Makna Toleransi (Meyikapi Natal) – Khutbah Jumat

KHUTBAH PERTAMA

إِنَّ الْـحَمْدَ الِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاٱللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ ٱاللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱاللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا ٱالَّذِينَ آمَنُوا ٱتَّقُوا ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ اٱلـحَدِيثِ كِتَابُ ٱللَّهِ، وَخَيْرَ ٱالهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي ٱالنَّارِ

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….

Di setiap akhir tahun masehi, isu Toleransi selalu muncul dan diperbincangankan oleh banyak orang. Tidak hanya dikalangan cendikiawan, bahkan orang-orang yang tidak punya ilmu dalam masalah itu pun turut bicara.

Terjadilah perselisihan, karena pendapat-pendapat itu muncul sesuai dengan kadar ilmu, latar belakang, kepentingan masing-masing yang bicara. Maka dalam kondisi seperti ini, kita wajib mengamalkan perintah Allah dalam firman-Nya:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِۚ

“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisa’: 59)

Artinya, kita harus kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi patokan kebenaran Absolut. Dan semua permasalahan telah dijelakan oleh Allah.

Makna Toleransi

Dalam Islam, kata paling dekat dengan istilah Toleransi adalah Samahah. Imam Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) menjelaskan:

السَّمَاحَةُ: سُهُولَةُ الْمُعَامَلَةِ فِي اعْتِدَالٍ، فَهِيَ وَسَطٌ بَيْنَ التَّضْيِيقِ وَالتَّسَاهُلِ. وَهِيَ رَاجِعَةٌ إِلَى مَعْنَى الْاِعْتِدَالِ، وَالْعَدْلِ، وَالتَّوَسُّطِ.

Toleransi adalah berinteraksi dengan mudah (longgar) secara proporsional. Maka, toleransi adalah sikap pertengahan antara terlalu mempersempit (mempersulit) dan terlalu mempermudah. Makna toleransi kembali kepada makna proporsional, adil, dan pertengahan. (Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, cet. Wizarah Al-Auqaf wa Asy-Syuun Al-Islamiyah, 1425H, juz 3 hlm. 88)

Sikap pertengahan itu adalah melakukan apa yang dibatasi oleh syariat. Hal-hal yang dilarang maka harus ditinggalkan sedangkan hal yang dibolehkan itulah yang dilakukan. Itulah makna toleransi yang patokannya adalah syariat bukan hawa nafsu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “toleran” dimaknai:

Bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. (Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008 M, hlm. 1722)

Defenisi Toleransi yang diungkap oleh para ulama dan juga disebutkan dalam KBBI ini adalah makna yang benar. Dalil utama yang mendukung hal ini adalah surat Al-Kafirun.

Dari Sa‘īd bin Mīnā,  ia berkata: Al-Walīd bin al-Mughīrah, al-‘Āṣ bin Wā’il, al-Aswad bin al-Muṭṭalib, dan Umayyah bin Khalaf bertemu Rasulullah ﷺ, lalu mereka berkata, “Wahai Muhammad! Mari kita saling menyembah: kami menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah. Kami akan melibatkanmu dalam seluruh urusan kami. Jika ajaran yang engkau bawa itu lebih baik daripada apa yang ada pada kami, maka kami telah ikut serta bersamamu di dalamnya dan kami pun mengambil bagian darinya. Namun jika apa yang ada pada kami lebih baik daripada apa yang ada padamu, maka engkau telah ikut serta bersama kami dalam urusan kami dan engkau pun mengambil bagian darinya.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Katakanlah: Wahai orang-orang kafir …” hingga akhir surat al-Kāfirūn. (Jami Al-Bayan: 24/703)

Sehingga dari sini kita paham inti dari makna toleransi -baik dari segi bahasa Indonesia ataupun istilah syariat- yaitu sikap menenggang atau membiarkan. Maka dari definisi ini kita bisa menilai bahwa ada dua kelompok yang salah dalam masalah Toleransi ini:

  1. Orang-orang yang mengganggu, menebarkan teror saat agama lain melakukan ibadah, berarti dia tidak bertoleransi. Sebagai seorang muslim kita beriman kepada Allah, memeluk agama Islam dengan kuat dan fanatik, mengingkari keumungkaran tapi tidak boleh memaksa manusia, apalagi sampai mengganggu mereka, sementrara mereka tidak termasuk kafir harbi. Tugas kita hanya menyampaikan saja. Dan ini adalah perintah Allah, dalam firman-Nya:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

Sama sekali tidak ada paksaan (untuk menganut Islam) dalam agama Islam. Sebab, jalan yang benar telah jelas terpisah dari jalan yang menyimpang. (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

  1. Orang-orang yang ikut serta, mengucapkan selamat, memakai atribut perayaan, menjaga keamaanan, dst. Ini bukan toleransi, tapi ini adalah kebablasan. Lihat definisi toleransi sebelumnya yaitu membiarkan (tidak mengganggu) bukan ikut serta di dalamnya, sebagaimana toleransi yang digembor-gemborkan orang-orang sekarang yang mengaku-ngaku paling toleransi. Dan itu akan sangat jelas kalau kita membaca asbabun nuzul dari surat Al-Kafirun.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ رب العالمين أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….

Bagaimana sikap umat Islam terhadap hari Natal?

  1. Kita harus mengingkari keyakinan tersebut. Tidak boleh sampai menyetujui atau ridha (tidak boleh mengucapkan selamat) karena Allah sangat murka dengan keyakinan mereka tersebut yang mengatakan Anak tuhan lahir di tanggal 25 Desember. Allah berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (88) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (89) تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92)

Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (QS. Maryam: 88-92)

  1. Tidak boleh memakai atribut perayaan mereka, karena Nabi bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031)

Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).

  1. Tidak boleh ikut serta, karena Allah berfirman:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

Allah berfirman:

أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ

Apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS. an-nisa: 140)

Lalu dimana letak toleransinya? Jawabannya, dengan mengembalikan ke makna toleransi itu sendiri. Yaitu membiarkan dan tidak menggangu agama mereka. Kita hanya menyampaikan bahwa keyakinan Allah punya anak adalah keyakinan yang batil namun kita tidak bisa memaksakan hal itu kepada orang lain. Dia terima atau tidak maka itu adalah urusan dia dengan Allah. Tugas kita hanya menyampaikan bukan memaksa. Hidayah hanya berasal dari Allah.

Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran, memberikan husnul khatimah kepada kita, mati di atas iman dan islam.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْوبنا عَلَى دِينِكَ

ربنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْن

Lihat:

Arsip Khutbah Maribaraja.Com

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !