Hukum Madzi, Wadi dan Mani


Madzi dan Wadi

Madzi adalah cairan halus lagi kental yang keluar ketika syahwat sedang naik. Namun keluarny tidak memancar dan tidak merasa lemas setelah mengeluarkannya, bahkan terkadang keluar tanpa terasa.

Wadi adalah cairan berwarna putih dan kental yang keluar setelah buang air kecil.

Madzi dan wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah: 1/72)

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, ia mengatakan:

كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ، وَيَتَوَضَّأُ

Aku adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan madzi namun aku malu untuk bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam karena kedudukan putrinya. Maka aku memerintahkan al-Miqdad bin al-Aswad, lalu ia pun bertanya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda: Ia cuci kemaluannya lalu berwudhu. (HR. Bukhari: 269, Muslim: 303)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia mengatakan: “Mani, wadi dan madzi. Adapun mani maka itulah yang menyebabkan mandi wajib, sedangkan wadi dan madzi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلَاةِ

Cucilah kemaluanmu lalu berwudhulah seperti wudhu untuk shalat. (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra: 799)

Mani

Mani adalah cairan halus lagi kental yang keluar ketika syahwat sedang naik, keluar dengan memancar dan menyebabkan lemas setelah mengeluarkannya.

Apakah mani itu najis ataukah tidak? Maka dalam hal ini ulama berselisih menjadi dua pendapat :

Pertama, mani itu adalah najis. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan satu riwayat dari Ahmad. Dalilnya adalah hadist Aisyah radhiyallahu anha, ketika ia ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab:

كُنْتُ أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ، وَأَثَرُ الغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ

Aku dahulu mencucinya dari pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau keluar untuk shalat sementara bekas cucian masih terlihat pada pakaian beliau. (HR. Bukhari: 230, Muslim: 289)

Mereka mengatakan bahwa mencuci ini tdaklah dilakukan kecuali untuk membersihkan sesuatu yang najis.

Kedua, mani itu suci. Ini adalah pendapat Syafi’i, Dawud azh-Zhahiri, dan salah satu dari dua riwayat yang paling shahih dari Ahmad. Dalilnya yaitu hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa ada seorang tamu seorang tamu yang singgah di rumah Aisyah. Pagi harinya ia mencuci pakaiannya, maka Aisyah berkata kepadanya:

إِنَّمَا كَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ ، فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ وَلَقَدْ رَأَيْتُنِي أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ

“Sesungguhnya cukup bagimu mencuci tempat yang terkena mani jika engkau melihatnya. Jika engkau tidak melihatnya maka percikan saja air di sekitarnya. Aku pernah mengeriknya dari pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Bukhari: 288)

Pendapat yang lebih kuat, pendapat kedua yang mengatakan mani itu adalah suci. Alasannya adalah:

  1. Perbuatan Aisyah radhiyallahu anha yang kadang kala mengerik dan mencucinya menunjukkan bahwa mani itu bukan najis. Karena pakaian juga terkadang dicuci karena terkena dahak, dan ludah. Pendapat ini adalah pendapat sebagian sahabat diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Abbas dan selainnya. Menurut mereka “Sesungguhnya mani itu seperti dahak dan ludah. Bersihkanlah darimu walaupun dengan idzkir.” Jelaslah disini bahwa perbuatan Aisyah radhiyallahu anha hanyalah termasuk masalah memilih cara bersuci yang disukainya. (Shahih Fiqh Sunnah)
  2. Masalah mani adalah masalah yang umum terjadi. Para sahabat dahulu juga bermimpi basah di zaman Nabi dan mani mengenai badan dan pakaian mereka. Jika najis tentu wajib bagi Nabi memerintahkan mereka untuk menghilangkannya seperti memerintahkan mereka untuk beristinja’. Namun, tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hal sepeti itu.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !