MENYEMBELIH UNTUK ALLAH TAPI DI TEMPAT KESYIRIKAN (Art.SalayangAkidah: 007)

Di negeri kita ini, banyak orang yang dengan sengaja menyembelih di tempat-tempat keramat, entah itu batu, pohon, gunung, pantai, jurang atau kuburan wali dan orang shalih. Di tempat yang terakhir paling banyak, bahkan sebagiannya adalah orang-orang yang “bersorban” dan “berjubah putih.”

Kalau menyembelih untuk selain Allah jelas tidak boleh. Sekarang, ada orang yang mengatakan “Kami menyembelih bukan untuk kuburan itu, tapi untuk Allah Tuhan yang satu.”  Kalau demikian baiklah, mari kita bicarakan. Jangan marah-marah, kita punya pedoman. Allah berfirman:

{لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ} [التوبة : 108]

Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At Taubah: 108)

Allah melarang nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam shalat di masjid dhirar, masjid orang-orang munafik, karena masjid itu dibangun dengan tujuan untuk memudharatkan kaum muslimin.

Kesesuain ayat dengan permasalah yang kita bicarakan adalah sebagaimana penjelasan Syaikh Shalih al-Fauzan: “Menganalogikan tempat yang biasa digunakan untuk penyembelihan kepada selain Allah kepada masjid yang dibangun untuk maksiat dalam hal tidak bolehnya beribadah di tempat itu. Sebagaimana masjid ini tidak dibolehkan shalat di dalamnya padahal shalat itu untuk Allah, maka demikian pula tempat yang digunakan untuk penyembelihan kepada selain Allah, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat itu.” (Lihat al Mulakhkhas fi Syarh Kitabit Tauhid: 103)

Tsabit bin Dhahhak radhiyallahu anhu mengatakan:

 نَذَرَ رَجُلٌ أَنْ يَذْبَحَ إِبِلاً بِبُوَانَةَ، فَسَأَلَ النَّبِيَّ فَقَالَ: هَلْ كَانَ فِيْهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ؟ قَالُوْا: لاَ، قَالَ: فَهَلْ كَانَ فِيْهَا عِيْدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ؟ قَالُوْا: لاَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَوْفِ بِنَذْرِكَ؛ فَإِنَّهُ لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلاَ فِيْمَا لاَ يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ

“Ada seseorang yang bernadzar akan menyembelih unta di Buwanah, lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka Nabi bertanya: “Apakah di tempat itu ada berhala-berhala yang pernah disembah oleh orang-orang Jahiliyah?” Para sahabat menjawab: “Tidak.” Nabi kembali bertanya lagi: “Apakah di tempat itu pernah dirayakan hari raya mereka?”  Para sahabat pun menjawab: “Tidak” 

Maka Nabi bersabda: “Laksanakan nadzarmu itu, karena nadzar itu tidak boleh dilaksanakan dalam bermaksiat kepada Allah, dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh seseorang.” (HR. Abu Daud: 3313, dan Isnadnya menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu, maka menyembelih di tempat-tempat yang biasa digunakan untuk hal-hal yang berbau kesyirikan tidak diperbolehkan, meski pun sembelihan itu untuk Allah.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !