Ketika Memberi Nafkah Hadirkan Niat Agar Bernilai Ibadah

Riyadhush Shalihin Bab 36 – Nafkah Kepada Keluarga

3/291 – Dari Ummu Salamah dia berkata, aku bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لِي مِنْ أَجْرٍ فِي بَنِي أَبِي سَلَمَةَ أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْهِمْ وَلَسْتُ بِتَارِكَتِهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا إِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ قَالَ نَعَمْ لَكِ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ

Wahai Rasulullah, apakah aku mendapatkan pahala bila aku berinfak kepada anak-anak Abu Salamah, dan aku tidak meninggalkan mereka dalam banyak hal. Sesungguhnya mereka adalah anak-anakku.” Beliau menjawab: “Ya, kamu akan mendapatkan pahala atas apa yang kamu nafkahkan pada mereka.” (HR. Bukhari: 5369, Muslim: 1001)

4/292 – Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

Dan kamu tidaklah menginfakkan suatu nafkah yang kamu hanya niatkan mencari ridha Allah kecuali kamu pasti diberi balasan pahala atasnya bahkan sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk mulut isterimu. (HR. Bukhari: 1295, Muslim: 1628)

5/293 – Dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah.” (HR. Bukhari: 5351, Muslim: 1002)

Faidah hadits:

1. Diantara pintu ketaatan yang sangat dimotivasi oleh agama adalah nafkah kepada keluarga. Hal ini untuk mengingatkan orang-orang yang lalai atau tidak mengerti bahwa nafkah kepada keluarga adalah ketaatan dan jalan menuju surga.

2. Kebiasaan akan menjadi sebuah ibadah apabila disertai dengan niat. Nafkah apabila ditunaikan begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan tanpa menghadirkan niat ibadah maka makan menjadi pelepas kewajiban saja. Berbeda halnya apabila diniatkan, maka dia akan menjadi bernilai ibadah.

Salah satu perbedaan kita dengan salafush shalih adalah dalam masalah adat dan ibadah ini. Jika kita membawa kitab-kitab raqa’iq (tazkiyatun nafs), niscaya kita akan menemukan ungkapan berikut:

عَادَتُهُمْ عِبَادَةٌ وَ عِبَادَتُنَا عَادَةٌ

Adat (kebiasaan) mereka adalah ibadah, sedangkan ibadah kita adalah kebiasaan semata.”

Bagaimana mereka bisa menjadikan kebiasaan menjadi ibadah? Jawabnya, dengan niat. Mereka meniatkan semua kebiasaan hidup mereka sehari-hari sebagai penunjang dan penopang ibadah mereka kepada Allah, sedangkan Rasulullah mengatakan:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai yang diniatkan.” (HR. Bukhari: 6953, Muslim: 1907)

Makanya tidak heran kebiasaan mereka bernilai ibadah. Salah seorang sahabat pernah mengatakan:

أَمَّا أَنَا فَأَقُومُ وَأَنَامُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي

“Adapun aku, maka aku bangun (shalat malam) dan juga tidur. Dan aku berharap dengan tidurku sebagaimana yang aku harapkan ketika aku bangun (shalat).” (HR. Bukhari: 6923, Muslim: 1733)

Maksudnya, ia juga mengharapkan pahala dengan tidurnya. Dengan niat menjadikan tidurnya tersebut sebagai wasilah dan usaha untuk membuatnya semangat dalam beribadah.

Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah, suatu ketika ia pernah dijumpai oleh seorang sahabatnya dalam keadaan menangis. Sahabatnya bertanya: “Apa gerangan yang membuatmu menangis wahai Abu Abdirrahman?” Imam Ibnu Mubarak menjawab: “Aku kehilangan semua barang

Sahabatnya kembali bertanya: “Apakah engkau menangis karena harta?” Maka Abdullah bin Mubarak menjawab: “Barang-barang itu adalah sumber penghidupan untuk menegakkan agamaku.” (Raudhatul Uqala’ hlm. 225, dinukil dari majalah Al-Furqon edisi 74 hlm. 46)

Itulah, di antara potret salafush shalih. Bandingkan dengan kita, jangankan menjadikan adat (kebiasaan) bernilai ibadah, yang jelas-jelas ibadah saja masih sering hanya sebatas kebiasaan. Betapa sering kita mengalami, selesai shalat Maghrib kemudian ada yang bertanya, “Tadi rakaat kedua imam baca surat apa ya?” dengan seringai kita menjawab, “Iya, ya, baca surat apa ya? Aduh… lupa”. Itu sudah cukup membuktikan bahwa ibadah kita baru sebatas kebiasaan saja. Tidak ada ruh dan kekhusyu’an.

Oleh karena itu, ketika kita memberikan nafkah kepada keluarga hendaknya kita bisa menghadirkan hati dan niat yang lurus untuk mencari wajah Allah. Sehingga mudah-mudahan setiap rupiah yang kita berikan itu bernilai ibadah di sisi Allah.

Baca juga Artikel:

Nafkah Adalah Sedekah Yang Paling Utama

Ditulis di Jatimurni Bekasi, Ahad 10 Jumadal Ula 1441H/ 5 Januari 2020M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

nafkah keluarga

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !