KITABUT TAUHID BAB 41- Ingkar Terhadap Nikmat Allah

Pada bab ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah akan menjelaskan bahwa termasuk perusak tauhid yaitu ingkar terhadap nikmat Allah. Beliau menyebutkan  dalilnya yaitu firman Allah:

يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka mengetahui ni’mat Allah (tetapi) kemudian mereka mengingkarinya.” (QS. An Nahl: 83).

Dalam menafsiri ayat di atas Mujahid mengatakan bahwa maksudnya adalah kata-kata seseroang: “Ini adalah harta kekayaan yang aku warisi dari nenek moyangku.”

Aun bin Abdullah mengatakan: “Yakni kata mereka ‘kalau bukan karena fulan, tentu tidak akan menjadi begini’.”

Ibnu Qutaibah berkata, menafsiri ayat di atas: “mereka mengatakan: ini adalah sebab syafa’at sembahan- sembahan kami”.

Abul Abbas – setelah mengupas hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Khalid yang di dalamnya terdapat sabda Nabi: “sesungguhnya Allah berfirman: “pagi ini sebagian hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir …, sebagaimana yang telah disebutkan di atas – ia mengatakan:

“Hal ini banyak terdapat dalam Al qur’an maupun As sunnah, Allah mencela orang yang menyekutukan-Nya dengan menisbatkan ni’mat yang telah diberikan kepada selain-Nya”. Sebagian ulama salaf mengatakan: “Yaitu seperti ucapan mereka: anginnya bagus, nahkodanya cerdik, pandai, dan sebagainya, yang bisa muncul dari ucapan banyak orang.

Kandungan  bab ini:
1. Penjelasan tentang firman Allah yang terdapat dalam surat An Nahl, yang menyatakan adanya banyak orang yang mengetahui ni’mat Allah tapi mereka mengingkarinya.
2. Hal itu sering terjadi dalam ucapan banyak orang. [Karena itu harus dihindari].
3. Ucapan seperti ini dianggap sebagai pengingkaran terhadap ni’mat Allah.
4. Adanya dua hal yang kontradiksi (mengetahui ni’mat Allah dan mengingkarinya), bisa terjadi dalam diri manusia.

==================================

Korelasi bab dengan pembahasan tauhid

Mengingkari nikmat Allah merupakan perusak tauhid. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:

1. Barangsiapa yang menisbatkan nikmat yang telah Allah berikan kepada selain-Nya, maka dia telah menjadikan hal itu sebagai sekutu bagi allah dalam rububiyah-Nya. Karena sesungguhnya yang memberi rezeki hanya Allah subhanahu wata’ala. Allah berfirman:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. (QS. Hud: 6)

2. Seorang yang mengingkari nikmat Allah dan menisbatkannya kepada selain Allah maka dia tidak bersyukur kepada Allah, sedang syukur adalah ibadah dan perintah-Nya. Allah berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152)

Meninggalkan syukur adalah bentuk penafian terhadap tauhid uluhiyah. Karena ada ibadah yang tidak berikan kepada Allah.

Mengingkari nikmat terjadi pada tiga hal

Megingkari nikmat Allah dapat terjadi dengan:

1. Hati, yaitu ketika seorang telah melupakan Allah sebagai pemberian nikmat, misal ia menyakini bahwa nikmat yang dia dapatkan berasal dari hasil jerih payahnya semata, rezeki berasal dari tempat kerja dan atasannya, dst.

Rezeki Kita Ada Di Langit Bukan Di Tempat Kerja

2. Lisan, semisal apa yang dahulu dikatakan Qarun, Allah berfirman:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al-Qashaah: 78)

Atau seperti yang disebut oleh Aun bin Abdullah ketika menafsirkan QS. An-Nahl: 83, ia mengatakan: “Yakni kata mereka ‘kalau bukan karena fulan, tentu tidak akan menjadi begini’.”

Sebagian ulama salaf mengatakan: “Yaitu seperti ucapan mereka: anginnya bagus, nahkodanya cerdik, pandai, dan sebagainya,

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mengomentari ayat di atas mengatakan:

ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻫُﻢْ ﻳُﺸْﺮِﻙُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺸْﺮِﻙَ ﺑِﻜَﻠْﺒِﻪِ : فَيَقُوْلُ : ﻟَﻮْﻻَ اﻟﻜَﻠْﺐ ﻟَﺴُﺮِﻗْﻨَﺎ اﻟﻠَّﻴْﻠَﺔَ

Sungguh ada di antara mereka yang berbuat syirik, sampai mempersekutukan dengan anjingnya. Ia mengatakan: “Kalaulah bukan karena anjing itu niscaya kita telah kecurian semalam.” (Fathul Bari’ Ibn Rajab: 1/147)

Sampai Mempersekutukan Dengan Anjingnya

Sama juga dengan ucapan: “Kalau bukan karena dokter itu maka anakku tidak akan terselamatkan.” Atau ucapan, “Kalau bukan karena dia maka hidupku pasti masih terlunta-lunta.” Dan ucapan yang semisal.

3.  Perbuatan, yaitu dengan menggunakan nikmat-nikmat itu untuk berbuat maksiat kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ، جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ ، وَجَعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka”. (QS. Ibrahim: 28-30)

Hukum ucapan “Kalau bukan karena fulan, maka…..”

Hukum orang yang mengucapkan ucapan-ucapan yang telah kita sebutkan diatas berbagai menjadi dua:

Pertama, jika ia mengucapkan hal tersebut dengan tujuan menisbatkan nikmat tersebut kepada sebab saja maka ini dihukumi syirik kecil. Sebab ia telah menyandarkan nikmat kepada selain Allah.

Kedua, jika hal itu didorong oleh keyakinan bahwa memang hal-hal itulah yang mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan sehingga menafikan takdir dan perbuatan Allah maka ini dihukumi syirik besar. (lihat kitab Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid: 322-323)

Diantara sebab manusia binasa karena berkecukupan

Bemang biasanya yang kerap kali menyebabkan manusia mengingkari dan melupakan nikmat Allah adalah kelapangan dan kecukupan hidup. Allah berfirman:

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. Al-‘Alaq: 7-8)

Karenanya wajar jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam justru mengkhawatirkan kekayaan dan kelapangan menimpa umatnya, bukan kemiskinan. Dari Amru bin Auf radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ صَالَحَ أَهْلَ الْبَحْرَيْنِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ فَقَدِمَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِمَالٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ فَسَمِعَتْ الْأَنْصَارُ بِقُدُومِهِ فَوَافَتْهُ صَلَاةَ الصُّبْحِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ تَعَرَّضُوا لَهُ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَآهُمْ وَقَالَ أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ بِقُدُومِ أَبِي عُبَيْدَةَ وَأَنَّهُ جَاءَ بِشَيْءٍ قَالُوا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَأَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus Abu Ubaidah bin Al Jarrah ke Bahrain untuk mengambil jizyahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat perjanjian damai dengan penduduk Bahrain, beliau mengangkat Al Ala` bin Al Hadlrami sebagai pemimpin mereka. Lalu Abu ‘Ubaidah datang dengan membawa harta dari Bahrain, kaum Anshar pun mendengar kedatangan Abu ‘Ubaidah, lalu mereka shalat Subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam, seusai shalat beliau beranjak pergi, namun mereka menghadang beliau, maka Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam tersenyum saat melihat mereka, setelah itu beliau bersabda: “Aku kira kalian mendengar bahwa Abu ‘Ubaidah datang membawa sesuatu.” Mereka menjawab: ‘Benar, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Bergembiralah dan berharaplah terhadap sesuatu yang dapat memudahkan kalian, demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti halnya dibentangkan pada orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba, lalu dunia itu membinasakan kalian seperti halnya mereka binasa. (HR. Bukhari: 6425, Muslim: 2961)

Cara agar dapat mensyukuri nikmat Allah

1. Mengingat kematian, alam kubur, hari berbangkit, hisab, surga dan neraka, dst

Dalam surat Al-Adiyat, Allah menyebutkan diantara cara bersyukur kepada-Nya. Allah berfirman:

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا ۞ فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا ۞ فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا ۞ فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا ۞ فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا ۞ إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ ۞ وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ ۞ وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ ۞ أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ ۞ وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ

Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka. (QS. Al-Adiyat: 1-11)

Didalam ayat ini Allah menyebutkan tiga hal yang berbeda;

Pertama ayat 1-5 tentang keadaan kuda perang yang dengan kepatuhannya kepada tuannya.

Kedua ayat 6-8 tentang keadaan manusia yang betul-betul ingkar terhadap nikmat Allah karena cintanya dia pada harta.

Ketiga ayat 9-11 tentang apa yang terjadi nanti di hari kiamat.

Jika kita tadabburi maka kita dapat menghubungkan ketiga bagian ini. Allah ingin menunjukkan bahwa manusia itu betul-betul ingkar terhadap nikmat Allah. Mereka dikalahkan oleh seekor hewan yaitu kuda. Hewan itu meski hanya diberi makan dan minum saja oleh tuannya namun ia pandai berterima kasih, sehingga ia ketika berada di medan tempur ia benar-benar menunjukkan rasa terimakasihnya kepada tuannya. Sedangkan manusia yang sudah diberikan nikmat yang sangat banyak oleh tuhannya, namun mereka tidak pandai berterima kasih, mereka ingkar dan parahnya mereka sendiri menyaksikan dan menyadari keadaan mereka tersebut.

Dibagian yang ketiga barulah itu sebagai solusi bagi manusia agar mereka itu pandai bersyukur dan tidak kalah dari kuda, yaitu dengan cara sering-sering mengingat akhirat. Berarti dimulai dari kematian, alam kubur, hari berbangkit, hisab, surga dan neraka, dst. Persis sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

“Banyak-banyaklah mengingat pemutus kenikmatan yaitu kematian” (HR. Tirmidzi: 2307)

2. Berteman dengan orang-orang miskin

Selesai disusun di Masjid Al-Ishlah Kranggan, Rabu 17 Shafar 1441H, ba’da shalat Ashar

Zahir Al-Minangkabawi
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom

 

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !