Seberapa Baikkah Kualitas Keislaman Kita?

Menjadi seorang muslim bukan masalah sudah berapa lama kita memeluk Islam atau karena lahir dari ayah dan ibu yang juga muslim. Akan tetapi, lebih pada kualitas keislaman serta keimanan kita pada Allah. Lihat Sa’ad bin Mu’adz radliyallaahu anhu ia masuk Islam dalam usia 31 tahun dan meninggal dalam usia 37 tahun.

Hanya 6 tahun saja, waktu yang begitu singkat. Namun kualitas keislaman dan keimanannya betul-betul telah teruji. Buktinya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjamin bahwa dia akan menjadi penduduk surga. Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu menuturkan: “Sebuah pakaian sutra dihadiahkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Para sahabat pun memegang-megang serta merasa takjub dengan kelembutannya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَتَعْجَبُونَ مِنْ لِينِ هَذِهِ؟! لَمَنَادِيلُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْهَا وَأَلْيَنُ

“Apakah kalian merasa takjub dengan kelembutan kain ini? Sungguh, sapu tangan Sa’ad di surga lebih bagus dari ini dan lebih lembut.” (HR. Bukhari: 2615, Muslim: 2468)

Bahkan, pada saat Sa’ad radhiyallahu anhu meninggal dunia, Arsy Allah bergetar sebagai bentuk pemuliaan untuk dirinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اهْتَزَّ عَرْشُ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ

“‘Arsy Ar Rahman ‘azza wajalla bergetar lantaran kematian Sa’d bin Mu’adz.” (HR. Bukhari: 158, Muslim: 2466)

Hanya 6 tahun ia menjadi seorang muslim, namun keislaman dan keimanannya diakui oleh Allah subhanahu wata’ala. Sekarang intropeksi diri kita, sudah berapa lamakah kita menjadi seorang muslim? 15 tahun? 20 atau 30 tahun? 40 atau 50 tahun? Ataukah dari lahir kita sudah muslim? Lantas selama itu bagaimanakah kualitas keislaman dan keimanan kita?

Jika kita muslim namun tidak shalat atau masih bolong-bolong, seharusnya kita malu. Jika kita laki-laki muslim namun tidak shalat berjama’ah, jarang ke masjid, hanya ketika jum’at saja, seharusnya kita malu. Jika kita seorang muslimah namun aurat masih diumbar, maka seharusnya kita malu. Jika kita seorang muslim atau muslimah namun masih makan harta riba, seharusnya kita malu. Jika kita seorang muslim atau muslimah namun tidak mau belajar ilmu agama, seharusnya kita malu. Muslim macam apa yang seperti itu?!

Oleh karenanya, semakin lama kita memeluk agama Islam ini hendaknya semakin baik pula kualitas keislaman dan keimanan kita. Ibarat buah kelapa, semakin tua semakin berminyak. Jangan cukupkan diri hanya dengan status seorang muslim atau muslimah saja, tapi menjadilah muslim dan muslimah yang sesungguhnya.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !