Jangan Ikuti Mereka, Kita Telah Mulia Dengan Islam – Khutbah Jum’at

KHUTBAH PERTAMA

الحَمْدُ لله يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةَ التَّوْحِيدِ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَعَلَى آله وَصَحْبِهِ ، صَلَاةً تَامَّةً بَاقِيَةً إِلَى يَوْمِ المَزِيْدِ

أَيُّهَا المُسْلِمُونَ ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله فَإِنَّ التَّقْوَى خَيْرُ الزَّادِ فِي السَّيْرِ إِلَى الله تعَالى ، قال الله ﷻ: وَتَزَوَّدُواْ  فَإِنَّ خَيرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقوَىٰ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلأَلبَٰبِ ، أما بعد

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah…

Orang-orang yang berjumpa dengan Nabi kemudian beriman dan mengikuti ajaran beliau hingga meninggal dunia inilah yang disebut dengan sahabat. Mereka adalah generasi terbaik yang pernah hidup di muka bumi, hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الًّذِينَ يَلُوْنَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup di zamanku, kemudian setelahnya dan kemudian yang setelahnya. (HR. Bukhari: 2651, Muslim: 2535)

Para sahabat adalah orang-orang yang wajib dijadikan teladan dalam hidup beragama. Karena mereka adalah generasi pilihan yang hidup berbaur bersama Nabi terakhir. Mereka menyaksikan secara langsung wahyu yang turun dari langit, mendengar langsung wahyu itu dan penjelasannya dari Nabi, sehingga merekalah generasi yang paling paham terhadap agama.

Mereka adalah generasi yang dijamin selamat, kaki mereka masih menyentuh tanah dunia akan tetapi nama mereka telah tercatat sebagai penduduk surga. Ibarat seorang yang mengarungi hutan belantara, jika ia ingin selamat tentu hendaknya ia harus mengikuti dan menempuh jalan orang-orang yang telah pernah mengarunginya dan selamat. Dunia ini ibarat belantara yang lebat dan menyesatkan, kita yang ditakdirkan mengarunginya hari ini, jika ingin selamat maka titilah jalan para sahabat, generasi yang telah selamat. Oleh karena itulah, Imam Ahmad bin Hanbal salah seorang ulama besar Islam, murid dekat Imam Asy-Syafi’i sekaligus Imam salah satu dari 4 madzhab yang terkenal yaitu mazhab Hanbali, menegaskan:

أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ

Pokok-pokok akidah menurut kami (Ahlus Sunnah) adalah: Berpegang teguh pada ajaran sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikuti mereka.

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah…

Salah satu hal yang patut kita tiru dari prinsip hidup para sahabat Nabi adalah menyadari besarnya nikmat Islam, bangga menjadi seorang muslim sehingga tidak sedikit pun kagum dengan apa yang ada pada orang-orang kafir apalagi sampai mengikuti mereka.

Satu kisah dari salah seorang sahabat Nabi, sosok yang menjadi teladan kita, tokoh besar yang sangat kita kagumi yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu anhu terkait dengan prinsip hidup diatas yang patut kita renungkan. Kisah ini terjadi saat Umar bin Khaththab datang ke Syam untuk menerima penyerahan Baitul Maqdis dari Romawi setelah mereka takluk di bawah kekuatan kaum Muslimin. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dari Thariq bin Syihab rahimahullah, ia mengatakan:

خَرَجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى الشَّامِ وَمَعَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَأَتَوْا عَلَى مَخَاضَةٍ وَعُمَرُ عَلَى نَاقَةٍ لَه ، فَنَزَلَ عَنْهَا وَخَلَعَ خُفَّيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَلَى عَاتِقِهِ ، وَأَخَذَ بِزِمَامِ نَاقَتِهِ فَخَاضَ بِهَا الْمَخَاضَةَ ، فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أأَنْتَ تَفْعَلُ هَذَا ، تَخْلَعُ خُفَّيْكَ وَتَضَعُهُمَا عَلَى عَاتِقِكَ ، وَتَأْخُذُ بِزِمَامِ نَاقَتِكَ ، وَتَخُوضُ بِهَا الْمَخَاضَةَ ؟ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ أَهْلَ الْبَلَدِ اسْتَشْرَفُوكَ ، فَقَالَ عُمَرُ : أَوَّهْ لَوْ يَقُولُ ذَا غَيْرُكَ أَبَا عُبَيْدَةَ جَعَلْتُهُ نَكَالًا لَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللَّهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللَّهُ .

Umar bin Khaththab keluar menuju Syam dan bersama kami Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, lalu mereka sampai di sebuah genangan air (becek) sedangkan Umar saat itu berada di atas untanya. Umar pun turun dari untanya, kemudian membuka kedua sepatunya dan menggantungkannya di pundaknya, mengambil tali kekang untanya lantas ia pun masuk ke dalam genangan air tersebut. Sehingga Abu Ubaidah pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, engkau melakukan hal ini?! Engkau membuka kedua sepatumu dan meletakkannya di pundakmu, mengambil tali kekang untamu lalu masuk ke dalam genagan air itu?! Sesunguhnya penduduk negeri ini (Romawi) tengah berdiri tegak menyambut untuk memuliakanmu…” Umar berkata: Uh, seandainya yang mengucapkan ini bukan engkau wahai Abu Ubaidah tentu aku menghukumnya sehingga menjadi pelajaran untuk umat Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya kita dahulu adalah kaum yang paling hina, lalu Allah pun memuliakan kita dengan Islam. Bilamana kita mencari kemuliaan pada selain sesuatu yang Allah telah memuluakan kita dengannya (Islam) maka pasti Allah justru akan menghinakan kita. (Al-Mustadrak: 214, disadur dari islamweb.net dengan judul: Qishshah Khuruj Umar Ila Asy-Syam)

Inilah prinsip hidup Umar; merasa bangga dan bahagia menjadi seorang muslim. Ia tidak peduli dengan tampilannya; bajunya yang bertambal, tunggangannya yang biasa saja, membuka sepatu, menuntun unta masuk ke dalam becek meski disaksikan oleh orang-orang Romawi dan para pembesarnya. Karena Umar sudah merasa cukup dengan kemuliaan sebagai seorang Muslim. Jangankan mengikuti dan mengagumi mereka, peduli saja Umar terhadap mereka tidak.

Menjadi seorang Muslim dan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nikmat yang paling besar, sebuah kemuliaan yang sangat agung. Coba renungkan, berapa jumlah umat manusia di dunia saat ini. Dari sekian miliar itu Allah takdirkan kita memeluk agama Islam. Bukankah itu adalah sebuah anugerah yang amat besar?! Karena itulah seorang imam dari generasi tabi’in yaitu Abu al-‘Aliyah rahimahullah pernah mengatakan:

فَقَدْ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيَّ بِنِعْمَتَيْنِ، لاَ أَدْرِي أَيُّهُمَا أَفَضْلُ: أَنْ هَدَانِي لِلإِسْلاَمِ، وَلَمْ يَجْعَلْنِي حَرُوْرِيّاً

Sungguh Allah telah memberiku dua nikmat, aku tak tahu mana dari keduanya yang lebih utama; Allah memberi hidayah kepadaku untuk memeluk Islam dan tidak menjadikanku Haruri.” (Siyar A’lam an-Nubala’: 7/236)

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ رب العالمين أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه، أما بعد

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah…

Di setiap akhir tahun Masehi, selalu menjadi ujian bagi umat Islam terhadap akidah dan prinsip hidup mereka. Dengan dalih adat kebiasaan, toleransi, kerukunan dan akhlak yang indah, sebagian dari kita ikut serta dalam memeriahkan Natal dan tahun baru. Entah itu memang turut serta langsung maupun sekedar mengucapkan selamat. Apakah toleransi beragama harus mengorbankan akidah?! Apakah kerukunan dan akhlak yang indah harus dengan menerjang larangan agama?! Tentu tidak

Mari kita renungkan bersama, sebuah do’a yang selalu kita panjatkan, sepanjang hari; pagi, siang, petang, dan malam. Bagi seorang muslim minimalnya tujuh belas kali ia haturkan do’a ini, di dalam setiap raka’at dalam shalatnya. Yaitu do’a dalam surat al-Fatihah:

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS. al-Fatihah: 6)

Apa maksud dari jalan yang lurus itu dan jalan siapakah jalan itu? Ternyata jawabnya ada pada ayat berikutnya. Jalan yang lurus itu adalah:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. (QS. al-Fatihah: 7)

“Orang-orang yang telah Engkau beri nikmat,” mereka adalah para Nabi dan Rasul, orang-orang yang jujur, syuhada’ dan orang-orang shalih, jalan hidup sahabat Nabi. Jalan merekalah yang kita pinta. Sebagaimana firman Allah:

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An-Nisa’: 69)

Adapun orang yang Engkau murkai, mereka adalah Yahudi. Sedang orang yang tersesat adalah Nasrani. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اليَهُوْدُ مَغْضُوْبٌ عَلَيْهِمْ، وَالنَّصَارَى ضُلَّالٌ

“Yahudi adalah umat yang dimurkai dan Nasrani adalah umat yang tersesat.” (HR. Tirmidzi: 2954, Shahih al-Jami’: 8202)

Itu artinya setiap hari kita meminta agar dapat menempuh jalannya para Nabi dan Rasul, para shiddiq, syuhada’, dan orang-orang shalih, sahabat Nabi. Kemudian dijauhkan dari jalannya umat Yahudi dan Nasrani.

Sehingga dari sini, sungguh sangat mengherankan jika ada umat Islam yang setiap kali shalat meminta dijauhkan dari jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani namun kenyataannya dia sendiri yang menempuh jalan mereka.

Natal, peringatan tahun baru adalah jalannya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Natal hari raya Nasrani, Tahun baru adalah perayaannya Yahudi dan Nasrani. Di sana ada terompet, lonceng, serta kemaksiatan lain yang merupakan budaya mereka. Maka sangat disayangkan ketika ada seorang yang berstatus muslim membaca “ihdinash shirathal mustaqim” setiap hari namun ikut merayakan natal dan tahun baru.

Oleh sebab itu, seorang muslim dan muslimah tidak boleh ikut serta, agar tidak bertentangan antara do’anya dengan kenyataan yang ia perbuat. Ingat kita ini muslim, Allah telah muliakan kita dengan Islam, jangan mengikuti jalan kaum yang dimurkai Allah dan kaum yang tersesat.  Jagalah diri kita, keluarga, anak-anak kita jangan sampai ikut serta dalam hal ini.  Ingatlah perkataan Umar bin Khaththab tadi, kita manusia yang telah Allah muliakan dengan Islam banggalah menjadi seoranag muslim, ikutilah jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat agar kita selamat dan menjadi manusia mulia. Jangan ikuti jalan orang-orang yang tersesat karena itu justru akan membuat kita tersesat pula dan menjadi hina.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

ربنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

اللهم احْمِنَا مِنْ هَذَا البَلاَءِ ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا هَذَا الوَبَاءَ

اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ، وَالجُنُونِ وَالجُذَامِ، وَسَيْئِ الأَسْقَامِ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْن

Lihat:

Arsip Khutbah Maribaraja.Com

Selesai disusun di Komplek Pondok Jatimurni Bekasi, Jum’at 10 Jumadil Awal 1442 H/ 25 Desember 2020M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !