Perlukah Anak Diasuransikan?

Di negeri ini pada asalnya biaya pendidikan anak ditanggung oleh kepala keluarga atau yang mewakilinya, kecuali bagi yang mendapat beasiswa. Itupun terkadang bukan beasiswa yang bersifat full (ditanggung keseluruhan). Dari sinilah orang tua merasa khawatir dengan masa depan pendidikan anaknya. Khawatir anak tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, karena biaya sekolah di negeri ini cukup besar, baik yang negeri, swasta, bahkan pesantren yang mengkhususkan pendalaman agama pun demikian.

Sebuah kenyataan, terkadang uang masuk dan uang gedung untuk masuk sekolah anak bisa mencapai 10 juta bahkan lebih, belum lagi SPP yang mencapai hampir 1 juta setiap bulan. Itu belum termasuk biaya tambahan keperluan sehari-hari dan yang lainnya. Hitungan di atas juga akan berlipat bila memiliki lebih dari satu anak yang sedang menempuh pendidikan dalam waktu yang bersamaan. Bisa dibayangkan, bagaimana orang tua dibuat bingung memikirkannya.
Padahal, rata-rata masyarakat Indonesia adalah menengah ke bawah. Gaji atau pemasukan yang didapat antara 2 – 10 juta per bulan. Bahkan ada yang berpenghasilan tak menentu. Keadaan ini diperburuk dengan harga BBM yang naik turun dan harga makanan pokok yang terus melonjak naik.

Mungkin inilah beberapa pendorong perusahaan asuransi gencar memasarkan produknya, sehingga banyak masyarakat yang menilai bahwa anak perlu diasuransikan. Dengan membayar premi setiap bulannya sekian puluhan ribu, mereka berharap masa depan anak akan aman dan mendapat jaminan. Dengan itu orang tua tak perlu susah memikirkan biaya sekolah anak karena sudah ada jaminan asuransi. Itu baru masalah pendidikan, belum lagi dengan masalah kesehatan, yang mana sebagian orang tua juga merasa khawatir dengan kesehatan keluarga khususnya anak-anak mereka, sehingga berpikir bahwa asuransi adalah solusi satu-satunya.

Sedikit demi sedikit sifat tawakkal pun berkurang. Lebih parahnya lagi, hal ini menjadikan para orang tua menyangka, tidak perlu tawakkal kepada Allah Azza wajalla karena cukup tawakkal kepada perusahaan. Benar-benar mantap syiriknya. Bayangkan, bila anak meninggal sebelum waktunya sekolah, akan dapat jaminan sekian juta dari perusahaan asuransi, siapa yang tak senang? Hanya angan, sebelum tiba kenyataan dan penyesalan.

PENGALAMAN DENGAN PIHAK ASURANSI

Pada saat anak terakhir saya berumur satu tahun, saya didatangi oleh orang dengan membawa berkas asuransi. Dia menawarkan, Pak, anaknya diasuransikan saja, agar nanti mudah melanjutkan pendidikan, tidak perlu biaya lagi. Saya waktu itu tidak paham maksudnya. Lalu dia menjelaskan, Kalau bapak mau mengangsur setiap bulan 10 ribu (ketika itu) untuk satu anak ini, kami akan datang setiap bulan untuk mengambilnya. Nanti ketika anak bapak sudah waktunya TK atau SD akan dibiayai oleh perusahaan. Maka saya jawab, “Pak, saya bukan pegawai negeri sehingga bisa ambil gaji setiap bulan. Saya tidak punya pekerjaan tetap yang bisa diketahui standar gajinya”.

Sales itu malah menjelaskan dengan semangat agar saya tertarik, Seandainya anak bapak kena musibah kecelakaan atau meninggal baru membayar dua kali dan belum waktunya sekolah, akan mendapatkan ganti sekian juta. Saya tanya lagi, “Kalau anak saya tidak saya sekolahkan, saya didik sendiri, bagaimana? Apakah duit saya akan dikembalikan selama sekian bulan atau sekian tahun?” Tidak, jawabnya. Barulah saya mengerti, bahwa asuransi seperti ini adalah judi, karena orang berjudi kadang menang dan kadang kalah.

Terakhir saya jawab, “Pak, ini hukumnya haram, karena semisal judi.” Lalu saya jelaskan alasan lain yang memantapkan untuk tidak mengambil asuransi tersebut. Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah kami selamat dari asuransi jiwa yang ini mengandung unsur riba dan judi. Semoga kita semua diselamatkan oleh Allah dari bahaya riba yang merusak ekonomi umat dan sudah terbukti.

HUKUM MENG-ASURANSI-KAN JIWA

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum mengasuransikan jiwa dan harta milik?”

Beliau menjawab, Asuransi jiwa haram hukumnya, karena bila Malaikat Maut datang menjemput orang yang jiwanya diasuransikan itu, dia tidak dapat mewakilkannya kepada perusahaan asuransi. Ini semata adalah kesalahan, kebodohan, dan kesesatan. Di dalamnya juga terdapat makna bergantung kepada selain Allah. Yaitu kepada perusahaan tersebut. Jadi, dia berprinsip bahwa jika mati, perusahaanlah yang akan menanggung makan dan biaya hidup ahli warisnya. Inilah ketergantungan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala.

Masalah ini pada mulanya diambil dari ‘maisir’ (judi). Bahkan faktanya, ia adalah maisir itu sendiri, sementara Allah Azza wajalla, dalam ayat-Nya telah menggandengkan maisir ini dengan kesyirikan, mengundi nasib dengan anak panah (al-azlam) dan khamer. Ini menunjukkan bahwa ‘maisir’ dihukumi sama-sama haram dengan yang lainnya.

Dalam aturan main asuransi, bila seseorang membayar sejumlah uang, maka bisa jadi dalam sekian tahun itu dia tetap membayar sehingga menjadi gharim (orang yang merugi). Namun bila dia mati dalam waktu dekat, justru perusahaanlah yang rugi. Karenanya (dalam kaidah yang berlaku); Setiap akad yang terjadi antara ‘al-ghunm’ (untung) dan ‘al-ghurm’ (rugi) maka ia adalah judi.” (Majmu’ Durus wa Fatawa al-Haram al-Makkiy: 3/192)

LANTAS, BAGAIMANA MASA DEPAN SEKOLAH ANAK KITA?

Jika telah jelas asuransi jiwa hukumnya haram, lalu bagaimana masa depan pendidikan anak kita? Padahal orang tua wajib mendidik anaknya, sedangkan nasib kebanyakan umat Islam di Indonesia rata-rata kelas menengah ke bawah.

Muncul pertanyaan lain, mampukah kita menyekolahkan anak kita ketika masuk usia sekolah?, sedangkan (katakanlah) pesantren yang kita harapkan bisa membantu, biaya registrasinya pun jutaan? Belum lagi SPP?, buku?, uang saku?, belum lagi kalau sakit?, bagaimana kalau harus opname? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Subhanallah !!!, hidup ini banyak was-wasnya.

Orang lupa kalau Allah Mahakaya, tak pernah putus memberi rezeki. Namun perlu diperhatikan, Allah Subhanahu wata’ala mencukupkan rezeki kepada manusia yang taat dan bermanfaat.  Allah menjanjikan memberi rezeki halal yang cukup untuk hamba yang ahli tauhid dan bertakwa. Banyak orang tua yang lalai akan hal ini, sehingga tak sedikit dari mereka yang melupakan kunci terbukanya rezeki.
Allah Azza wajalla berfirman,

وَمَن یَتَّقِ ٱللَّهَ یَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجࣰا ۝  وَیَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَیۡثُ لَا یَحۡتَسِبُۚ وَمَن یَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥۤۚ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. ath-Thalāq: 2-3)

PERTANYAANNYA…

Sudahkah kita sebagai orang tua menjadi orang yang bertakwa dan tawakkal?
Sudahkah kita sebagai orang tua berhenti dari syirik, bid’ah, dan maksiat??, karena perkara ini termasuk di antara penghalang datangnya rezeki, sedangkan istighfar dan taubat adalah kunci pembuka rezeki. Lihat bagaimana Nabi Nuh Alaihissalam menasihati kaumnya:

فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُوا۟ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارࣰا ۝ یُرۡسِلِ ٱلسَّمَاۤءَ عَلَیۡكُم مِّدۡرَارࣰا ۝ وَیُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَ ٰ⁠لࣲ وَبَنِینَ وَیَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّـٰتࣲ وَیَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَـٰرࣰا

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nuh: 10-12)

Kemudian, di antara kunci-kunci rezeki yang lain adalah berinfak di jalan Allah Tabaaraka wata’ala. Berinfak tidak mengurangi harta, tetapi menambah rezeki yang halal, tentunya jika harta yang diinfakkan dari hasil yang halal pula. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ

“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki melainkan karena kalian senantiasa menolong yang lemah di antara kalian.” (HR. Bukhari: 10/364)

Sabda Beliau Shallallahu’alaihi wasallam juga:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Tidaklah sedekah akan mengurangi harta. (HR. Muslim: 8/21)

Dan masih banyak kunci-kunci rezeki yang halal menurut syariat yang harus kita upayakan. Semoga kita mendapatkan rezeki yang cukup untuk menutupi kebutuhan di dunia yang diliputi dengan fitnah dan cobaan ini. Aamiin…

HARUSKAH SAMPAI PERGURUAN TINGGI?
MESKIPUN DENGAN JALAN ASURANSI??

Pertanyaan ini memang mendesak untuk dijawab. Sebab rata-rata kita ingin pendidikan anak mencapai yang tertinggi. Jika ini yang dikejar, tentu orang tua harus banting tulang agar bisa meraihnya. Bahkan bila perlu, yang penting berhasil, tanpa pikir halal haram karena virus istilah “cari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”, telah mencokol dalam otak mereka.

Umat Islam yang kuat imannya tentu harus tahu kewajiban orang tua kepada anaknya? Orang tua wajib menjaga fitrah anak. Jangan sampai anak yang lahir dalam keadaan fitrah dipalingkan oleh orang tuanya menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi, Kapitalis, dan lainnya karena ambisi dunia. Semisal dengan anggapan bahwa anak harus disekolahkan di pendidikan umum supaya mapan ekonominya di masa depan. Jika ini prinsipnya, tentu akan merepotkan orang tua. Hasilnya? Belum tentu kaya, tetapi harus susah payah dan mengorbankan agama. Allahul mustaan…

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata, “Walaupun demikian, kami tidak mengingkari ilmu dunia yang ada faedahnya (manfaat), tetapi pengetahuan dunia ini berfaedah bila memiliki dua kriteria;

Pertama, jika ilmu itu penunjang ibadah kita kepada Allah Azza wajalla

Kedua, bila pengetahuan dunia itu membantu dan menolong agama dan dapat diambil manfaat oleh orang yang beriman,

Maka ilmu itu baik dan bermanfaat.

Adapun sebagian ulama berkata, bahwa mempelajari ilmu keduniaan itu fardhu kifayah, maksudnya harus ada sebagian orang Islam yang mempelajarinya, pendapat ini masih diperselisihkan di kalangan para ulama. (Lihat Syarh Kasyfu Syubuhat: 163-164)

Kesimpulannya, ilmu yang mulia dan terpuji demikian juga penuntutnya, adalah ilmu syar’i yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits yang shahih. Adapun ilmu lain hanyalah sarana; jika menunjang terwujudnya kebaikan maka pengetahuan itu akan baik, begitu juga sebaliknya.

Kalau kita menyadari akan arti ilmu hakiki yang wajib dipelajari oleh anak kita, insyaaAllah… hal ini akan meringankan beban pikiran kita. Karena menuntut ilmu agama lebih mudah dan lebih ringan biayanya, insyaaAllah…

KESEHATAN?

Demikian pula dengan kesehatan, untuk apa diasuransikan? Masih ragu bahwa Allah yang menciptakan penyakit? Allah lah yang menurunkannya?? Bahkan, Allah pula yang menyiapkan obatnya !!?

Semoga Allah Subhanahu wata’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang diridhai-Nya, dan menjadikan kita semua orang tua yang cerdas dan bijak, serta mengaruniai anak-anak yang shalih dan shalihah. Aamiin…

Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc adalah mudir Ma'had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Beliau juga merupakan penasihat sekaligus penulis di Majalah Al-Furqon dan Al-Mawaddah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !