BIBIT DAN RAIN (Art.Refleksi Hikmah)

Ada yang bilang, kehidupan itu sejarah yang berulang. Apa yang pernah terjadi di masa lampau akan terjadi lagi di hari ini dan juga mungkin esok hari. Hanya berbeda tempat dan pelakunya saja.

Jika kita membaca sejarah kemunculan Islam, niscaya kita akan mendapati kisah yang sangat luar biasa. Hati kita akan bercampur aduk dengan beragam perasaan, gabungan antara haru, bahagia, prihatin, dan geram.

Perjuangan yang menakjubkan dari seorang Rasul dalam menyampaikan risalah untuk menyelamatkan manusia dari kecelakaan. Dibantu oleh manusia-manusia pilihan yang tidak sedikit dari mereka yang merupakan keluarga dekat. Sebut saja, Khadijah, Hamzah, Abbas, Abu Thalib, Ali, Utsman, Zubair, dst.

Dan jika diperhatikan, ternyata yang jadi duri dan batu sandungan dari dakwah beliau itu juga bukan “orang jauh.” Dengan kata lain, musuh beliau juga kebanyakan dari keluarga. Sebut saja, Abu Lahab, atau suku Quraisy secara umum. Inilah yang membuat kita geram, akan tetapi itulah takdir Allah, dan semua ada hikmahnya.

ADA CAHAYA DI ANTARA HUTAN JATI

Kami pernah bekunjung ke sebuah desa, tersuruk di dalam hutan. Harus menempuh jalan mendaki menurun untuk sampai ke tempat itu. Dikelilingi oleh bukit-bukit dan hutan jati. Dengan masyarakat yang dahulu terkenal dengan praktek perdukunan dan juga “penebangan liar.” Bahkan, yang terakhir ini seolah telah mendarah daging sampai sekarang. Ini bukan pendapat saya, tetapi pengakuan dari penduduknya sendiri.

Seorang pemuda, saya memanggilnya Mas Yuri bercerita, bagaimana dahulu di masa kecil ia sudah dilatih untuk menguasai beberapa trik agar sukses dalam misi penebangan liar kayu jati. Saya sempat juga diajari beberapa di antaranya. Bagaimana cara membuat agar kampak tidak berbunyi ketika dihujamkan ke pohon jati dan juga cara melarikan diri dari kejaran polisi atau penjaga. Sungguh sangat luar biasa.

Namun Allah dengan hikmah-Nya, menakdirkan cahaya Islam yang bersih muncul dari desa ini. Dan yang menjadi pionernya adalah sejumlah orang yang semuanya hampir bisa dikatakan masih punya hubungan satu dengan yang lain. Entah melalui hubungan nasab atau pernikahan.

KESEDERHANAAN, KEKELUARGAAN, DAN SEMANGAT GOTONG ROYONG

Saya yakin, Anda akan haru jika melihat mereka, apalagi mendengar cerita panjang perjalanan hidup mereka. Jujur, saya menangis tatkala melihat dan berbaur langsung dengan mereka. Padahal, baru dua kali saya berkunjung kesana.

Sebelumnya, saya kira bahwa kekompakan, jiwa gotong-royong, bantu membantu ibarat tangan itu, hanya ada pada cerita orang-orang tua dahulu. Saya menduga hal itu tak ada lagi di zaman ini, karena semua telah berubah. Ternyata, saya salah.

Tak kuasa saya membendung air mata, saat melihat semangat mereka dalam kebaikan. Dalam hal menuntut ilmu, saya berani mengatakan mereka telah mengalahkan semangat sebagian besar santri. Dalam hal gotong royong, sangat mengharukan. Anda tahu, yang datang mulai dari yang kecil sampai orang tua yang sudah ringkih. Tapi, yang ringkih itu raganya tidak dengan semangat dalam dadanya.

Mereka bukan orang-orang kaya, hanya orang desa biasa. Ada yang bertani, berternak, sebagian tukang kayu atau bangunan, dst. Akan tetapi, menurut saya merekalah orang-orang kaya sesungguhnya.

Meski hidup penuh dengan kesederhanaan atau mungkin juga dengan kemiskinan (Anda tahu, bahwa rumah-rumah mereka masih banyak yang berlantaikan tanah), tapi mereka mampu memberi.

Saya pernah bertanya langsung kepada ketua yayasan yang terlibat langsung dalam pembangunan ini; baik pembangunan fisik (bangunan) maupun mental (spritual keagamaan), “Dari mana Anda mendapatkan dana untuk pembangunan, terutama masjid ini?”

Jawabnya, “Dari tawakkal kepada Allah dan sumbangan masyarakat setempat. Ada yang menyumbang harta, pikiran dan juga tenaga. Pembangunannya hampir bisa dikatakan semuanya dengan gotong royong. Untuk biaya operasional bulanan yang butuh dana lebih kurang 5 Juta, berasal dari sumbangan mereka.”

Dari sini saya katakan, “Mereka orang-orang kaya yang sesungguhnya.” Sebab, kaya bukan masalah duit, tetapi kemampuan memberi kepada orang lain, dan pemberian itu tidak mesti uang. Meski banyak orang yang mempunyai harta yang berlimpah, namun jika belum mampu memberi atau bahkan masih merasa kurang, mereka tetap belum bisa dikatakan kaya.

SEJARAH YANG BERULANG

Saya ingin kaitkan antara apa yang saya utarakan di awal dengan kisah desa ini. Sebagaimana, sejarah kemunculan Islam di zaman Rasulullah, begitu pula yang terjadi di desa tadi.

Yang menerima dakwah dan yang menjadi penolongnya, mereka yang masih ada hubungan keluarga. Sedangkan, yang menjadi duri dan batu sandungannya adalah orang-orang yang juga masih ada hubungan keluarga dengan mereka.

Mereka bercerita, suatu ketika terjadi peristiwa yang hampir berujung pada bentrokan fisik. Jika waktu itu ada sedikit saja percikan api,  mungkin sudah terjadi perang saudara. Pada saat itu, saling berhadapan antara keluaga dengan keluarga. Ada anak dengan bapaknya, kakak dengan adiknya, mertua dan menantu, sahabat dengan sahabat, dan seterusnya.

Mendegar hal itu, pikiran saya langsung ingat dengan peristiwa awal kedatangan Islam. Persis seperti peristiwa di perang Badar, dan benar sabda Rasulullah:

إِنَّ الإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاء . قِيْلَ : مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ الله ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَصْلَحُوْنَ إِذَا فَسَدَ النَّاِس

“Sesungguhnya Islam bermula dalam keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana ia bermula maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Orang-orang yang tetap dalam keshalihan tatkala manusia rusak.” (HR. Abu ‘Ammar ad-Dani dalam as-Sunanu al-Waridah fi al-Fitan, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 3/267)

BIBIT DAN RAIN?

Kembali ke judulnya, Anda tentu bertanya tanya, “Apa hubungan antara cerita saya di atas dengan judulnya; Bibit dan Rain?” Bibit dan Rain itu adalah nama dua kuda yang mengantarkan saya berkeliling desa ini serta menikmati panorama keindahan alam sekitarnya.

Anda tahu, desa apa itu? Namanya Jamprong, sebuah keindahan yang mungkin tak akan pernah terlupakan. Kalau  ada  waktu  luang  berkunjunglah  kesana, Anda  akan  mendapatkan  sesuatu yang mungkin tidak  ada  di  tempat lain.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !