Wahai Pendidik, Ringankan Hukumanmu !

Hukuman sangat diperlukan untuk menghentikan perbuatan mungkar. Itu karena ada sebagian kemungkaran tidak bisa dihentikan dengan cara yang lembut dan nasihat, maka dari itu dengan ditegakkannya hukuman, insya Allah akan berkurang pelaku kemungkaran dan membuat jera bagi yang belum melakukannya. Allah berfirman:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah: 179)

Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di berkata, “Apabila ditegakkan hukuman, tentu akan menghentikan pertumpahan darah dan meredakan pelaku kerusuhan. Karena apabila orang tahu dia harus dibunuh bila membunuh orang, tentu dia akan takut bila membunuh orang.”

Anak pasti berbuat salah

Sudah menjadi tabiat anak bahwa dia pasti melakukan kesalahan, karena anak semenjak lahir sudah digoda oleh setan. Lihat, dia makan dengan tangan kiri, sulit diperintah shalat, bahkan bila mau shalat, dia pun bermain-main. Kadang kala mengambil hak temannya, memukul temannya, sulit diperintah, dan lebih suka main-main daripada diperintah ibadah. Di sisi lain, akalnya belumlah sempurna, mudah terpengaruh, fisiknya lemah, belum lagi bila dia punya kelainan jiwa. Ini semua harus dimaklumi oleh orang tua atau pendidik untuk menentukan bagaimana sikap kita yang tepat dalam mendidik anak yang “bandel” dan susah diatur. Apakah layak mereka kita lakukan dengan kekerasan ataukah tidak?

Anak dan istri memiliki sifat bodoh

Para ulama sunnah seperti Ibnu Abbas, Ibnu Masud radhiallahu anhum, al-Hasan, adh-Dhahhak dan yang lainnya menyifati anak dan wanita sebagai orang yang bodoh. Sebagaimana tatkala mereka menafsirkan ayat 5 dari surat an-Nisā` di bawah ini.

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang bodoh (belum sempurna akalnya) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai modal hidup. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. an-Nisā`: 5)

Syaikh Musthafa al-Adawi berkata, “Aku telah menyebutkan dalam buku Fiqhu Ta’āmul baina az-Zaujain dan firman Allah surat at-Tahrīm ayat 3. Telah kuterangkan bahwa bila wanita atau istri melakukan 10 kesalahan maka hukumlah 5 kesalahan saja atau lebih sedikit, dan maafkan kesalahan lainnya karena Allah berfirman:

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَن بَعْضٍ ۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنبَأَكَ هَٰذَا ۖ قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ

Memberitahukan kesalahan sebagian dan membiarkan sebagian kesalahan lainnya. (QS at-Tahrīm: 3)

Perlakuan kepada anak pun demikian halnya.

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dirinya berkata, “Saya membantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah berkata, Uf (ah), mengapa engkau lakukan ini?! atau, Mengapa engkau tidak kerjakan ini?!” (HR. Bukhari: 2768)

Namun bukan berarti kita harus membiarkan semua kesalahan mereka, karena hukuman suatu saat juga diperlukan. Demikian juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghukum sebagian mereka dan membebaskan sebagian yang lain. Aisyah radhiallahu anha berkata, “Apakah kalian (sahabat) ingin aku ceritakan tentang diriku dan Rasulullah?” Kami menjawab, “Ya, tentu”. Aisyah berkata, “Pada malam itu Rasulullah berada di tempatku. Ia membalikkan tubuhnya dan meletakkan jubahnya, lalu mencopot sandalnya dan meletakkannya di dekat kakinya. Kemudian beliau membentangkan kainnya di atas ranjangnya, lalu tertidur. Tak lama kemudian, ia mengira bahwa aku telah tertidur lelap. Maka beliau mengambil jubahnya perlahan. Dan perlahan-lahan mengenakan sandalnya, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Beliau keluar setelah menutup pintu kembali seperti semula. Kemudian aku memakai pakaianku dari atas kepalaku dengan berkerudung dan aku tutup sarungku, kemudian aku mengikuti Rasulullah. Maka sampailah beliau di pemakaman Baqi’. Beliau berdiri lama seraya mengangkat kedua tangannya tiga kali. Setelah itu beliau membalikkan tubuh hendak kembali. Aku pun berpaling untuk kembali juga. Beliau berjalan cepat, maka aku pun berjalan cepat hingga aku berada di depan beliau namun beliau tak dapat mendahuluiku. Lantas aku masuk rumah dengan cepat dan berbaring kembali. Kemudian Rasulullah masuk ke dalam rumah seraya bertanya, ‘Wahai Aisyah, kenapa kamu bernapas terengah-engah?’ Aku menjawab, ‘Tidak apa-apa.’ Lalu beliau berkata, ‘Kamu akan memberitahukan aku atau Allah Yang Maha lembut dan Maha mengetahui yang akan memberitahukannya kepadaku? Aku menjawab, ‘Ya Rasulullah, demi ayahku, demi engkau dan demi ibuku (menjadi tebusanmu)!’ Lalu aku memberitahu tentang kepergianku mengikuti beliau ke Baqi`. Setelah itu beliau berkata, ‘Jadi, wanita yang berpakaian hitam di depanku adalah kamu?’ Aku menjawab, ‘Ya. Lalu beliau menepuk dadaku dengan tepukan yang menyakitkanku. (HR. Muslim 3/64)

Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. Maka, jika anak berbuat suatu kerusakan, tentu wajib untuk dicegah, namun dia juga tetap wajib untuk diarahkan kepada jalan yang baik. Sebab, bagaimanapun juga nasihat wajib untuk setiap kaum muslimin.

Hai orang tua, tidaklah dirimu juga bersih dari dosa

Orang tua ketika hendak menghukum anaknya karena dia bersalah, haruslah mengingat bahwa dirinya juga bukan malaikat yang bersih dari dosa. Kita memerintah anak kita membaca al-Qur`an namun dia tidak mau, tanpa berpikir panjang lantas kita pukul dia. Jika kita tidak juga membaca al-Qur’an, apakah kita senang bila dipukul oleh anak kita? Padahal dari sisi dosa, orang tua lebih besar dosanya daripada anak ketika melanggar dan menerjang larangan Allah dan Rasul-Nya. In syaa Allah jika orang tua dan pengasuh memaklumi kekurangan dirinya, dirinya pun akan memaklumi kesalahan anak didiknya dan bijak pula dalam menghukuminya.

Perhatikan firman Allah yang menjelaskan bahwa orang tua pernah berbuat dosa, bahkan dosanya lebih banyak daripada anak yang sudah baligh (apalagi dia belum baligh). Bukankah Allah memerintah anak agar berbuat baik kepada orang tua karena orang tua punya salah? Allah berfirman:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. al-Isrā`: 23)

Ini semua memberi peringatan agar orang tua dan pendidik selalu mempertimbangkan ketika mau berbuat kekerasan kepada anak yang bersalah. Karena suatu saat orang tua butuh uluran dan bantuan dari anaknya. Lebih-lebih ketika orang tua sudah lanjut usia dan sering sakit, dalam kondisi demikian maka anak juga akan teringat kebaikan dan keburukan orang tua di masa lalunya.

Boleh bertindak keras, tapi bukan merusak
Tatkala suami diberi hak memukul istrinya di saat durhaka, setelah diperlakukan dengan lembut dan setengah kasar belum berhasil, (QS. an-Nisā`: 34) bukan berarti suami boleh merusak fisik wanita. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ

“Janganlah salah satu di antara kamu mencambuk istrinya seperti mencambuk budak, lalu setelah itu dia mengumpuli istrinya lagi.” (HR. Bukhari: 17/319)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Jika istrimu durhaka, cambuk mereka, tetapi bukan cambuk yang kuat dan menyakitkan. (HR. Muslim: 4/39)

Ketika suami menjauhi tempat tidur istrinya, bukan berarti dia menyuruh istrinya pulang ke rumah orang tuanya atau diusir dari rumah. Tetapi maksudnya, jangan dikumpuli dan berpalinglah kamu dari arah istrimu, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhu.

Begitulah keindahan Islam menata kita ketika istri bermasalah dengan suami. Maka bagaimana mungkin anak yang belum baligh boleh diperlakukan kasar dan tidak beradab? Kami katakan anak kecil, karena apabila anak sudah berumur 15 tahun ke atas tentu orang tua tidak berani memukul dan berbuat kasar lagi, karena fisik orang tua sudah lemah, khawatir dilawan oleh anaknya. Oleh karena itu wahai orang tua dan pendidik, jauhkan dirimu dari menendang, memukul melempar batu kepada anak didik, karena hal ini berbahaya bagi pendidik dan anak didik pula.

Semoga Allah memberkahi amal kita dan menganugerahi kita dengan kelembutan dan kesabaran ketika mendidik anak yang “bandel”, serta diberi petunjuk ketika melakukan kekerasan. Semoga anak kita menjadi anak yang shalih dan shalihah serta bermanfaat dunia dan akhiratnya.

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc adalah mudir Ma'had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Beliau juga merupakan penasihat sekaligus penulis di Majalah Al-Furqon dan Al-Mawaddah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !