Suami Adalah Nahkoda Keluarga
Riyadhush Shalihin Bab 35 – Hak Suami Atas Istrinya
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّه
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS. An-Nisa’: 34)
===============================
Beberapa kaidah berkenan dengan hak dan kewajiban
1. Fokuslah kepada penunaian kewajiban bukan pada hak
Ketika kita memiliki kewajiban maka tunaikan, semua hak orang lain yang ada pada diri kita, berikan kepada yang pemiliknya. Adapun hak kita dari orang lain jangan terlalu berharap besar. Artinya kalau diberikan alhamdulillah kalau tidak maka tidak perlu bersedih hati. Jangan jadikan harapan untuk mendapatkan hak dari manusia, karena kita pasti nanti akan kecewa. Akan tetapi jadikanlah tumpuan harapan kita itu kepada Allah, niscaya kita tidak akan kecewa untuk selamanya. Inilah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Kalian tunaikan hak-hak (orang lain) yang menjadi kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian.” (HR. Bukhari: 3603, Muslim: 1834)
Begitulah, tunaikan saja apa yang menjadi kewajiban. Adapun hak, seandainya memang tidak mampu kita dapatkan di dunia maka biarlah Allah yang akan membalasnya.
Sebagai seorang suami maka, fokuslah pada penunaian kewajiban kepada istri dan keluarga. Jangan fokus dalam menuntut hak, agar kita tidak kecewa. Sebab istri dan keluarga kita semuanya adalah manusia pasti lemah dan tidak akan bisa menunaikan hak kita dengan sempurna.
2. Jangan balas khianat dengan khianat
Tetap fokus dalam penunaian kewajiban, meski kita dikhianati. Amanah yang menjadi kewajiban kita tetap kita tunaikan, jangan membalas khianat dengan khianat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberi kepercayaan kepadamu dan janganlah engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Tirmidzi: 1264)
Walaupun pengkhianatan itu berat bagi kita, akan tetapi disitulah letak ganjaran besarnya. Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan hubungan antara suami istri maka sebagai seorang suami kita dikhianati oleh istri maka jangan membalas dengan khianat yang serupa.
Sebab kepemimpinan seorang suami
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan bahwa seorang suami adalah qawwam (pemimpin) bagi istrinya. Hal ini disebabkan dua hal:
Pertama, kelebihan yang memang Allah takdirkan kepada setiap kaum laki-laki, berupa kelebihan akal, kekuatan, perasaan. Dengan kelebihan inilah syari’at menetapkan beberapa hal yang harus diberikan kepada laki-laki seperti kenabian, kepemimpinan negara, Imam shalat, jihad, talak, dst.
Kedua, kelebihan yang bersifat hasil usaha berupa nafkah.
Oleh sebab itu, seorang suami tetaplah pemimpin meskipun dia dalam keadaan sulit, tidak memiliki pekerjaan sehingga tidak dapat memberikan nafkah. Karena meskipun sebab kedua tidak ada pada dirinya, akan tetapi sebab pertama akan tetap ada. Karenanya, seorang istri yang memiliki kelebihan harta, atau yang membiayai kebutuhan keluarga, tidak pantas kemudian mengganggap remeh suaminya, bagaimanapun kaya dan tingginya kedudukan seorang istri di dalam rumah tangga tetap suamilah yang menjadi pemimpinnya.
Suami adalah nahkoda, pemimpin dan penjaga
Tugas utama dalam kepemimpinan di rumah tangga bagi seorang suami adalah menyelematkan keluarganya dari siksa neraka. Hal ini merupakan perintah Allah. Seorang suami harus menjaga keluarga baik jasad maupun rohani mereka. Sebagaimana ia perhatian dengan kesehatan anak dan istrinya maka demikian pula ia harus perhatian dengan rohani mereka.
Seorang suami tidak hanya dituntut untuk memberikan uang belanja kebutuhan keluarga, tapi lebih dari itu rohani keluarga juga tidak kalah pentingnya dari uang belanja. Sedangkan rohani itu bisa dipenuhi dengan ilmu dan pendidikan.
Maka sudah semestinya bagi setiap ayah atau suami memperhatikan pendidikan anak-anaknya dan istrinya. Dan jangan lupa, bahwa pendidikan yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat terhindar dari neraka. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Banyak orang tua hari ini sangat perhatian dengan pendidikan anaknya. Tetapi, sangat disayangkan hanya bersifat keduniaan saja. Mati-matian memperjuangkan anaknya agar bisa Bahasa Inggris, pintar Komputer, lulus di Universitas ternama, bisa ke Amerika atau Eropa. Namun lupa dengan agamanya.
Maka ingatlah! Kita tidak akan ditanya kenapa anak kita tidak bisa Bahasa Inggris, akan tetapi kita akan ditanya kenapa anak kita tidak bisa shalat?
Kita tidak akan ditanya kenapa anak kita tidak lulus S1, namun kita akan ditanya kenapa dia tidak menutup aurat?
Setinggi apapun kita mampu menyekolahkan mereka, sampai S3 atau dapat meraih titel Prof sekali pun, jika mereka tidak bisa menutup auratnya maka kita telah gagal dalam mendidik mereka, dan kemudian kita akan mempertanggung jawabkan itu semua.
Suami terbaik membantu pekerjaan rumah
Seorang suami meski diberikan kelebihan sebagai seorang pemimpin, akan tetapi hal itu tidak serta merta menjadikan ia boleh semena-mena dalam rumah tangga kemudian tidak mau membantu pekerjaan istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan bagi para suami, Dari Al-Aswad bin Yazid pernah menceritakan:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ خَرَجَ
“Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang dilakukan Nabi di rumah, maka ia menjawab: ‘Beliau biasa melayani istri (dalam pekerjaan rumah tangga), dan jika terdengar adzan maka beliau keluar (menuju shalat).’” (HR. Bukhari: 5363)
Seorang suami yang baik adalah suami yang jika di rumah dan usai dari kesibukannya ia turut mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan meringankan pekerjaan istrinya.
Jika kita beralasan dengan kesibukan, tidak ada waktu, ada urusan yang lebih penting, letih, maka pertanyaannya; “Sibuk mana kita dibanding Rasulullah? Penting mana urusan yang harus kita selesaikan dibanding dengan urusan Rasulullah? Dan letih mana kita dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Lihat Nabi kita ini, seorang Rasul, kepala negara, panglima perang, hakim agung, dst. Namun ternyata inilah yang beliau lakukan jika sudah berada di rumah. Kita ingin menjadi suami yang baik? Maka teladanilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah potret pemimpin yang sejati, seorang suami yang sesungguhnya.
Baca juga Artikel:
Keluarga Paling Berhak Mendapatkan Kebaikan Kita
Selesai ditulis di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Jum’at 9 Rabi’ul Akhir 1441H/ 6 Desember 2019M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK