HIKMAH TIDAK TERDENGARNYA ADZAB KUBUR OLEH MANUSIA

Termasuk bagian dari keimanan kepada hari akhir yaitu beriman terhadap apa saja yang terjadi setelah kematian. Di antaranya yaitu beriman dengan adanya adzab kubur. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mengisahkan nasib orang kafir nanti yang tidak mampu menjawab tiga pertanyaan malaikat:

وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ

“Lalu ia dipukul mengunakan alat pemukul yang terbuat dari besi dengan satu kali pukulan, maka ia pun berteriak dengan teriakan yang dapat didengar oleh apa yang ada di dekatnya kecuali jin dan manusia.” (HR. Bukhari: 1374)

Hikmah dari tidak terdengarnya adzab kubur oleh manusia, di antaranya (lihat Syarh Aqidah Washitiyyah Ibnu Al-‘Utsaimin: 2/118):

Pertama, agar manusia tetap mau menguburkan orang yang meninggal dunia. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

فَلَوْلا أَنْ لا تَدَافَنُوا ، لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الَّذِي أَسْمَعُ مِنْهُ

“Kalau bukan karena akan menyebabkan kalian tidak saling menguburkan, niscaya aku akan berdoa kepada Allah agar membuat kalian mendengar sebagian dari adzab kubur yang aku dengar.” (HR. Muslim: 2867)

Kedua, menutupi rahasia (aib dan cela) mayit

Ketiga, agar tidak mengganggu keluarganya, karena jika mereka mendengar bahwa anggota keluarga mereka diadzab kubur niscaya mereka tidak bisa tenang.

Keempat, tidak mempermalukan keluarga, karena orang-orang akan berkata; “Ini anakmu, ini bapakmu, ini saudaramu” dan ucapan yang semisal.

Kelima, bisa jadi menyebabkan kita binasa. Karena ia bukan teriakan ringan, akan tetapi teriakan yang dapat membuat jantung copot, membuat manusia mati atau pingsan.

Keenam, agar tidak menghilangkan hikmah beriman kepada yang ghaib. Karena apabila manusia dapat mendengar orang-orang yang sedang diadzab tentu masalah adzab kubur masuk dalam hal beriman kepada yang nyata, bukan beriman kepada yang ghaib. Dalam kondisi itu, maka hilanglah mashlahat ujian, karena bisa dipastikan manusia akan beriman kepada sesuatu yang mereka lihat. (Art0276)

Referensi:
1. Syarh Tsalatsatul Ushul, Dar ats-Tsurayya
2. Syarh al-Aqidah al-Washitiyah Ibnu al-Utsaimin, Dar Ibn al-Jauzi

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !