KITABUT TAUHID BAB 38 – Menaati Ulama dan Umara Dalam Pengharaman Yang Halal dan Penghalalan Yang Haram
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan: Bab barang siapa yang menaati ulama dan umara dalam pengharaman sesuatu yang telah dihalalkan Allah atau penghalalan sesuatu yang telah diharamkan Allah maka berarti ia telah memper-tuhankan mereka. Ibnu Abbas berkata:
يُوْشِكُ أَنْ تَنْـزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ، أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Aku khawatir kalian ditimpa hujan batu dari langit, karena aku mengatakan: “Rasulullah ﷺ bersabda”, tetapi kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar berkata”.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Aku merasa heran terhadap orang-orang yang tahu tentang isnad hadits dan keshahihannya, tetapi mereka menjadikan pendapat Sufyan sebagai acuannya, padahal Allah telah berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih.” (QS. An nur: 63).
Tahukah kamu apakah yang dimaksud dengan fitnah itu? Fitnah disitu maksudnya adalah syirik, bisa jadi apabila ia menolak sabda Nabi akan terjadi dalam hatinya kesesatan sehingga dia celaka”.
Diriwayatkan dari ‘Ady bin Hatim bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ membaca firman Allah :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib- rahib mereka sebagai tuhan tuhan selain Allah.” (QS. Al At Taubah: 31).
Maka saya berkata kepada beliau: “Sungguh kami tidaklah menyembah mereka”, beliau bersabda:
أَلَيْسَ يُحَرِّمُوْنَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُوْنَهُ، وَيُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتُحِلُّوْنَهُ ؟ فَقُلْتُ: بَلَى، قَالَ: فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ
“Tidakkah mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kalian pun mengharamkanya; dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya? Aku menjawab: ya, maka beliau bersabda: “itulah bentuk penyembahan kepada mereka.” (HR. Imam Ahmad dan At Tirmidzi menyatakan hasan).
Kandungan bab ini:
1. Penjelasan tentang ayat dalam surat An nur.
2. Penjelasan tentang ayat dalam surat At Taubah.
3. Perlu diperhatikan arti ibadah yang sebelumnya telah diingkari oleh ‘Ady bin Hatim.
4. Pemberian contoh kasus yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dengan menyebut nama Abu Bakar dan Umar, dan yang dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal dengan menyebut nama Sufyan.
5. Hal tersebut telah berkembang sedemikian rupa, sehingga banyak terjadi pada kebanyakan manusia penyembahan terhadap orang-orang shaleh, yang dianggapnya sebagai amal yang paling utama, dan dipercayainya sebagai wali [yang dapat mendatangkan suatu manfa’at atau bencana], serta penyembahan terhadap orang-orang alim melalui ilmu pengetahuan dan fiqh [dengan diikuti apa saja yang dikatakan, baik sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya atau tidak].
Kemudian hal ini berkembang lebih parah lagi, dengan adanya penyembahan terhadap orang-orang yang tidak shaleh, dan terhadap orang-orang bodoh yang tidak berilmu [dengan diikuti pendapat-pendapatnya, bahkan bid’ah dan syirik yang mereka lakukan juga diikuti].
===============================
I. Makna ulul amri
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)
Ulul amri dalam ayat ini yaitu umara (penguasa) dan ulama. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Yang zhahir wallahu a’lam, ayat ini umum mencakup semua ulul amri dari umara dan ulama.” (Tafsir Ibn Katsir: 2/384)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Siapa yang menaatiku berarti ia menaati Allah, sebaliknya barangsiapa membangkang terhadapku, ia membangkang Allah, dan barangsiapa menaatiku amirku berarti ia menaatiku, dan barangsiapa membangkang amirku, berarti ia membangkang terhadapku.” (HR. Bukhari: 7137, Muslim: 1835)
II. Ta’at kepada umara dan ulama tidak boleh dalam maksiat.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: “(Dalam ayat QS. An-Nisa’: 59) Allah menjadikan ketaatan kepada-Nya mustaqillah (berdiri sendiri), dan ketaatan kepada rasul-Nya juga mustaqillah, sedangkan ketaatan kepada ulul amri tabi’ah (mengikuti). Oleh sebab itu Allah tidak mengulangi penyebutan perintah Athi’uu (taatilah), maka tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).” (Al-Qaulul Mufid: 2/149)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوفِ
Ketaatan itu hanya pada hal-hal yang ma’ruf (bukan maksiat). (HR. Bukhari: 7145)
Dari Imran bin Husain radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَّةِ اللَّهِ
Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah. (HR. Ahmad: 4/426)
III. Wajibnya berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadits serta haramnya taklid buta
Salah satu ciri Firqatun Najiyah (golongan selamat) adalah kembali kepada al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terlebih ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’: 59)
Mereka mendahulukan firman Allah dan sabda Rasul-Nya di atas ucapan siapa saja, sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui.” (QS. al-Hujurat: 1)
Itulah sebabnya, Ibnu Abbas radhiyallahu dan Imam Ahmad rahimahullah sangat keras dalam hal ini, sebagaimana dalam atsar yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di atas.
IV. Memuliakan para imam madzhab tapi tidak fanatik buta
Golongan yang selamat memuliakan para imam dan ulama kaum muslimin. Karena mereka memiliki keutamaan dalam menyebarkan agama dan membimbing umat ke jalan yang benar. Namun, hal itu tidak membuat mereka fanatik buta terhadap salah satu dari para imam tersebut. Sebab, sikap fanatik buta adalah sikap yang tercela. Para imam tersebut tidak seorang pun dari mereka yang membolehkan fanatik buta kepada pendapat mereka, bahkan mereka mencela sikap tersebut dan menganjurkan untuk berpegang teguh dan mendahulukan al-Qur’an dan hadits Nabi.
Setiap manusia siapapun dia, tidak pernah lepas dari kesalahan kecuali para nabi dan rasul Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam banyak kesalahan dan sebaik-baik orang yang berbuat salah mereka yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi: 2499 dihasankan oleh al-Albani dalam Misykah al-Mashabih: 2341)
Oleh karena itu, Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah mengatakan:
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم إِلَّا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِه وَيُتْرُكُ إِلَّا النَبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi melainkan diambil dan ditinggalkan ucapannya kecuali Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah telah mengumpulkan ucapan para imam madzhab yang melarang mengikuti ucapan dan pendapat mereka semata (taklid buta), serta menganjurkan manusia untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadits Nabi, di dalan muqaddimah dari kitab beliau yaitu Shifat Shalat Nabi (hal. 46-54), silahkan dirujuk kesana.
Beberapa ucapan tersebut juga telah kami sebutkan di dalan tulisan yang berjudul “Bersama Golongan Yang Selamat” KLIK untuk membaca
V. Hukum mengikuti ulul amri dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan tiga perincian:
Pertama, mengikuti mereka dalam hal itu dalam keadaan ridha terhadap ucapan/pendapat mereka, mendahulukan (dari hukum Allah), serta benci terhadap hukum Allah, maka ia kafir. Karena ia membenci apa yang telah diturunkan oleh Allah (syari’at). Siapa saja yang membenci apa yang telah diturunkan Allah maka ia kafir.
Kedua, mengikuti mereka dalam hal itu dalam keadaan ridha terhadap hukum Allah, mengetahui (mengakui) bahwa hukum Allah tersebut lebih baik dan lebih mashlahat untuk hamba dan negeri, akan tetapi karena hawa nafsu akhirnya ia memilih hukum selain Allah seperti seorang karena ingin mendapatkan jabatan, maka ia tidak dikafirkan, akan tetapi ia dihukumi sebagai seorang fasik, dan padanya berlaku hukum pelaku kemaksiatan.
Ketiga, mengikuti karena bodoh (tidak tahu), sehingga ia mengira hal tersebut adalah hukum Allah. Hal ini ada dua keadaan:
1. Apabila memungkinkan baginya untuk mengetahui kebenaran, maka ia dihukumi telah sembrono dan meremehkan, sehingga ia berdosa. Karena Allah memerintahkan untuk bertanya kepada Ahlul Ilmi ketika tidak mengetahui.
2. Ia tidak mengetahui dan tidak pula memungkinkan baginya untuk mencari tahu sehingga ia mengikuti mereka (ulama dan umara’) sebagai bentuk taklid dan ia menyangka bahwa ini benar, maka ia tidak berdosa. Karena ia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan ia diberi udzur dalam hal itu. Oleh karenanya, datang keterangan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
“Barangsiapa diberi fatwa tanpa dengan ilmu maka dosanya ditanggung orang yang memberi fatwa.” (HR. Ahmad 2/321, Abu Dawud: 3657)
VI. Kesimpulan, korelasi bab dengan kitabut tauhid
Dari bab ini menunjukkan bahwa, termasuk bagian dari tauhid adalah meyakini bahwa hanya Allah yang berhak menghalalkan sesuatu dan mengharamkan. Barang siapa yang mengikuti ucapan atau pendapat manusia dalam mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah atau sebaliknya maka ia telah mempersekutukan Allah dengan makhluk.
Penulis: Zahir Al-Minangkabawi
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
One Comment