KITABUT TAUHID BAB 39 – Berhakim Kepada Selain Allah Dan Rasul-Nya

Pada bab ini, masih melanjutkan bab sebelumnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan dalil tentang larangan berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Di antara dalilnya adalah firman Allah:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ، وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا ، فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu, dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu, dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh- jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik itu menghalangi (manusia) dari (mendekati) kamu dengan sekuat-kuatnya. Maka bagaimanakah halnya, apabila mereka ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu seraya bersumpah: “Demi Allah, sekali kali kami tidak menghendaki selain penyelesain yang baik dan perdamaian yang sempurna.” (QS. An-Nisa: 60-62)

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafik): “janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqarah: 11)

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ini sesudah Allah memperbaiki.” (QS. Al A’raf: 56).

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan tidak ada yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.”  (QS. Al Maidah: 50).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidaklah beriman (dengan sempurna) seseorang di antara kamu, sebelum keinginan dirinya mengikuti apa yang telah aku bawa (dari Allah).” (Imam Nawawi menyatakan hadits ini shahih).
As Sya’by menuturkan: “pernah terjadi pertengkaran antara orang munafik dan orang Yahudi. Orang Yahudi itu berkata: “Mari kita berhakim kepada Muhammad”, karena ia mengetahui bahwa beliau tidak menerima suap. Sedangkan orang munafik tadi berkata: “Mari kita berhakim kepada orang Yahudi”, karena ia tahu bahwa mereka mau menerima suap. Maka bersepakatlah keduanya untuk berhakim kepada seorang dukun di Juhainah, maka turunlah ayat:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku… “

Ada pula yang menyatakan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan dua orang yang bertengkar, salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita bersama-sama mengadukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan yang lainnya mengadukan kepada Ka’ab bin Asyraf”, kemudian keduanya mengadukan perkara mereka kepada Umar. Salah seorang di antara keduanya menjelaskan kepadanya tentang permasalahan yang terjadi, kemudian Umar bertanya kepada orang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah: “Benarkah demikian?  Ia menjawab: “Ya, benar”. Akhirnya dihukumlah orang itu oleh Umar dengan dipancung pakai pedang.

Kandungan bab ini:
1. Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat An Nisa’, yang di dalamnya terdapat keterangan yang bisa membantu untuk memahami makna Thaghut.
2. Penjelasan tentang ayat yang ada dalam surat Al Baqarah.
3. Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat Al A’raf.
4. Penjelasan tentang ayat yang ada dalam surat Al Ma’idah.
5. Penjelasan As Sya’by tentang sebab turunnya ayat yang pertama (yang terdapat dalam surat An Nisa’).
6. Penjelasan tentang iman yang benar dan iman yang palsu [Iman yang benar, yaitu: berhakim kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah, dan iman yang palsu yaitu: mengaku beriman tetapi tidak mau berhakim kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, bahkan berhakim kepada thaghut].
7. Kisah Umar dengan orang munafik [bahwa Umar memenggal leher orang munafik tersebut, karena dia tidak rela dengan keputusan Rasulullah].
8. Seseorang tidak akan beriman (sempurna dan benar) sebelum keinginan dirinya mengikuti tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah.

=================================

Pengertian Thaghut

Thagut secara bahasa adalah segala sesuatu yang melampaui batas. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ

Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa kalian, ke dalam bahtera. (QS. Al-Haqqah: 11)

Secara istilah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah:

مَا تَجَاوَزَ بِهِ العَبْدُ حَدَّهُ مِنْ مَعْبُوْدِ أَوْ مَتْبُوْعٍ أَوْ مُطَاعٍ

Thaghut adalah apa saja yang dilampau batasi oleh seorang hamba, dari seuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati. (I’lamul Muwaqqi’in: 1/54, Fathul Majid: 42)

Dari yang diibadahi seperti patung-patung berhala. Dari yang diikuti seperti dukun atau peramal, tukang sihir, dan ulama sesat. Dari yang ditaati seperti para pemimpin yang keluar dari ketaatan kepada Allah. (Al-Qaulul Mufid: 1/29)

Baca juga:

THAGUT DAN DAKWAH PARA RASUL – Surat An-Nahl: 36

Hukum Jahiliyyah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:

كل ما خالف حكم الله فهو حكم الجاهلية

Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah maka itu adalah hukum Jahiliyah. (Al-Qaulul Mufid: 2/158)

Berhukum kepada selain Allah dan Rasul

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan tiga perincian:

Pertama, mengikuti mereka dalam hal itu dalam keadaan ridha terhadap ucapan/pendapat mereka, mendahulukan (dari hukum Allah), serta benci terhadap hukum Allah, maka ia kafir. Karena ia membenci apa yang telah diturunkan oleh Allah (syari’at). Siapa saja yang membenci apa yang telah diturunkan Allah maka ia kafir.

Kedua, mengikuti mereka dalam hal itu dalam keadaan ridha terhadap hukum Allah, mengetahui (mengakui) bahwa hukum Allah tersebut lebih baik dan lebih mashlahat untuk hamba dan negeri, akan tetapi karena hawa nafsu akhirnya ia memilih hukum selain Allah seperti seorang karena ingin mendapatkan jabatan, maka ia tidak dikafirkan, akan tetapi ia dihukumi sebagai seorang fasik, dan padanya berlaku hukum pelaku kemaksiatan.

Ketiga, mengikuti karena bodoh (tidak tahu), sehingga ia mengira hal tersebut adalah hukum Allah. Hal ini ada dua keadaan:

1. Apabila memungkinkan baginya untuk mengetahui kebenaran, maka ia dihukumi telah sembrono dan meremehkan, sehingga ia berdosa. Karena Allah memerintahkan untuk bertanya kepada Ahlul Ilmi ketika tidak mengetahui.

2. Ia tidak mengetahui dan tidak pula memungkinkan baginya untuk mencari tahu sehingga ia mengikuti mereka (ulama dan umara’) sebagai bentuk taklid dan ia menyangka bahwa ini benar, maka ia tidak berdosa. Karena ia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan ia diberi udzur dalam hal itu. Oleh karenanya, datang keterangan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ

“Barangsiapa diberi fatwa tanpa dengan ilmu maka dosanya ditanggung orang yang memberi fatwa.” (HR. Ahmad 2/321, Abu Dawud: 3657)

Baca juga:

KITABUT TAUHID BAB 38 – Menaati Ulama dan Umara Dalam Pengharaman Yang Halal dan Penghalalan Yang Haram

Antara Takfir muthlaq dan takfir muayyan

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais mengatakan: “Takfir menurut Ahlussunnah Waljamaah ada dua macam; Mu’ayyan dan Muthlaq. Takfir mu’ayyan yaitu menyifati seseorang disebabkan amalan atau ucapan yang ia lakukan bahwa ia kafir, takfir ini tidak boleh kecuali apabila terpenuhi syarat dan hilang semua penghalang. Adapun takfir muthlaq yaitu memutlaq-kan sifat kafir kepada suatu perbuatan, ucapan atau keyakinan.” (At-Taudhihat Al-Jaliyyah: 3/751)

Harus dibedakan antara takfir mutlak dengan takfir mu’ayyan. Takfir mutlak adalah takfir secara umum tanpa menujukan kepada individu tertentu, seperti ucapan barang siapa yang sujud kepada matahari maka kafir. Adapun takfir mu’ayyan adalah takfir perorangan, dan hal ini harus memenuhi dua hal; Pertama, terpenuhinya syarat-syarat pengkafirkan. Kedua, sudah hilang semua penghalang.

Seorang yang terjatuh dalam perbuatan kafir tidak serta merta dikafirkan. Beberapa kisah dari sahabat nabi yang mulia berikut, paling tidak memberikan pelajaran berharga bagi kita.

Pertama, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu anhu, ia bercerita:

لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: مَا هَذَا يَا مُعَاذُ ؟ قَالَ : أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَلَا تَفْعَلُوا ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

Tatkala Mu’adz datang dari Syam, ia langsung sujud kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka Nabi pun bertanya kepadanya: “Apa ini wahai Mu’adz?” Mu’adz menjawab: “Aku pernah mendatangi Syam, aku mendapatkan mereka sujud kepada para uskup dan komandan mereka. Maka, aku ingin melakukannya terhadapmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian melakukannya, kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya.” (HR. Ibnu Majah: 1853)

Kedua, dari Qais bin Sa’ad radhiyallahu anhu, ia menuturkan:

أَتَيْتُ الْحِيرَةَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَقُلْتُ رَسُولُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُسْجَدَ لَهُ قَالَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي أَتَيْتُ الْحِيرَةَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَرَرْتَ بِقَبْرِي أَكُنْتَ تَسْجُدُ لَهُ قَالَ قُلْتُ لَا قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحَقِّ

Aku datang ke Al Hirah (negeri lama yang berada di Kufah), maka aku melihat mereka bersujud kepada penunggang kuda mereka yang pemberani. Lalu aku katakan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak untuk dilakukan sujud kepadanya. Qais bin Sa’d berkata; kemudian aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku katakan; sesungguhnya aku datang ke Al Hirah dan aku melihat mereka bersujud kepada penunggang kuda mereka yang pemberani. Engkau wahai Rasulullah, lebih berhak untuk kami bersujud kepadamu. Beliau berkata: “Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau melewati kuburanku, apakah engkau akan bersujud kepadanya?” Qais bin Sa’d berkata; aku katakan; tidak. Beliau bersabda: “Jangan kalian lakukan, seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan para wanita agar bersujud kepada suami-suami mereka, karena hak yang telah Allah berikan atas mereka.” (HR. Abu Dawud: 2140)

Ketiga, kisah Ammar bin Yasir yang dipaksa mengucapkan ucapan kufur, kemudian Allah menurunkan Wahyu berkaitan dengan perihal beliau. Allah berfirman:

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)

Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia tidaklah dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung sesembahan mereka.”

قَالَ : « كَيْفَ تَجِدُ قَلْبَكَ ؟ » قَالَ : مُطْمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ قَالَ :  إِنْ عَادُوا فَعُدْ

Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan tenang dengan iman.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208)

Dari kisah diatas, kita bisa melihat bagaimana para sahabat nabi ini telah melakukan perbuatan kufur yaitu sujud kepada makhluk, dan mencela Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta menyanjung berhala-berhala, namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengkafirkan mereka, karena adanya penghalang atas mereka yaitu ketidaktahuan dan terpaksa.

Oleh sebab itu, seorang yang berhakim dengan selain kepada hukum Allah maka dia (individu) tidak boleh serta merta dikafirkan. Karena harus ada dua hal yaitu terpenuhinya syarat-syarat serta hilangnya semua penghalang.

SYARAT DAN PENGHALANG TAKFIR

Syarat-syarat takfir

Para ulama mengambil kesimpulan dari dalil-dalil syar’i terhadap syarat-syarat takfir. Terkadang seorang muslim terjatuh dalam suatu perbuatan kufur, atau mengucapkan ucapan kufur atau menyakini sebuah keyakinan kufur, namun kita tidak boleh menghukuminya dengan kafir kecuali apabila telah terpenuhi syarat-syarat berikut:

1. Tampak jelas kekufuran dari seseorang dengan ucapan atau perbuatan
2. Telah sampai kepadanya hujjah dan hilang syubhat
3. Hendaknya hujjah tersebut tsabit padanya
4. Ia seorang yang berakal dan sudah baligh
5. Ia tidak udzur karena baru masuk Islam
6. Tidak terpaksa
7. Tidak bodoh

Mawani’ (penghalang) takfir

1. Hujjah tidak tegak padanya, bisa jadi karena syubhat yang bercokol di hatinya atau karena ketidakjelasan hujjah tersebut oleh dirinya.
2. Hujjah tidak tsabit padanya disebabkan kebodohan
3. Usia kecil, gila, pikun
4. Jauhnya dia dari negeri kaum muslimin sehingga dakwah tidak sampai kepadanya
5. Kebodohan terhadap hujjah
6. Keterpaksaan
7. Tidak termasuk golongan udzur karena dengan kekafirannya, seperti seorang yang tinggal di pedalaman atau karena baru saja masuk islam sehingga tidak tahu hukum-hukum syari’at.

Lihat: At-Taudhihat Al-Jaliyah ala Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah 2/752-753

Penulis: Zahir Al-Minangkabawi
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !