USTADZ KOMPOR (Art.Refleksi Hikmah)

Pernah suatu ketika kira-kira lima belas tahun yang silam, kakak saya berjumpa dengan seorang anak perempuan. Masih kecil, umurnya sekitar dua atau tiga tahun. Sambil bergurau kakak saya bertanya kepadanya: “Dedek jika nanti sudah besar mau jadi apa?”

Tidak ada yang aneh dari pertanyaan tersebut. Hanya pertanyaan biasa dan saya kira kita pun sering bertanya seperti itu. Yang aneh dan menakjubkan adalah jawaban si anak kecil. Ia tidak menjawab: “Saya ingin jadi dokter”, tidak pula “Saya ingin jadi dosen”, atau “Saya ingin jadi pengusaha kaya”, tapi ia malah menjawab dengan polosnya: “Saya ingin jadi kompor”. Sebuah jawaban yang tak terduga atau bahkan tidak pernah terbesit di benak kita.

Saat itu, saya terkungkung dalam kebingungan dan terbelenggu dengan pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana mungkin seorang ingin jadi kompor? Manfaat apa yang akan ia dapatkan?

Akan tetapi, perjalanan waktu dan pergantian masa telah mengantarkan manusia pada tempat dan cerita yang berbeda. Sekarang saya telah menemukan manusia-manusia kompor yang sesungguhnya, perpanjangan cita-cita anak kecil di atas. Hari ini menjadi nyata, tuntas sudah semua pertanyaan.

Mencermati fungsi kompor, di antaranya adalah memanaskan serta mendorong terjadinya sebuah aksi. Begitu pula manusia kompor ini ia hanya mampu memberi suntikan semangat lantaran ia sendiri belum mampu untuk berbuat.

USTADZ KOMPOR

Ustadz ini jika dilihat sepintas lalu, tidak memiliki kelebihan mencolok. Namun satu hal yang membuatnya istimewa bahwa dialah salah satu manusia kompor dari cerita kita di atas. Bidang keahliannya bukan dalam disiplin ilmu akidah, fiqih, tafsir, atau hadits. Akan tetapi dalam hal memanas-manasi orang lain untuk berbuat  kebaikan meski ia sendiri pada kenyataannya belum mampu melakukan hal tersebut.

Ia memiliki bakat dan potensi besar dalam hal itu. Ide-idenya tak pernah kering, tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Semangatnya senantiasa berkobar, tak akan mati hanya karena keterbatasan dirinya.

Banyak kebaikan yang tercipta, dari sekadar harapan menjadi nyata. Meski orang lain yang menjadi pemeran utama tapi ia punya andil besar dalam hal itu. Karena ia adalah manusia kompor yang bergerak di balik layar yang terkembang.

HARUS BERMANFAAT

Memang hidup adalah pilihan. Terasa sukar atau mudah tergantung yang menjalani. Kata orang bijak dahulu: “Jika hidup untuk diri sendiri, maka hidup tidak akan sesulit ini”, tapi sebagai seorang muslim dan orang yang beriman kepada Allah serta hari akhirat maka kita harus juga hidup untuk orang lain. Memberi manfaat kepada manusia agar dapat mengecap manisnya ganjaran kelak di hari kiamat.

Menjadi orang yang bermanfaat adalah anjuran Islam. Rasulullah n bahkan pernah mengatakan:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

“Barang siapa di antara kalian yang sanggup memberi manfaat kepada saudaranya maka lakukanlah.” (HR. Muslim: 5859)

Banyak hal yang dapat kita perbuat untuk memberi manfaat kepada orang lain. Karena memang jalan kebaikan itu tidak hanya terbatas dengan harta atau tenaga saja, namun bisa juga dengan jalan lain, termasuk di antaranya dengan sekadar memberikan suntikan semangat serta memanas-manasi orang lain untuk melakukan kebaikan.

Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan ustadz kompor ini. Sebagai satu contoh dialah yang senantiasa mendorong untuk belajar menulis. Jika kita bercakap dengannya tentang tulis-menulis, ia akan membakar semangat kita untuk terus mengahasilkan karya.

Namun apabila kita tanyakan apakah ustadz sudah punya tulisan? Ia seperti biasa dengan seringai manisnya akan menjawab:

“Alhamdulillah baru dapat judulnya, isinya belum, soalnya penanya ngak bisa jalan, macet.” 

Tak masalah, walau hanya dengan memanas-manasi mudah-mudahan masuk dalam sabda Nabi n :

 مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barang siapa yang menunjuki orang lain pada kebaikan maka ia akan mendapat ganjaran semisal pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim: 1893)

MENJADI POHON KELAPA

Rasulullah pernah bersabda:

إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَعْنِي النَّخْلَةَ فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ الْتَفَتُّ فَإِذَا أَنَا عَاشِرُ عَشَرَةٍ أَنَا أَحْدَثُهُمْ فَسَكَتُّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ النَّخْلَةُ

“Sesunguhnya di antara pepohonan itu ada yang keberkahannya seperti keberkahan seorang muslim.” Aku (Abdullah bin Umar) yakin bahwa yang beliau maksud adalah kurma. Ingin rasanya aku mengatakan: ‘Itu adalah kurma wahai Rasulullah’, lalu aku menengok kanan kiri ternyata aku hanyalah anak usia belasan tahun akulah yang paling muda dari semua mereka yang hadir, akhirnya aku pun memilih diam. Kemudian Nabi bersabda: “Pohon itu adalah kurma.” (HR. Bukhari: 5444)

Itulah permisalan Rasulullah n bagi seorang muslim. Kalau kita yang hidup di negeri ini, permisalan tersebut bisa juga kita dekatkan kepada pohon kelapa. Sebatang pohon yang terkenal dapat memberi manfaat dengan hampir semua bagiannya.

Buya HAMKA pernah menuturkan:

“Negeri kita kaya dengan kelapa. Oleh karena itu banyak filsafat orang tua tentang kelapa. Di antaranya, ‘Tirulah kekerasan kemauan kelapa. Apabila perintah Tuhan buat hidup telah datang, dia pun menyeruak segala halangan, walaupun dia hanya suatu zat putih yang lunak dikungkung oleh tempurung yang keras dan dibungkus oleh sabut yang tebal, dikumpulkannya segala kekuatan dan secara berangsur dia ketuk pintu mata kelapa yang di tengah.

Apabila dinding pada pintu telah dapat ditembusnya walaupun sedikit dan ia telah melihat cahaya matahari, maka tempurung betapapun kerasnya, sabut betapapun tebalnya tidaklah dapat menghalanginya lagi.

Ketika daun mulai tumbuh dan menghisap cahaya matahari, tempurung yang keras dan sabut tebal yang tadinya menjadi penghalang buat hidup dijadikannya pupuk dari sendi buat dia melanjutkan hidup.’

Dan kata mereka pula, ‘Tirulah kehidupan kelapa, tidak ada satu bagian pun daripada dirinya yang tidak memberi faedah kepada manusia. Daunnya yang tua dapat dijadikan atap. Pucuknya yang muda dapat dijadikan ketupat, daunnya yang telah kering (kelerai atau manggar) dapat dijadikan suluh. Lidinya dapat dijadikan sapu. Batangnya dapat dijadikan tonggak atau tiang rumah.

Apalagi buahnya; sabutnya dianyam dijadikan tikar, tempurungnya dapat dibakar dijadikan bara. Isinya menjadi makanan, diremas menjadi santan, dimasak menjadi minyak.’

Kata mereka pula, ’Kalau tua jadilah tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak.’” (Lembaga Budi cet. Republika hal. 169-170)

Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim kita harus bersemangat. Entah menjadi kurma, kelapa, atau kompor yang penting kita bisa memberi manfaat kepada orang lain. Wallahul muwaffiq.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !