TEBALKAN TELINGA ANDA (Art.Refleksi Hikmah)

Dalam sesi tanya jawab di sebuah pengajian, seorang nenek dengan nada sedih bercampur bingung bertanya;

“Ustadz, apa yang harus saya lakukan. Saya ini hidup seorang diri, setiap kali akan berangkat kajian, tetangga saya marah-marah, ngotot melarang saya supaya jangan ikut. Katanya itu ajarannya keras, ngak benar, suka menyalahkan orang lain. Sampai-sampai tubuhnya gemetar ketika memarahi saya itu ustadz. Saya sudah jelaskan, berapa kali saya ikut, yang disampaikan al-Qur’an dan hadits, tidak macam-macam. Tapi dia tetap tidak percaya. Lantas saya harus bagaimana ustadz??”

JANGAN AMBIL HATI

Hari ini, kejadian seperti itu sudah lumrah, tidak satu atau dua kali namun mungkin sudah tak terhitung lagi. Nenek tadi bukan orang yang pertama, sudah ada pendahulunya dan akan ada pula berikutnya.

Bagi Anda yang belum merasakannya, siap-siap saja, bisa jadi suatu hari nanti juga turut mengecapnya. Saya tidak mendo’kan, tapi kalau hal itu juga terjadi pada Anda, maka jangan terlalu diambil hati. Ingat-ingat selalu firman Allah berikut ini:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS. al-An’am: 112)

CITA RASA KEHIDUPAN

Dihalang-halangi dari kebaikan adalah cita rasa kehidupan. Dari dulu sampai sekarang. Modusnya pun sama, salah satunya dengan menebar tuduhan dusta. Tidak percaya? Mari kita tengok ke belakang.

Thufail bin Amr ad-Dausi adalah seorang yang cerdas, ahli syair dan pemuka dari suku Daus. Ia pernah menceritakan bahwa ia datang ke Mekah sementara Rasulullah telah memulai dakwahnya. Datanglah beberapa orang Quraisy seraya mengatakan:

“Wahai Thufail, engkau datang ke negeri kami sedangkan laki-laki ini (Nabi Muhammad) yang ada di tengah-tengah kami, benar-benar telah membuat runyam urusan kami. Dia telah memecah belah persatuan kami. Ucapannya seperti sihir. Memisahkan antara seorang anak dengan ayahnya, antara saudara dengan saudaranya, dan antara suami dengan istrinya. Kami sangat mengakhawatirkanmu dan kaummu nanti terjadi juga seperti yang kami alami. Karena itu, jangan berbicara dengannya dan jangan dengarkan ucapannya.” 

Thufail melanjutkan ceritanya:

Demi Allah, mereka selalu menyertaiku sampai aku sepakat untuk tidak mendengarkan apapun darinya dan tidak akan berbicara dengannya. Sampai-sampai aku  sumpal kedua telingaku dengan kapas ketika melewati masjid agar aku tidak mendengar ucapannya.

Aku pun melewati masjid. Sementara itu Rasulullah sedang shalat di depan Ka’bah. Aku berdiri di dekatnya dan Allah ternyata berkehendak memperdengarkan kepadaku sebagian dari ucapannya. Aku mendengarkan ucapan yang baik. Maka aku pun berkata kepada diriku sendiri:

“Aduhai kasihan ibuku, bukankah aku adalah seorang yang cerdas, ahli sya’ir, tidak samar bagiku antara yang baik dengan yang buruk. Lantas apa yang menghalangiku untuk mendengarkan ucapan laki-laki ini?! Apabila hal itu baik aku terima dan jika hal itu buruk maka akan aku tinggalkan.”

Kemudian aku berdiam sejenak sampai Rasulullah pulang ke rumahnya. Aku ikuti sampai beliau masuk rumahnya dan aku pun bertamu. Kemudian aku katakan kepadanya:

“Wahai Muhammad, kaummu telah mengatakan kepadaku begini dan begitu. Demi Allah, mereka senantiasa menakut-nakutiku terhadapmu, sampai-sampai aku sumpal kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar ucapanmu. Kemudian Allah berkehendak memperdegarkan kepadaku. Maka aku mendengar ucapan yang baik. Oleh sebab itu, paparkanlah kepadaku urusanmu.”

Lantas beliau menjelaskan Islam dan membacakan al-Qur’an kepadaku. Demi Allah aku tidak pernah mendegar ucapan yang lebih baik dan perkara yang lebih adil darinya.

Maka aku pun masuk Islam dengan mengucapkan syahadat yang tulus. (Hayatu ash-Shahabah 1/215-216)

Bagaimana, apakah Anda bisa mengambil titik persamaannya? Jelas bukan modusnya, antara dahulu dan sekarang sama saja yaitu tuduhan dusta.

Jika dahulu orang-orang kafir Quraisy mengatakan bahwa Muhammad itu “pemecah belah, tidak menghormati nenek moyang,” dst. Sekarang, tidak jauh beda. “Ajarannya keras, ngaku benar sendiri, suka menyalahkan orang lain, suka membid’ahkan serta menyesatkan.”

TEBALKAN TELINGA

Itu adalah sunnatullah, di kehidupan ini semua berpasang-pasangan. Kebaikan dan keburukan akan senantiasa bergumul, saling adu kekuatan dan masing-masing pun ada pemainnya.

Apa yang harus kita lakukan? Sederhana saja yaitu sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan sifat-sifat orang yang tidak merugi.

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr: 1-3)

Itulah yang harus kita lakukan. Pertama, beriman dan tidak mungkin seorang itu dapat mewujudkan keimanan yang benar kecuali dengan menuntut ilmu. Kedua, mengamalkan ilmu itu dengan merealisasikannya dalam amal-amal kebajikan. Ketiga, dakwahkan kepada orang lain. Saling nasehat-menasehati dalam kebaikan. Setelah tiga hal itu, terakhir yang keempat, bersabar.

Kalau sudah begitu, jangan pedulikan lagi celoteh orang-orang, terserah mereka mau bilang apa, yang penting kita harus tetap bersabar. Sabar ketika menuntut ilmu, mengamalkan dan mendakwahkannya. Biarkan hasil Allah yang menentukan.

Jadi, kita harus pandai-pandai menebalkan telinga. Disamping jangan mudah termakan berita-berita dusta. Periksa dahulu sebelum dicerna. Manis jangan langsung ditelan, pahit pun jangan langsung dimuntahkan. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)

Dan jangan lupa banyak-banyak berdo’a agar Allah senantiasa membimbing kita untuk menempuh jalan yang benar meski harus menjumpai banyak rintangan dan penghalang. Semonga bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

Jatimurni, 15 Muharram 1439 H

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !