KITABUT TAUHID BAB 43 – Orang Yang Tidak Rela Terhadap Sumpah Yang Menggunakan Nama Allah

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallaahu alahi wasallam bersabda:

لاَ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ، مَنْ حَلَفَ بِاللهِ فَلْيَصْدُقْ, وَمَنْ حُلِفَ لَهُ بِاللهِ فَلْيَرْضَ، وَمَنْ لَمْ يَرْضَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ

“Janganlah kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian! Barangsiapa yang bersumpah dengan nama Allah, maka hendaknya ia jujur, dan barangsiapa yang diberi sumpah dengan nama Allah maka hendaklah ia rela (menerimanya), barangsiapa yang tidak rela menerima sumpah tersebut maka lepaslah ia dari Allah.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan).

Kandungan bab ini:

1. Larangan bersumpah dengan menyebut nama nenek moyang.
2. Diperintahkan kepada orang yang diberi sumpah dengan menyebut nama Allah untuk rela menerimanya.
3. Ancaman bagi orang-orang yang tidak rela menerimanya.

===============================

Manasabah bab dengan Kitabut Tauhid

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Rela dan ridha atas sumpah yang menyebut nama Allah termasuk bentuk pengagungan kepada Allah. Karena orang yang bersumpah menguatkan sumpahnya dengan pengagungan dengan bersumpah mengagungkan yang dijadikan sumpah. Sehingga termasuk salah satu bentuk pengagungan terhadap yang dijadikan sumpah adalah membenarkan orang yang bersumpah tersebut. Dari hal inilah makanya tidak rela atas sumpah yang menyebut nama Allah merupakan bentuk kekurangan dalam mengagungkan Allah, dan hal ini menafikan kesempurnaan tauhid.

Bersumpah boleh tapi harus memperhatikan adab-adabnya

Bersumpah dalam hal-hal yang penting sekalipun tidak dimintai bersumpah hukumnya boleh. Allah dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an memerintahkan Nabi untuk bersumpah, diantaranya firman-Nya:

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا ۚ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ ۚ وَذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. At-Taghabun: 7)

Nabi shallallaahu alahi wasallam di dalam banyak hadits pernah bersumpah diantaranya dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia menuturkan:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا وَخَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Ada seorang laki laki yang berkata: “Wahai Muhammad, wahai tuan kami dan anaknya tuan kami, dan sebaik-baik dari kami dan anak dari sebaik-baik kami”, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, dan janganlah kalian tertipu tipu daya setan, aku Muhammad bin Abdullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak senang kalian mengangkat diriku lebih di atas derajat yang telah Allah ‘azza wajalla berikan kepadaku.” (HR. Ahmad: 12093)

Namun, harus diingat bahwa sumpah bukan masalah yang sepele. Para ulama menyebutkan bahwa sumpah tidak dibenarkan kecuali dalam keadaan-keadaan berikut:
a.    Dalam perkara yang penting
b.    Orang yang diajak bicara meragukan ucapannya
c.    Orang yang diajak bicara mengingkari ucapannya.

Dan hendaknya bagi kita semua untuk menjaga sumpah-sumpah kita, sebagaimana Allah berfirman:

وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ

“Dan jagalah sumpahmu.” (QS. Al-Maidah: 89)

Para ulama menyebutkan bahwa menjaga sumpah mencakup tiga perkara sebagai berikut:
a. Tidak sembarangan/banyak bersumpah
b. Apabila telah bersumpah maka dia menepatinya kecuali sumpah maksiat
c. Apabila dia tidak menepatinya, maka dia membayar kaffarahnya.

Antara orang yang bersumpah dan yang mendengarkan sumpah

Rasulullah shallallaahu alahi wasallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِاللهِ فَلْيَصْدُقْ, وَمَنْ حُلِفَ لَهُ بِاللهِ فَلْيَرْضَ

Barangsiapa yang bersumpah dengan nama Allah, maka hendaknya ia jujur, dan barangsiapa yang diberi sumpah dengan nama Allah maka hendaklah ia rela (menerimanya).” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)

Hadits ini memberi tuntunan kepada dua belah pihak:

Pertama, orang yang bersumpah. Hendaknya dia jujur dalam sumpahnya karena ia menggunakan nama Allah. Barangsiapa yang bohong dalam sumpahnya maka ia akan binasa. Sumpah dusta yang disebut dengan al-Yamin al-Ghamus, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ

“Dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, membunuh, dan bersumpah palsu.” (HR. Bukhari: 6675)

Kedua, orang yang mendengarkan sumpah. Hendaknya ia rela dan ridha dengan hal itu sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah. Apalagi ketika terjadi perselisihan  saling tuduh. Syariat memerintahkan kepada penuduh untuk mendatangkan bukti, jika tidak ada bukti maka yang dituduh diperintahkan untuk bersumpah, jika ia sudah bersumpah maka bebas dia dari hukum. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَو يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُم ، لادعى رجالٌ أَمْوَال قومٍ ودماءهم ، لَكِن الْبَيِّنَةَ عَلَى المدَّعِي ، وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

Jika seandainya manusia itu diberi hanya berdasarkan klaim (pengakuan) mereka maka orang-orang akan mengklaim harta suatu kaum dan darah mereka, akan tetapi bukti bagi penuduh dan sumpah bagi orang yang mengingkari. (HR. Baihaqi)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

Maksud dari hal ini, wajib rela terhadap hukum syar’i meskipun yang bersumpah berdusta. Tetap rela dengan hukum syar’i selama dia tidak memiliki bukti, meski dia marah terhadap yang bersumpah karena ia tahu yang bersumpah itu berdusta, ia wajib rela dan ridha dengan hukum syar’i. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang diberi sumpah dengan nama Allah maka hendaklah ia rela (menerimanya).” Lihat: http://bit.ly/2C1wxix

#semoga bermanfaat, selesai ditulis di rumah mertua tercinta, Jatimurni Bekasi, Kamis, 31 Okt 2019

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !