Cinta, Takut Dan Harap Hanya Kepada Allah

Makna ibadah

Secara bahasa ibadah bermakna menghinakan diri serta tunduk. Sedangkan secara istilah yaitu sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

َاِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ الله وَيَرْضَاهُ مِنَ الأَعْمَالِ والأَقْوَالِ الظَّاهِرَةِ وَالبَاطِنَة

Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin.” (Ighatsatul Mustafid: 1/39)

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah fisik dan hati.

Oleh sebab itu mentauhidkan Allah mencakup tiga hal diatas,sehingga tauhid tidak hanya dalam ibadah shalat dan puasa saja, namun juga pada amalan hati dintaranya yaitu cinta, takut dan harap.

Cinta, Takut dan Harap adalah Tiga dasar ibadah

Salah satu pilar pokok dalam beribadah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menggabungkan tiga hal yaitu perasaan cinta, takut dan harap secara bersamaan. Tidak boleh dengan salah satunya saja.

Pertama, cinta. Di antara dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah:

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)

Kedua, takut. Di antara dalilnya adalah firman Allah ketika menyebutkan ciri orang-orang yang bertakwa:

الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَهُم مِّنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ

 Yaitu orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. (QS. Al-Anbiya’: 49)

Ketiga, harap. Di antara dalilnya yaitu firman Allah dalam hadits qudsi, Allah berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي

“Wahai anak Adam sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap kepadaku maka niscaya akan Aku ampuni dosa-dosamu dan Aku tidak akan mempedulikannya. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu setinggi langit kemudian engkau meminta ampunan-Ku maka Aku akan ampuni dan Aku tidak peduli.” (HR. Tirmidzi: 3463)

Kaum Yang Tersesat

Apabila seorang hanya mengedepankan salah satu saja di antara ketiga hal itu dalam beribadah maka ia akan menjadi kaum yang tersesat. Dahulu sebagian salafush shalih mengatakan:

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِيءٌ

“Siapa yang mengibadahi Allah dengan perasaan cinta saja maka ia adalah seorang zindiq. Siapa yang mengibadahi-Nya dengan perasaan takut saja maka dia adalah seorang Haruri (Khawarij). Dan siapa yang mengibadahi-Nya dengan perasaan harap saja maka dia adalah seorang Murjiah.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil Aqidah: 13)

Imam Ibnul Mubarak rahimahullah meriwayatkan dari Wahab bin Munabbih rahimahullah, bahwa dahulu seorang bijak pernah mengatakan:

إِنِّي لَأَسْتَحْيِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ أَعْبُدَهُ رَجَاءَ ثَوَابِ الجَنَّةِ – أي فَقَطْ – فَأَكُوْن كَالأَجِيْرِ السُّوْءِ إِنْ أُعْطِىَ عَمِلَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَعْمَلْ، إِنِّي لَأَسْتَحْيِ مِنَ اللَّهَ تعالى أَنْ أَعْبُدَهُ مَخَافَةَ النَّارِ – أي فَقَطْ – فَأَكُوْنَ كَالعَبْدِ السُّوْءِ إِنْ رَهِبَ عَمِلَ وَإِنْ لَمْ يَرْهَبْ لَمْ يَعْمَلْ

“Sungguh aku malu kepada Allah jika aku mengibadahinya hanya karena mengaharapkan surga, sehingga aku menjadi seorang pekerja yang buruk. Jika diberi ia bekerja dan jika tidak diberi ia tidak berkerja. Aku juga malu kepada Allah mengibadahinya hanya karena takut neraka, sehingga aku menjadi seorang budak yang buruk. Jika takut ia bekerja dan jika tidak ia tidak bekerja.” (Buhuruz Zakhirah fi Ulumil Akhirah: 2/321)

Oleh sebab itu, seorang mukmin yang benar yang berada di jalan Ahlussunnah wal Jama’ah harus menggabungkan tiga perasaan ini tatkala beribadah kepada Allah.

 

Mentauhidkan Allah dalam Cinta

Salah satu bagian dari tauhid yaitu memurnikan kecintaan kepada Allah. Seorang jika ingin dikatakan bertauhid maka dia harus menjadikan rasa cinta kepada Allah lebih utama dari pada selain-Nya. Allah berfirman:

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ

Katakanlah: “Jika babak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai; itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS. At taubah: 24)

Cinta Dunia Termasuk Kesyirikan

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:

“Dan janganlah engkau jadikan dunia sebagai sekutu bagi Allah. Seorang  apabila tujuan utamanya adalah dunia maka ia menjadi hamba dunia sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah.” (HR. Bukhari: 2887)” (Al-Qaulul Mufid: 1/30-31)

Cinta Butuh Bukti, Ambillah Teladan Dari Nabi Ibrahim

Cinta itu butuh bukti. Dalam hal ini, ambillah teladan dari Nabi Ibrahim, setidak ada dua peristiwa besar yang dialami Nabi Ibrahim yang menunjukkan bukti cinta kepada Allah lebih besar dari segalanya, yaitu

Pertama, pada saat diperintahkan untuk meninggalkan isteri dan anaknya yang masih bayi di sebuah lembah yang tak berpenghuni, tidak ada air dan tumbuhan, beliau tunduk dan melaksanakan dengan penuh ketaatan karena cinta kepada Allah lebih besar, seraya berdoa:

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim: 37)

Kedua, setelah anaknya tersebut tumbuh besar, saat hati Nabi Ibrahim sangat bahagia melihatnya beranjak dewasa. Tapi, Allah dengan hikmah-Nya justru memerintahkan untuk menyembelihnya. Ujian dan perintah yang berat tentunya. Namun sekali lagi, beliau tunduk dan taat, kerena cinta kepada Allah. Allah berfirman:

  فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; in syaa Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shofat: 102 )

Karena itulah Nabi Ibrahim memperoleh gelar Khalilullah (kekasih Allah), Allah berfirman:

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya. (QS. An-Nisa’: 125)

 

Mentauhidkan Allah Dalam Perasaan Takut

Perbedaan antara khauf dan khasyyah

Dalam syari’at ada dua istilah yag digunakan untuk sifat takut, yaitu khauf dan khasyyah. Apa perbedaan antara keduanya? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa: Khasyyah merupakan bagian dari khauf, akan tetapi khasyyah lebih khusus, perbedaan keduanya adalah:

  1. Khasyyah dibangun di atas ilmu terhadap yang ditakuti serta keadaannya. Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS. Fathir: 28)

Adapun khauf dibangun diatas ketidak tahuan.

  1. Kasyyah disebabkan oleh keagungan yang ditakutkan, berbeda halnya denga khau yang terkadang disebabkan karena lemahnya orang yang takut bukan karena kuatnya orang yang ditakuti. (Al-Qaulul Mufid: 2/73)

Macam-macam takut

Takut ada beberapa macam:

Pertama, Takut dalam bentuk ibadah, penghinaan diri, pengagungan serta tunduk. Takut ini disebut juga dengan khauf sirr. Takut yang jenis ini harus ditujukan untuk Allah. Barang siapa yang mempersekutukan Allah dalam hal ini maka dia terjatuh pada syirik besar. Seperti seorang yang takut kepada berhala atau orang-orang yang sudah meninggal atau kepada orang-orang yang anggap wali yang diyakini bisa memberi manfaat atau mudharat.

Kedua, takut tabiat. Pada asalnya takut ini hukumnya mubah. Karena para Nabi saja memiliki rasa takut seperti ini. Allah berfirman tentang Nabi Musa:

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. (QS. Al-Qashash: 21)

Allah juga berfirman menghikayatkan ucapan Nabi Musa:

قَالَ رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْسًا فَأَخَافُ أَن يَقْتُلُونِ

Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” (QS. Al-Qashash: 33)

Akan tetapi, apabila takut ini menyebabkan seorang meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram, maka hukumnya haram. Seperti seorang takut terhadap sesuatu yang tidak akan memberikan pengaruh kepadanya kemudian menyebabkan dia meninggalkan shalat berjama’ah. (Lihat: Al-Qaulul Mufid: 2/68)

Takut Yang Terpuji

Takut yang terpuji adalah pertengahan antara ghuluw dan meremehkan. Dan patokannya adalah takut yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

“Takut kepada Allah bertingkat-tingkat; diantara manusia ada yang ghuluw dalam takutnya, diantara mereka ada pula yang meremehkan dan diantara mereka juga ada yang adil (pertengahan). Khauf yang adil adalah khauf yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allah. Apabila lebih dari itu maka akan mengantarkanmu kepada keputusan asaan dari rahmat Allah. Diantara manusia apa juga yang meremehkan dalam hal khaufnya sehingga tidak bisa menghalanginya dari sesuatu yang dilarang Allah.” (Al-Qaulul Mufid: 2/67)

Takut yang berlebihan adalah senjata setan

Menakut-nakuti manusia adalah salah satu makar setan, agar manusia itu jatuh ke dalam perangkapnya. Diantara yang hal yang dijadikan bahan untuk menakut-nakuti manusia adalah:

  1. Takut mati. Allah berfirman:

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya mereka itu tiada lain hanyalah syetan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik) karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku saja, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

  1. Takut miskin. Allah berfirman:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui. (QS. Al-Baqarah: 268)

Allah berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra’: 31)

Jangan takut “kata orang,” Allah yang lebih Berhak Untuk Ditakuti

Allah-lah yang berhak untuk kita takutkan. Lakukan perintah dan tinggalkan larangan-Nya. Adapun kata orang tidak perlu digubris. Perhatikanlah Firman Allah berikut:

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab: 37)

Disebutkan oleh para ahli tafsir bahwa, Allah sudah memberitahu bahwa yang akan menikahi Zainab setelah dicerai oleh Zaid adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, dengan hikmah yang agung yaitu untuk mematahkan keyakinan orang-orang jahiliyah yang mengharamkan menikahi bekas istri anak angkat. Yang ditakutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah reaksi orang-orang, karena mereka menganggap tabu hal ini. Oleh karena itu Allah menegur beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari kisah ini pelajaran penting bagi kita yaitu tidak boleh takut dari ucapan manusia dan buah bibir mereka. Cukup kita berusaha mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah dengan cara hikmah, adapun tanggapan manusia tidak perlu digubris.

Memang benar kita diperintahkan untuk menjaga harga diri agar tidak menjadi “buah bibir orang-orang.” Dalilnya yaitu hadits dari Shafiyyah binti Huyay radhiyallahu anha, ia berkata;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا سُوءًا أَوْ قَالَ شَيْئًا

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang melaksanakan i’tikaf aku datang menemui beliau di malam hari, lalu aku berbincang-bincang sejenak dengan beliau, kemudian aku berdiri hendak pulang, beliau juga ikut berdiri bersamaku untuk mengantarku. Saat itu Shafiyyah tingal di rumah Usamah bin Zaid. (Ketika kami sedang berjalan berdua) ada dua orang laki-laki dari kaum Anshar yang lewat, dan tatkala melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keduanya bergegas. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Kalian tenang saja. Sungguh wanita ini adalah Shofiyah binti Huyay”. Maka keduanya berkata: “Maha suci Allah, wahai Rasulullah”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setan berjalan lewat aliran darah manusia dan aku khawatir ia memasukkan perkara yang buruk pada hati kalian berdua”. Atau memasukkan sesuatu.” (HR. Bukhari: 3281, Muslim: 2175)

Syaikh Abdullah Al-Bassam rahimahullah berkata, “Di antara faidah dari hadits ini bahwasanya seorang harus menghilangkan segala sesuatu yang dapat mengarahkan kepada tuduhan, agar orang lain tidak berprasangka buruk kepadanya padahal dia berlepas diri dari hal itu, dengan kata lain hendaknya dia menjaga diri dari sebab yang akan mendatangkan tuduhan buruk.” (Taisir al-Allam: 355)

Namun, disatu sisi kita harus sadar bahwa bibir orang-orang itu terlalu subur, sehingga ia akan tetap berbuah meski pun tidak disiram dan dipupuk. Kita menginginkan semua manusia ridha?! Maka itu adalah hal yang mustahil. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan:

رِضَى النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ، وَلَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنْهُم سَبِيْلٌ، فَعَلَيْكَ بِمَا يَنْفَعُكَ، فَالْزَمْهُ

Mendapatkan keridhaan seluruh manusia adalah sebuah tujuan yang takkan mungkin digapai. Tidak ada jalan untuk selamat dari mereka. Cukuplah bagimu untuk menekuni hal-hal yang bermanfaat untukmu.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/89)

Jangankan perbuatan kita, perbuatan Allah saja pasti ada yang tidak suka. Hujan misalnya, ada orang yang bersyukur dengan mengatakan alhamdulillah, tapi ada juga orang-orang yang tidak suka, tidak ridha sehingga mengatakan; “hujan lagi, hujan lagi…”

Ingat, kita ini hidup untuk Allah bukan untuk orang apalagi untuk “kata orang.” Yang dicari dan diusahakan adalah ridha Allah bukan ridha orang-orang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Barang siapa mencari keridhaan Allah sekalipun beresiko mendatangkan kebencian manusia, niscaya Allah akan membebaskan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan melakukan hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah, niscaya Allah akan menjadikannya selalu tergantung kepada manusia.” (HR. Tirmidzi: 2414, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2250)

Oleh sebab itu, kalau kita masih takut dengan “kata orang” maka selamanya kita akan bergantung pada “kata orang” itu. Kemudian mati dan celaka, berjumpa dengan kemurkaan Allah. Karena kita tidak mau menuruti perintah-nya lantaran kata orang tadi. Lantas baru kemudian menyesal, tapi sesal kemudian apalah guna.

 

Mentauhidkan Allah Dalam Harapan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Abdullah bin Abbas:

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi: 2516, Shahih al-Jami’: 7957)

Mintalah kepada Allah semuanya. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ

“Hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabbnya semua kebutuhannya, sampai-sampai tali sandalnya putus.” (HR. Ibnu Hibban:894, Tirmidzi: 8/3604, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykah: 29)

Kenapa? Karena Allah Maha Kaya sedangkan makhluk miskin. Allah berfirman:

وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنتُمُ الْفُقَرَاءُ

Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kalian adalah orang-orang fakir. (QS. Muhammad: 38)

Semakin besar harapan seseorang dan rasa butuhnya kepada Allah maka akan semakin mulia dan sempurna tauhidnya. Imam Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan:

وَ كَانَ بَعضُ السَّلَفِ يَسأَلُ اللَّهَ فِي صَلَاتِهِ كُلَّ حَوَائِجِهِ حَتَّى مِلحَ عَجِينِهِ وَ عَلَفَ شَاتِهِ

“Dahulu ada diantara salaf itu yang meminta kepada Allah (berdo’a) dalam shalatnya segala kebutuhan hidupnya sampai pun garam untuk adonan dan pakan kambingnya.” (Jami’ul ulum wal hikam: 302)

Shalat adalah tempat menumpahkan segala harapan

Shalat adalah tempat kita meminta semuanya kepada Allah, menunjukkan kebutuhan kita kepada Dzat Yang Maha Kaya. Karenanya sangat tidak layak seorang shalat dengan tergesa-gesa, seolah ia tidak punya keperluan kepada Allah yang harus diminta.

Urwah bin Zubair rahimahullah pernah melihat seorang sedang melakukan shalat dengan cepat, maka ketika orang itu telah selesai shalat, dia pun memanggilnya seraya berkata kepadanya:

يَا ابنَ أَخِي، أَمَا كَانَت لَكَ عِندَ رَبِّكَ حَاجَةٌ؟! وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْأَلُ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي صَلَاتِي كُلَّ شَيءٍ حَتَّى المِلحَ

“Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak mempunyai keperluan kepada Tuhanmu?! Demi Allah, sungguh aku memohon segala sesuatu kepada Allah di dalam shalatku bahkan garam sekalipun.” (Suwar min Hayatit Tabi’in: 43)

Shalat adalah kesempatan terbaik, keadaan yang paling dekat antara hamba dengan Allah, lebih-lebih ketika sujud. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim: 482)

Oleh sebab itu, jangan tergesa-gesa dalam shalat. Kita ini sangat butuh kepada Allah, banyak hal yang harus kita minta. Jadi gunakanlah kesempatan shalat sebagai kesempatan untuk meminta keperluan kita kepada-Nya. Minta semuanya sekali pun meminta garam dapur.

Tunaikan Kewajiban Minta Hak Kepada Allah

Ada yang bilang, “Terkadang kesedihan itu datang karena kita terlalu banyak berharap pada seseorang.” Padahal, kita sadar bahwa tidak ada makhluk yang sempurna. Siapa pun, selama ia masih berstatus “manusia” selama itu pula ia tidak akan pernah mampu memewujudkan semua harapan kita. Karena memang manusia itu lemah, papa dan tak punya apa-apa.

Ingat selalu, setan itu lihai. Betapa seringnya kita bersedih saat kita telah menunaikan kewajiban namun hak tidak kunjung juga kita terima. Bak memancing di air keruh, kesempatan itulah yang dimanfaatkan oleh setan-setan itu untuk membesar-besarkan kesedihan kita. “Kasihan, engkau telah letih menunaikan kewajiban tapi hakmu mana??”

Namun, inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkan pada kita cara untuk hidup bahagia. Menepis bisikan setan yang akan membuat kita bersedih. Beliau bersabda:

تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ

“Kalian tunaikan hak-hak (orang lain) yang menjadi kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian.” (HR. Bukhari: 3603, Muslim: 1834)

Begitulah, tunaikan saja apa yang menjadi kewajiban. Adapun hak, seandainya memang tidak mampu kita dapatkan di dunia maka biarlah Allah yang akan membalasnya.

Sebagai rakyat, tunaikan saja apa yang telah diwajibkan, jika ada hak kita yang masih kurang minta saja kepada Allah. Sebagai suami atau istri, tunaikan saja kewajiban masing-masing, jika memang hak tidak ditunaikan oleh pasangan minta saja kepada Allah.

Utamakanlah kewajiban kita untuk menunaikan hak orang lain. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa’: 58)

Bahkan seandainya pun orang yang memiliki hak itu musuh kita atau orang yang paling kita benci. Tetap berikan haknya, jangan sampai kebencian kita menghalangi dari tidak menunaikan kewajiban. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8)

Bahkan, sekalipun mereka menghikhianti, maka jangan balas khianat dengan khianat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberi kepercayaan kepadamu dan janganlah engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Tirmidzi: 1264)

Allah tempat meminta dan bergantung. Berharaplah kepada Allah niscaya kita tidak akan sedih dan kecewa. Cukuplah Allah tempat kita memanjatkan segala harapan. Bukanlah Allah telah berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ . اللَّهُ الصَّمَدُ

Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-ikhlas: 1-2)

Biarlah hak kita tidak ditunaikan, tidak perlu sedih, itu hanyalah dunia. Apa yang di sisi Allah jauh lebih besar dan berharga.  Oleh sebab itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a agar kita meminta kepada Allah:

 وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا وَلَا تَجْعَلْ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا

“(Ya Allah) Janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami, dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai impian kami terbesar, serta pengetahuan kami yang tertinggi, serta jangan engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami.” (HR. Tirmidzi: 3424)

Baca juga Artikel:

Luasnya Ampunan Allah Untuk Hambanya – Hadits Arba’in 42

Selesai disusun di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Jum’at 22 Jumadal Ula 1441H/ 17 Januari 2020M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !