KITABUT TAUHID BAB 32 – Takut Kepada Allah

Pembahasan kali ini tentang Khauf (takut)

Firman Allah:

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Sesungguhnya mereka itu tiada lain hanyalah syetan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik) karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku saja, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, membayar zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah (saja), maka mereka itulah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah: 18)

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِن جَاءَ نَصْرٌ مِّن رَّبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ ۚ أَوَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ

Dan di antara manusia ada yang berkata: “kami beriman kepada Allah, tetapi apabila ia mendapat perlakuan yang menyakitkan karena (imannya kepada) Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allah, dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata:“Sesungguhnya kami besertamu” bukankah Allah mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?” (QS. Al ankabut: 10)

Diriwayatkan dalam hadits marfu’ dari Abu Sai’d, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ الْيَقِيْنِ أَنْ تُرْضِيَ النَّاسَ بِسَخَطِ اللهِ، وَأَنْ تَحْمَدُهُمْ عَلَى رِزْقِ اللهِ، وَأَنْ تَذُمَّهُمْ عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللهُ، إِنَّ رِزْقَ اللهِ لاَ يَجُرُّهُ حَرْصُ حَرِيْصٍ، وَلاَ يَرُدُّهُ كَرَاهِيَةُ كَارِهٍ

Sesungguhnya termasuk lemahnya keyakinan adalah jika kamu mencari ridha manusia dengan mendapat kemurkaan Allah, dan memuji mereka atas rizki yang Allah berikan lewat perantaraannya, dan mencela mereka atas dasar sesuatu yang belum diberikan Allah kepadamu melalui mereka, ingat sesungguhnya rizki Allah tidak dapat didatangkan oleh ketamakan orang yang tamak, dan tidak pula dapat digagalkan oleh kebenciannya orang yang membenci.”

Diriwayatkan dari Aisyah, radhiallahuanha. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنِ الْتَمَسَ رِضَا اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسُ، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Barangsiapa yang mencari Ridha Allah sekalipun berakibat mendapatkan kemarahan manusia, maka Allah akan meridhainya, dan akan menjadikan manusia ridha kepadanya, dan barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan melakukan apa yang menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah murka kepadanya, dan akan menjadikan manusia murka pula kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Kandungan bab ini:

1. Penjelasan tentang ayat dalam surat Ali Imran.
2. Penjelasan tentang ayat dalam surat At Taubah.
3. Penjelasan tentang ayat dalam surat Al ‘Ankabut.
4. Keyakinan itu bisa menguat dan bisa melemah.
5. Tanda-tanda melemahnya keyakinan antara lain tiga perkara yang disebutkan dalam hadits Abu Sai’d diatas.
6. Memurnikan rasa takut hanya kepada Allah adalah termasuk kewajiban.
7. Adanya pahala bagi orang yang melakukannya.
8. Adanya ancaman bagi orang yang meninggalkannya.

===============================

Munasabah bab dengan Kitabut Tauhid

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Khauf (takut) merupakan termasuk jenis ibadah yang paling menyeluruh yang wajib diikhlaskan hanya untuk Allah.” (Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid: 258)

Perbedaan antara khauf dan khasyyah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, Khasyyah merupakan bagian dari khauf, akan tetapi khasyyah lebih khusus, perbedaan keduanya adalah:

1. Khasyyah dibangun di atas ilmu terhadap yang ditakuti serta keadaannya. Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS. Fathir: 28)

Adapun khauf dibangun diatas ketidak tahuan.

2. Kasyyah disebabkan oleh keagungan yang ditakutkan, berbeda halnya denga khau yang terkadang disebabkan karena lemahnya orang yang takut bukan karena kuatnya orang yang ditakuti. (Al-Qaulul Mufid: 2/73)

Takut adalah pondasi ibadah

Salah satu pilar pokok dalam beribadah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menggabungkan tiga hal yaitu perasaan cinta, takut dan harap secara bersamaan. Tidak boleh dengan salah satunya saja.

Pertama, cinta. Di antara dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah:

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)

Kedua, takut. Di antara dalilnya adalah firman Allah ketika menyebutkan ciri orang-orang yang bertakwa:

الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ

 Yaitu orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. (QS. Al-Anbiya’: 49)

Ketiga, harap. Di antara dalilnya yaitu firman Allah dalam hadits qudsi, Allah berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي

Wahai anak Adam sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap kepadaku maka niscaya akan Aku ampuni dosa-dosamu dan Aku tidak akan mempedulikannya. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu setinggi langit kemudian engkau meminta ampunan-Ku maka Aku akan ampuni dan Aku tidak peduli.” (HR. Tirmidzi: 3463)

Takut harus wasath (pertengahan)

Takut yang terpuji adalah pertengahan antara ghuluw dan meremehkan. Dan patokannya adalah takut yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

“Takut kepada Allah bertingkat-tingkat; diantara manusia ada yang ghuluw dalam takutnya, diantara mereka ada pula yang meremehkan dan diantara mereka juga ada yang adil (pertengahan). Khauf yang adil adalah khauf yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Apabila lebih dari itu maka akan mengantarkanmu kepada keputusan asaan dari rahmat Allah. Diantara manusia apa juga yang meremehkan dalam hal khaufnya sehingga tidak bisa menghalanginya dari sesuatu yang dilarang Allah.” (Al-Qaulul Mufid: 2/67)

Macam-macam takut

Takut ada beberapa macam:

Pertama, Takut dalam bentuk ibadah, penghinaan diri, pengagungan serta tunduk. Takut ini disebut juga dengan khauf sirr. Takut yang jenis ini harus ditujukan untuk Allah. Barang siapa yang mempersekutukan Allah dalam hal ini maka dia terjatuh pada syirik besar. Seperti seorang yang takut kepada berhala atau orang-orang yang sudah meninggal atau kepada orang-orang yang anggap wali yang diyakini bisa memberi manfaat atau mudharat.

Kedua, takut tabiat. Pada asalnya takut ini hukumnya mubah. Karena para Nabi saja memiliki rasa takut seperti ini. Allah berfirman tentang Nabi Musa:

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. (QS. Al-Qashash: 21)

Allah juga berfirman menghikayatkan ucapan Nabi Musa:

قَالَ رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْسًا فَأَخَافُ أَن يَقْتُلُونِ

Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” (QS. Al-Qashash: 33)

Akan tetapi, apabila takut ini menyebabkan seorang meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram, maka hukumnya haram. Seperti seorang takut terhadap sesuatu yang tidak akan memberikan pengaruh kepadanya kemudian menyebabkan dia meninggalkan shalat berjama’ah. (Lihat: Al-Qaulul Mufid: 2/68)

Takut yang berlebihan adalah senjata setan

Menakut-nakuti manusia adalah salah satu makar setan, agar manusia itu jatuh ke dalam perangkapnya. Diantara yang hal yang dijadikan bahan untuk menakut-nakuti manusia adalah:

1. Takut mati. Allah berfirman:

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya mereka itu tiada lain hanyalah syetan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik) karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku saja, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

2. Takut miskin. Allah berfirman:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui. (QS. Al-Baqarah: 268)

Allah berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra’: 31)

Meninggalkan dakwah karena takut manusia adalah syirik

Diantara takut yang tercela adalah meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar karena takut terhadap manusia, baik tindakan mereka ataupun lisan mereka. Ini hukumnya haram dan termasuk syirik kecil. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan:

“Seorang yang meninggalkan kewajiban dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkar karena takut dengan manusia; nanti mereka akan menyakiti, mempersulit, menghukumnya, sehingga dia pun meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dakwah serta menyampaikan kebenaran karena takut dengan manusia maka ini syirik kecil dan haram. Disebutkan dalam sebuah hadits:

 أن الله يحاسب العبد يوم القيامة: لم لم تأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر؟ فيقول: يا رب خشية الناس، فيقول : إياي أحق أن تخشى

Allah akan menghisab hamba di hari kiamat: Kenapa engkau tidak beramar ma’ruf dan nahi mungkar? Dia menjawab: Wahai Rabb, karena takut terhadap manusia. Maka Allah berfirman: Akulah yang lebih berhak engkau takutkan.’

Namun yang kita maksud disini, orang yang sanggup beramar ma’ruf dan nahi mungkar serta dakwah. Adapun jika seorang tidak punya kesanggupan maka diberi udzur.” (I’anatul Mustafid: 2/68)

Jangan pedulikan kata orang

Allah-lah yang berhak untuk kita takutkan. Lakukan perintah dan tinggalkan larangan-Nya. Adapun kata orang tidak perlu digubris. Perhatikanlah Firman Allah berikut:

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab: 37)

Disebutkan oleh para ahli tafsir bahwa, Allah sudah memberitahu bahwa yang akan menikahi Zainab setelah dicerai oleh Zaid adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, dengan hikmah yang agung yaitu untuk mematahkan keyakinan orang-orang jahiliyah yang mengharamkan menikahi bekas istri anak angkat. Yang ditakutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah reaksi orang-orang, karena mereka menganggap tabu hal ini. Oleh karena itu Allah menegur beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari kisah ini pelajaran penting bagi kita yaitu tidak boleh takut dari ucapan manusia dan buah bibir mereka. Cukup kita berusaha mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah dengan cara hikmah, adapun tanggapan manusia tidak perlu digubris.

Memang benar kita diperintahkan untuk menjaga harga diri agar tidak menjadi “buah bibir orang-orang.” Dalilnya yaitu hadits dari Shafiyyah binti Huyay radhiyallahu anha, ia berkata;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا سُوءًا أَوْ قَالَ شَيْئًا

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang melaksanakan i’tikaf aku datang menemui beliau di malam hari, lalu aku berbincang-bincang sejenak dengan beliau, kemudian aku berdiri hendak pulang, beliau juga ikut berdiri bersamaku untuk mengantarku. Saat itu Shafiyyah tingal di rumah Usamah bin Zaid. (Ketika kami sedang berjalan berdua) ada dua orang laki-laki dari kaum Anshar yang lewat, dan tatkala melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keduanya bergegas. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Kalian tenang saja. Sungguh wanita ini adalah Shofiyah binti Huyay”. Maka keduanya berkata: “Maha suci Allah, wahai Rasulullah”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setan berjalan lewat aliran darah manusia dan aku khawatir ia memasukkan perkara yang buruk pada hati kalian berdua”. Atau memasukkan sesuatu.” (HR. Bukhari: 3281, Muslim: 2175)

Syaikh Abdullah Al-Bassam rahimahullah berkata, “Di antara faidah dari hadits ini bahwasanya seorang harus menghilangkan segala sesuatu yang dapat mengarahkan kepada tuduhan, agar orang lain tidak berprasangka buruk kepadanya padahal dia berlepas diri dari hal itu, dengan kata lain hendaknya dia menjaga diri dari sebab yang akan mendatangkan tuduhan buruk.” (Taisir al-Allam: 355)

Namun, disatu sisi kita harus sadar bahwa bibir orang-orang itu terlalu subur, sehingga ia akan tetap berbuah meski pun tidak disiram dan dipupuk. Kita menginginkan semua manusia ridha?! Maka itu adalah hal yang mustahil. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan:

رِضَى النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ، وَلَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنْهُم سَبِيْلٌ، فَعَلَيْكَ بِمَا يَنْفَعُكَ، فَالْزَمْهُ

Mendapatkan keridhaan seluruh manusia adalah sebuah tujuan yang takkan mungkin digapai. Tidak ada jalan untuk selamat dari mereka. Cukuplah bagimu untuk menekuni hal-hal yang bermanfaat untukmu.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/89)

Jangankan perbuatan kita, perbuatan Allah saja pasti ada yang tidak suka. Hujan misalnya, ada orang yang bersyukur dengan mengatakan alhamdulillah, tapi ada juga orang-orang yang tidak suka, tidak ridha sehingga mengatakan; “hujan lagi, hujan lagi…”

Ingat, kita ini hidup untuk Allah bukan untuk orang apalagi untuk “kata orang.” Yang dicari dan diusahakan adalah ridha Allah bukan ridha orang-orang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Barang siapa mencari keridhaan Allah sekalipun beresiko mendatangkan kebencian manusia, niscaya Allah akan membebaskan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan melakukan hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah, niscaya Allah akan menjadikannya selalu tergantung kepada manusia.” (HR. Tirmidzi: 2414, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2250)

Oleh sebab itu, kalau kita masih takut dengan “kata orang” maka selamanya kita akan bergantung pada “kata orang” itu. Kemudian mati dan celaka, berjumpa dengan kemurkaan Allah. Karena kita tidak mau menuruti perintah-nya lantaran kata orang tadi. Lantas baru kemudian menyesal, tapi sesal kemudian apalah guna.

Baca juga Artikel:

Kata Orang

Tebalkan Telinga Anda

Selesai ditulis di rumah mertua tercinta, Jatimurni Bekasi. Jum’at, 25 Rabi’ul awwal 1441H/ 22 November 2019M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !