Batasan Bohong Terhadap Pasangan
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Ustadz, yang terhormat, mohon dijelaskan batasan-batasan bohong kepada pasangan yang dibolehkan dalam masalah agama, berserta contoh-contohnya. Karena terkadang dengan dalih menjaga perasaan pasangan kita lalu terbiasa untuk berbohong. Dan apakah boleh berdusta pula dengan niatan menyenangkan hati pasangan, semisal melucu tetapi dengan dusta ? Terima kasih. (R, 0852314xxxxx)
Jawab:
Wa’alaikumussalam warahmatullah. Bohong menurut asal hukumnya haram dengan beberapa dalil dari al-Qur’an maupun hadits yang shahih. Bahkan Allah ﷻ menyifati orang kafir dan orang munafik sebagai pembohong. Rasulullah ﷺ bersabda:
وإنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إلى الفُجُورِ، وإنَّ الفُجُورَ يَهْدِي إلى النّارِ، وإنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حتّى يُكْتَبَ كَذّابًا.
“Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta.” (HR. Al-Bukhari: 5629)
Sebaiknya kita tidak melucu dengan dusta, karena melucu dihadapan istri atau suami bisa dilakukan dengan cara tidak berdusta. Rasulullah ﷺ bersabda:
أنا زعيمٌ ببيتٍ في رَبَضِ الجنَّةِ لمن ترك المِراءَ وإن كان مُحقًّا وأنا زعيمٌ ببيتٍ في وسطِ الجنَّةِ لمن ترك الكذبَ وإن كان مازحًا وأنا زعيمٌ ببيتٍ في أعلى الجنَّةِ لمن حسُن خلُقُه
“Saya menjamin sebuah rumah di surga, bagi orang yang meninggalkan perdebatan kendati mengandung kebenaran, aku menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kebohongan kendati bercanda, dan rumah di lantai atas surga bagi orang yang memperbaiki akhlaknya (sampai menjadi baik).” (HR. Abu Dawud: 4800, 4802, Shahihul Jami’: 1464)
Tetapi kita boleh berbohong jika tidak memungkinkan untuk menempuh maslahat dan kebaikan kecuali dengannya, Rasulullah ﷺ bersabda:
ليس الكذّابُ الذي يُصلِحُ بيْنَ النّاسِ، فيقولُ خيرًا، أو يُنْمي خيرًا
“Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan antara pihak yang berselisih, dimana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih)”
Ibnu Syihab (az-Zuhri) berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara; peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Muslim no. 2605)
Contoh perkataan suami pada istrinya yang di maksud di atas, “Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai selain dirimu.” Atau sebaliknya istri mengatakan seperti itu, karena bermaksud untuk meredakan kemarahan suami.
Atau tauriyyah (kalimat bias) maksudnya; adalah menampakkan pada yang diajak bicara tidak sesuai kenyataan, namun disatu sisi pernyataan yang diungkap itu mengandung makna yang benar. Misalnya, ada yang mengatakan demi mendamaikan yang berselisih, “Si Ahmad (yang sebenarnya mencacimu) itu benar-benar memujimu.” Maksud pujian ini adalah pujian umum, bukan tertentu karena setiap muslim pasti memberikan pujian pada lainnya.
Akan tetapi hendaklah kalimat semacam tauriyyah ini tidak diperbanyak di antara suami istri. Jika sampai yang diucapkan menyelisihi realita dan terungkap, maka yang muncul di antara pasangan adalah perasaan saling benci dan permusuhan.
Ringkasan di atas, diambil dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin, jilid ke-3.
________________________________
Dijawab oleh: Ust. Aunur Rofiq Bin Ghufron, Lc. (Syawal 1437 H – Vol. 99, Al Mawaddah)
Diposting oleh Maribaraja.Com
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom