KITABUT TAUHID BAB 15 – Tidak Seorangpun Yang Berhak Disembah Selain Allah

Pada bab ke 15 ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan menjelaskan dan membawakan dalil bahwa tidak seorangpun yang berhak untuk disembah selain Allah. Dalil yang pertama adalah firman Allah:

أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ ، وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ

Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berha]a itu tidak dapat memberi pertolongan. (QS. Al-A’raf: 191-192)

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ ، إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan sesembahan-sesembahan yang kalian mohon selain Allah, tidak memiliki apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar seruanmu itu; kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu; dan pada hari kiamat meraka akan mengingkari kemusyrikanmu, dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir: 13-14).

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ia berkata:

شُجَّ النَّبِيُّ ﷺ يَوْمَ أُحُدٍ، وَكُسِرَتْ رُبَاعِيَّتَهُ، فَقَالَ: كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوْا نَبِيَّهُمْ ، فَنُـزِلَتْ لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ

“Ketika perang uhud Rasulullah ﷺ terluka kepalanya, dan pecah gigi gerahamnya, maka beliau bersabda: “Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabinya?” Kemudian turunlah ayat: “Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu”. (QS. Ali Imran: 128).”

Dan diriwayatkan dalam shahih Bukhari dari Ibnu Umar bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda ketika beliau berdiri dari ruku’ pada rakaat yang terakhir dalam shalat shubuh:

اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلاَنًا وَفُلاَناً ، بَعْدَ مَا يَقُوْلُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ ، فَأَنْزَلَ الله : لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ

“Ya Allah, laknatilah si fulan dan sifulan”, setelah beliau mengucapkan: rabbana lakal hamd, setelah itu turunlah firman Allah: “Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu”.

Dalam riwayat yang lain: “Beliau mendoakan semoga Shafwan bin Umayah, Suhail bin Amr, dan Al Harits bin Hisyam dijauhkan dari rahmat Allah”, maka turunlah ayat:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ

“Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu”.

Diriwayatkan pula dalam shahih Bukhari dari Abu Hurairah ia berkata: “Ketika diturunkan kepada Rasulullah ﷺ firman Allah :

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214).

Beliau berdiri dan bersabda: “Wahai orang-orang Quraisy, tebuslah diri kamu sekalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya). Sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan Allah untuk kalian. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib, sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu dihadapan Allah, wahai Shafiyah bibi Rasulullah, sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu dihadapan Allah nanti, wahai Fatimah binti Rasulillah, mintalah kepadaku apa saja yang kau kehendaki, tapi sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu dihadapan Allah nanti.”

Kandungan bab ini:
1. Penjelasan tentang kedua ayat tersebut diatas.
2. Kisah perang uhud.
3. Rasulullah, pemimpin para rasul, dalam shalat subuh telah membaca qunut sedang para sahabat dibelakangnya mengamini.
4. Orang-orang yang beliau doakan semoga Allah menjauhkan rahmat-Nya dari mereka adalah orang-orang kafir.
5. Mereka telah melakukan perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang-orang kafir yang lain, antara lain melukai kepala Rasulullah, dan berupaya untuk membunuh beliau, serta mengoyak-ngoyak tubuh para korban yang terbunuh, padahal yang terbunuh itu adalah sanak famili mereka.
6. Terhadap peristiwa itulah Allah menurunkan firman-Nya kepada beliau:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ

7. Allah berfirman:

أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ

“Atau Allah terima taubat mereka, atau menyiksa mereka.” (QS. Ali Imran: 128).

Kemudian Allah pun menerima taubat mereka, dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, dan menjadi orang-orang yang beriman.
8. Dianjurkannya melakukan qunut nazilah, yaitu: qunut yang dilakukan ketika umat Islam dalam keadaan marabahaya.
9. Menyebutkan nama-nama mereka beserta nama orang tua mereka ketika didoakan terlaknat di dalam shalat, tidak membatalkan shalat.
10. Boleh melaknat orang kafir tertentu di dalam qunut.
11. Kisah Rasulullah ﷺ ketika diturunkan kepada beliau firman Allah “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat”.
12. Kesungguhan Rasulullah ﷺ dalam hal ini, sehingga beliau melakukan sesuatu yang menyebabkan dirinya dituduh gila, demikian halnya apabila dilakukan oleh orang mukmin pada masa sekarang.
13. Rasulullah ﷺ memperingatkan keluarganya yang paling jauh kemudian yang terdekat dengan sabdanya: “sedikitpun Aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu dihadapan Allah nanti” sampai beliau bersabda: “wahai Fatimah putri Rasul, aku tidak bisa berbuat untukmu apa-apa dihadapan Allah nanti”.
Jika beliau sebagai pemimpin para rasul telah berterus-terang tidak bisa membela putrinya sendiri pemimpin kaum wanita di jagat raya ini, dan jika orang mengimani bahwa apa yang beliau katakan itu benar, kemudian jika dia memperhatikan apa yang terjadi pada diri kaum khawash dewasa ini, maka akan tampak baginya bahwa tuhid ini sudah ditinggalkan, dan tuntunan agama sudah menjadi asing.

===============================

I. Kelemahan sesuatu yang disembah selain Allah

Dalam QS. Al-A’raf: 191-192, penulis menjelaskan bahwa ini adalah diantara dalil yang menunjukkan kebatilan syirik, sekaligus keterangan mengenai keadaan sesuatu yang disembah selain Allah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Allah menerangkan kelemahan berhala-berhala ini dan bahwa mereka tidak layak untuk diibadahi dari empat sisi:

1. Bahwa mereka tidak mampu menciptakan dan sesuatu yang tidak mampu menciptakan maka tidak berhak untuk diibadahi.

2. Mereka diciptakan dari ketiadaan sehingga mereka membutuhkan kepada selain mereka selamanya.

3. Mereka tidak mampu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta kepada mereka.

4. Mereka tidak sanggup menolong diri mereka sendiri.” (Al-Qaulul Mufid: 1/285)

II. Nabi tidak berhak disembah

Dari Asbabun Nuzul QS. Ali Imran: 128, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terluka sehingga beliau mengatakan, “Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabinya?”, maksudnya jauh (tidak akan) beruntung kaum yang melukai nabi mereka. Rasulullah seolah-olah telah memvonis bahwa mereka tidak akan beruntung untuk selamanya. Karena satu ucapan inilah Allah menegur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak berhak disembah karena Nabi tidak bisa menolak mudharat untuk dirinya sehingga beliau terluka dan tidak pula bisa memberikan mudharat kepada orang lain dengan menutup pintu hidayah atas mereka yang telah melukainya. Jika halnya demikian maka bagaimana dengan selain nabi, tentu lebih tidak boleh lagi.

III. Tidak boleh menjauhkan rahmat Allah dari pelaku maksiat

Dari point sebelumnya, nampak bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditegur oleh Allah karena menjauhkan rahmat-Nya dari orang-orang yang telah melukai beliau pada perang Uhud. Mereka adalah Shafwan bin Umayyah, Suhail bin Amr dan Al-Harits bin Hisyam.

Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak bisa menutup hidayah pada seseorang. Allah yang berhak memberi dan menahan hidayah-Nya kepada para hamba-Nya. Karena, mereka yang disebut oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam itu semuanya kemudian -dengan berlalunya waktu- masuk Islam dan bagus keislaman mereka.

Hal ini sama halnya dengan kejadian yang pernah terjadi di zaman bani israil dahulu. Dari Jundab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bercerita:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ

“Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata; ‘Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.’ Sementara Allah berfirman: ‘Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah memutuskan amal perbuatanmu.” (HR. Muslim: 2621)

Termasuk juga diantara kisah orang yang diberi hidayah oleh Allah di akhir hayatnya yaitu kisah Ushairim bin Abdil Asyhal, dari Abu Hurairah berkata:

كَانَ يَقُولُ حَدِّثُونِي عَنْ رَجُلٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ لَمْ يُصَلِّ قَطُّ فَإِذَا لَمْ يَعْرِفْهُ النَّاسُ سَأَلُوهُ مَنْ هُوَ فَيَقُولُ أُصَيْرِمُ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ عَمْرُو بْنُ ثَابِتِ بْنِ وَقْشٍ قَالَ الْحُصَيْنُ فَقُلْتُ لِمَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ كَيْفَ كَانَ شَأْنُ الْأُصَيْرِمِ قَالَ كَانَ يَأْبَى الْإِسْلَامَ عَلَى قَوْمِهِ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُحُدٍ بَدَا لَهُ الْإِسْلَامُ فَأَسْلَمَ فَأَخَذَ سَيْفَهُ فَغَدَا حَتَّى أَتَى الْقَوْمَ فَدَخَلَ فِي عُرْضِ النَّاسِ فَقَاتَلَ حَتَّى أَثْبَتَتْهُ الْجِرَاحَةُ قَالَ فَبَيْنَمَا رِجَالُ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ يَلْتَمِسُونَ قَتْلَاهُمْ فِي الْمَعْرَكَةِ إِذَا هُمْ بِهِ فَقَالُوا وَاللَّهِ إِنَّ هَذَا لَلْأُصَيْرِمُ وَمَا جَاءَ لَقَدْ تَرَكْنَاهُ وَإِنَّهُ لَمُنْكِرٌ هَذَا الْحَدِيثَ فَسَأَلُوهُ مَا جَاءَ بِهِ قَالُوا مَا جَاءَ بِكَ يَا عَمْرُو أَحَرْبًا عَلَى قَوْمِكَ أَوْ رَغْبَةً فِي الْإِسْلَامِ قَالَ بَلْ رَغْبَةً فِي الْإِسْلَامِ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَسْلَمْتُ ثُمَّ أَخَذْتُ سَيْفِي فَغَدَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَاتَلْتُ حَتَّى أَصَابَنِي مَا أَصَابَنِي قَالَ ثُمَّ لَمْ يَلْبَثْ أَنْ مَاتَ فِي أَيْدِيهِمْ فَذَكَرُوهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Ia berkata: Ceritakan padaku tentang orang yang masuk surga yang tidak pernah shalat sama sekali, bila orang-orang tidak mengenalnya, tanyakan siapa dia? Lalu jagoan Bani ‘Abdul Asyhal, ‘Amru bin Tsabit bin Waqsy berkata: Berkata Al Hushain lalu aku berkata kepada Mahmud bin Labid: Bagaimana keadaan Al Ushairim?: ia menjawab: Ia enggan masuk Islam karena kaumnya kemudian saat terjadi perang Uhud dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi menuju Uhud, terlihatlah keIslamannya lalu masuk Islam. Ia mencabut pedang dan maju hingga mendatangi musuh, ia masuk dihadapan orang-orang dan berperang hingga terluka. Saat orang-orang Bani ‘Abdul Asyhal mencari korban-korban mereka dalam peperangan, ternyata mereka menemukannya, mereka berkata: Demi Allah ini adalah Al Ushairim. Kami meninggalkannya dan ia memungkiri hadits ini. Mereka bertanya padanya kenapa datang, mereka berkata: Untuk apa kau datang wahai ‘Amru, apa kau ingin berperang demi kaummu atau ingin masuk Islam? Ia menjawab: Ingin masuk Islam, aku beriman kepada Allah dan rasulNya, aku masuk Islam lalu aku mengambil pedangku, aku maju bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berperang hingga aku terkena serangan. Berkata Mahmud: Tidak berselang lama ia pun meniggal direngkuhan tangan mereka. Mereka menyebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya ia termasuk penghuni surga.” (HR. Ahmad: 22526)

IV. Nabi dan Ahlul Bait

Hadits Abu Hurairah tentang dakwah nabi kepada keluarganya, memberikan beberapa faidah:

1. Dakwah yang paling utama adalah mendakwahi keluarga.

2. Nabi tidak bisa memberi manfaat atau menolak mudharat dari keluarganya sendiri. Sehingga tidak berhak untuk sembah.

3. Keselamatan adalah dengan amal masing-masing bukan dengan nasab.

4. Ahlul bait Nabi tidak mesti semuanya benar, yang menjadi tolak ukur adalah kesesuaian amal mereka dengan ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Kita tidak memungkiri untuk memuliakan serta mengikuti para keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, selama amal perbuatan mereka sesuai timbangan yaitu Al-Qur’an dan Hadits Nabi dengan pemahaman yang benar.

Dari hadits ini jelaslah bahwa memiliki hubungan nasab dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka tidak memberi manfaat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:

فَهَذَا كَلَامُ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَقَارِبِهِ الأَقْرَبِيْنَ: عَمِّهِ، وَعَمَّتِهِ، وَابْنَتِهِ؛ فَمَا بَالُكَ بِمَنْ هُمْ أَبْعَدُ؟!…. إِذْ الَّذِي يَنْفَعُ بِالنِّسْبَةِ لِلرَّسُولِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الإِيْمَانُ بِهِ وَاتِّبَاعُهُ

“Inilah ucapan Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada karib kerabat terdekatnya; paman, bibi, dan putrinya, lantas bagaimana lagi dengan mereka yang lebih jauh hubungan nasabnya?! Jadi, hubungan nasab ke Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang dapat memberi manfaat adalah apabila dibangun di atas keimanan dan ittiba’ (mengikuti ajaran beliau).” (Al-Qaulul Mufid: 1/296)

Oleh sebab itu, anggaplah jika seorang itu benar keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka tetap yang menjadi pedoman adalah kesesuaian amalannya dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Jika malah menyelisihi maka harus ditinggalkan, karena nasabnya tersebut saja tidak bisa menolong dirinya sendiri, apalagi diri kita.

 

Penulis: Zahir Al-Minangkabawi
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut klik

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !