KITABUT TAUHID BAB 55 – Larangan Menolak Permintaan Orang Yang Menyebut Nama Allah

Ibnu Umar menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ بِاللهِ فَأَعْطُوْهُ، وَمَنِ اسْتَعَاذَ بِاللهِ فَأَعِيْذُوْهُ، وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيْبُوْهُ، وَمَنْ صَنَعَ إَلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا مَا تُكَافِئُوْنَهُ فَادْعُوْا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوْهُ

Barangsiapa yang meminta dengan menyebut nama Allah, maka berilah; barangsiapa yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindungilah; barangsiapa yang mengundangmu maka penuhilah undangannya; dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikan itu (dengan sebanding atau lebih baik), dan jika engkau tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka doakan ia, sampai engkau merasa yakin bahwa engkau telah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Daud: 1672, An-Nasa’i: 5/82)

Kandungan bab ini:

1. Perintah untuk mengabulkan permintaan orang yang memintanya dengan menyebut nama Allah [demi memuliakan dan mengagungkan Allah] 2. Perintah untuk melindungi orang yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah.
3. Anjuran untuk memenuhi undangan [saudara seiman] 4. Perintah untuk membalas kebaikan [dengan balasan sebanding atau lebih baik darinya] 5. Dalam keadaan tidak mampu untuk membalas kebaikan seseorang, dianjurkan untuk mendoakannya.
6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk mendoakannya dengan sungguh-sungguh, sampai ia merasa yakin bahwa anda telah membalas kebaikannya.

_____________________________

Munasabah bab dengan Kitabut Tauhid

Karena tidak mau memberi kepada orang yang meminta dengan menyebut nama Allah merupakan tidak mengagungkan Allah, dan hal ini merusak tauhid. (Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid: 372)

❀•◎•❀

Macam-macam meminta dengan Allah

Meminta dengan Allah ada dua bentuk:

Pertama, meminta dengan shighah (redaksi) seperti seorang mengatakan: “Aku meminta kepadamu demi Allah”, sebagaimana yang terdapat dalam hadits tentang tiga orang yang diuji, dimana malaikat berkata:

أَسْأَلُكَ بِالَّذِيْ أَعْطَاكَ اللَّوْنَ الحَسَنَ وَالجِلْدَ الحَسَنَ وَالْمَالَ، بَعِيْرًا أَتَبَلَّغُ بِهِ فِيْ سَفَرِيْ

Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan yang banyak ini, aku minta kepada anda satu ekor onta saja untuk bekal meneruskan perjalananku.” (HR. Bukhari: 3464, Muslim: 2964)

Kedua, meminta dengan syariat Allah. Yaitu seorang meminta sesuatu yang dibolehkan oleh syariat untuk dirinya. Seperti seorang yang fakir meminda sedekah, atau seorang meminta atau bertanya mengenai permasalahan ilmu, dan yang semisal. (Al-Qaulul Mufid: 2/349)

❀•◎•❀

Hukum Meminta-minta

Hukum asal meminta-minta kepada manusia adalah haram, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Senantiasa ada seorang yang suka meminta-minta kepada orang lain hingga pada hari kiamat dia datang dalam keadaan wajahnya tidak ada sekerat daging pun.” (HR. Bukhari: 1475, Muslim: 1040)

Meminta-minta dibolehkan bagi orang-orang yang memang sangat membutuhkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak layak bagi seorang untuk meminta-minta apa pun kepada orang lain, kecuali apabila ada kebutuhan.” (Al-Qaulu Al-Mufid: 2/347)

Para ulama di Lajnah Ad-Da’imah mengatakan:

Boleh meminta harta kepada orang lain bagi orang yang membutuhkan dimana dia tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhannya dan tidak pula mampu berusaha (bekerja). Dia boleh meminta namun sebatas kebutuhannya saja.

Adapun orang yang tidak membutuhkan atau orang yang membutuhkan tapi sanggup berusaha (bekerja), tidak boleh meminta-minta, harta yang dia ambil dalam keadaan ini haram baginya, berdasarkan hadits Qabishah bin Makhariq radhiyallahu anhu, ia berkata:

تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا قَالَ ثُمَّ قَالَ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا

Aku pernah menanggung hutang (untuk mendamaikan dua kabilah yang saling sengketa). Lalu aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta bantuan beliau untuk membayarnya. Beliau menjawab: “Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti kusuruh menyerahkannya kepadamu.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali untuk tiga golongan. (Satu) orang yang menanggung hutang (gharim, untuk mendamaikan dua orang yang saling bersengketa atau seumpanya). Maka orang itu boleh meminta-minta, sehingga hutangnya lunas. Bila hutangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Dua) orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Tiga) orang yang ditimpa kemiskinan, (disaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercayai bahwa dia memang miskin). Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim: 1044)

Dan berdasarkan hadits:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Siapa yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yang diterimanya sedikit atau banyak.” (HR. Muslim: 1041)

Dan juga berdasarkan hadits:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ

Orang yang kaya tidak berhak menerima zakat demikian juga orang yang memiliki anggota badan yang sempurna.” (HR. Tirmidzi: 652)

Merupakan kewajiban untuk menasehati mereka, para ulama wajib menjelaskan hal ini kepada manusia pada khutbah Jum’at dan selainnya, serta melalui media informasi.

Menghardik orang yang meminta-minta adalah terlarang berdasarkan firman Allah:

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adh-Dhuha: 10)

La tanhar maksudnya adalah jangan menghardiknya, meninggikan suara kepadanya. Dan ini mencakup orang yang meminta harta, atau orang yang meminta (bertanya) perihal hukum-hukum syari’at. Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi untuk menunjuki orang yang meminta tersebut, menasehatinya dengan hikmah dan baik.

Ditandatangani oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, dan Syaikh Bakr Abu Zaid.

Fatawa al-Lajnah Ad-Da’imah: 24/377, dinukil dari artikel Islamqa.info dengan judul Al-Mutasauwilun, Man Yu’tha Minhum wa Man Yumna’

❀•◎•❀

Miliki sifat ‘Iffah

Menjaga diri dari sifat meminta-minta kepada manusia itulah yang disebut dengan ‘Iffah. Sifat ini sangat mulia, diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (QS. Al-Baqarah: 273)

Dari Tsauban mantan budak Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ

Siapakah yang menjamin untukku untuk tidak meminta-minta sesuatupun kepada orang lain, dan aku menjaminnya masuk Surga.” (HR. Abu Dawud: 1643)

Bahkan diantara do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah meminta iffah, beliau bersabda:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim: 2721)

❀•◎•❀

Balas pemberian mereka

Membalas orang yang telah berbuat baik adalah anjuran agama. Ini adalah salah satu adab dan akhlak mulia yang diajarkan agama, semua kebaikan apapun bentuknya sebisa mungkin dibalas, minimalnya dengan do’a. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

Barang siapa yang berbuat kebaikan kepada kalian maka balaslah, apabila kalian tidak mendapat sesuatu untuk membalasnya maka do’akanlah dia hingga kalian melihat bahwa kalian telah membalasnya.” (HR. Abu Dawud: 1672)

Membalas kebaikan orang lain mengandung beberapa faidah:

Pertama, agar termasuk hamba yang bersyukur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud: 4811)

Kedua, saling mencintai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَهَادُوا تَحَابُّوا

Saling memberi hadiah lah kalian niscaya kalian akan saling mencintai. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Ketiga, memotivasi orang untuk senantiasa berbuat baik. Karena orang yang melihat balasan yang baik dari perbuatan baiknya akan termotivasi untuk terus bersemangat untuk berbagi kebaikan, dan ini adalah fitrah manusia.

Keempat, menghilangkan rasa sungkan dan hutang budi. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Seorang yang berbuat baik kepadamu pasti menimbulkan rasa sungkan di dalam dirimu terhadapnya, jika engkau membalas kebaikannya maka akan hilang perasaan tersebut.” (Al-Qaulul Mufid: 2/354)

❀•◎•❀

Bersama para peminta-minta

Hal yang disepakati adalah tidak boleh menghardik para peminta-minta. Larangan ini mencakup baik kepada yang meminta karena memang butuh atau tidak. Berdasarkan keumuman firman-Nya:

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adh-Dhuha: 10)

Adapun hukum memberikan atau mengabulkan permintaannya yaitu:

Pertama, apabila dia hanya sekedar meminta tanpa menyebut nama Allah, seperti dia mengatakan: “Wahai fulan berilah aku ini dan ini.” Seperti ini apabila termasuk orang yang diperbolehkan oleh syariat maka Anda harus memberinya, semisal orang fakir yang meminta bagian dari harta zakat.

Kedua, dia meminta dengan menyebut nama Allah, maka dalam hal ini Anda wajib memberinya meskipun dia sebenarnya bukan yang pantas dan berhak. Karena dia meminta dengan sesuatu yang agung, sehingga memenuhi permintaannya ini sebenarnya untuk mengagungkan hal yang agung ini (Allah). Akan tetapi, jika dia meminta sesuatu yang berkaitan dengan dosa atau terdapat kemudharatan maka tidak boleh dipenuhi.

Contoh yang pertama, dia meminta dengan menyebut nama Allah sejumlah uang untuk membeli sesuatu yang haram seperti khamr (minuman keras)

Contoh yang kedua, dia meminta dengan menyebut nama Allah agar Anda memberitahukannya tentang rahasia anda atau apa yang Anda lakukan dengan keluarga (istri).

Dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Al-Qaulul Mufid: 2/349

❀•◎•❀

Memenuhi Undangan

Memenuhi undangan hukum asalnya adalah wajib. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيْبُوْهُ

Barangsiapa yang mengundangmu maka penuhilah undangannya.” (HR. Abu Daud: 1672)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ

Seandainya aku diundang untuk jamuan makan satu kaki depan (kambing) atau satu kaki belakangnya, pasti aku penuhi dan seandainya aku diberi hadiah makanan satu kaki depan (kambing) atau satu kaki belakang pasti aku terima.” (HR. Bukhari: 2568)

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan hal ini sebagai sebuah hak yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim atas saudaranya. Beliau bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara.” Lalu beliau ditanya; ‘Apa yang enam perkara itu, ya Rasulullah? ‘ Jawab beliau: (1) Bila engkau bertemu dengannya, ucapkankanlah salam kepadanya. (2) Bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya. (3) Bila dia minta nasihat, berilah dia nasihat. (4) Bila dia bersin lalu dia membaca tahmid, doakanlah semoga dia beroleh rahmat. (5) Bila dia sakit, kunjungilah dia. (6) Dan bila dia meninggal, ikutlah mengantar jenazahnya ke kubur.‘ (HR. Muslim: 2162)

Akan tetapi wajibnya memenuhi atau menghadiri undangan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:

1. Orang yang mengundang bukanlah termasuk orang yang wajib atau dianjurkan untuk di-hajr (diboikot)
2. Tidak ada kemungkaran di tempat undangan tersebut
3. Orang yang mengundang adalah seorang muslim.
4. Pendapatan (harta) orang yang mengundang tidak haram.
5. Tidak menyebabkan meninggalkan yang wajib atau meninggalkan sesuatu yang lebih wajib dari undangan tersebut.
6. Tidak memudharatkan orang yang diundang. Apabila untuk memenuhi undangan tersebut harus safar (perjalanan jauh) atau meninggalkan keluarga yang membutuhkan kehadirannya maka tidak wajib memenuhi undangan.
7. Undangannya spesifik. Maknanya jika ia mengatakan “Wahai fulan, aku mengundangmu untuk hadir di walimah.” Jika undangannya tidak spesifik seperti undangan umum di majelis semisal ia mengatakan; “Jama’ah sekalian, kita ada acara pesta pernikahan maka hadirlah!” maka tidak wajib bagi Anda untuk hadir karena undangan bersifat umum tidak spesifik kepada Anda.

Diringkas dan digabungkan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitab: Al-Qaulul Mufid: 2/351-352 dan kitab  Syarh Riyadush Shalihin: 3/103-105

Baca juga Artikel:

Pribadi Hebat

Antara Islam dan Akhlak Mulia

Enam Kiat Menggapai Akhlak Mulia

Ditulis di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Jum’at 8 Jumadal Ula 1441H/ 3 Januari 2020M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !