Ibnu Masud رضي الله عنه berikut:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir atau pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangannya untuk mengusir lalat tersebut.” (Diriwayatkan oleh Bukhari: 6308, -Syamilah-)

Semoga kita dikarunia oleh Allah ﷻ anak yang shalih dan shalihah yang membahagiakan di dunia dan di akhirat. Aamiin…

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc adalah mudir Ma'had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Beliau juga merupakan penasihat sekaligus penulis di Majalah Al-Furqon dan Al-Mawaddah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !