Cara Benar Memuliakan Para Ulama dan Orang Shalih – Khutbah Jum’at

KHUTBAH PERTAMA

إِنَّ الْـحَمْدَ الِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاٱللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ ٱاللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱاللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا ٱالَّذِينَ آمَنُوا ٱتَّقُوا ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ اٱلـحَدِيثِ كِتَابُ ٱللَّهِ، وَخَيْرَ ٱالهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي ٱالنَّارِ

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….

Beberapa hari terakhir ini, kita melihat 2 kasus yang berbeda terkait sikap manusia kepada para ulama, guru, orang shalih.

Satu sisi sisi kita melihat kasus tidak adanya penghormatan, guru diremehkan, dilaporkan ke polisi dan sampai ke meja hijau, bahkan seorang guru ngaji harus menjual motor tua satu-satunya yang ia miliki untuk ganti rugi, lantaran wali murid tidak terima anaknya dipelakukan “dengan keras” padahal dalam rangka mendidik. Bahkan ada yang sampai kehilangan satu matanya karena di katapel oleh wali muridnya lantaran tidak terima anaknya ditegur karena merokok di sekolah.

Disisi yang lain, ada pula kasus dimana guru, ustadz, ulama, orang shalih, dst, yang dicintai dan dimuliakan dengan cara berlebihan. Diberikan segala bentuk penghormatan, bahkan seperti penghormatan kepada Raja Romawi dan Persia. Semua perbuatannya seakan seperti perbuatan seorang Nabi yang tidak pernah salah. Bahkan air bekas minumnya diyakini berkah, dsb.

Maka bagaimanakah sikap kita? Cara yang mana yang benar?

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….

Dalam perkara apapun ada tiga sikap manusia yaitu:

  1. Pertama; Taqshir yaitu meremehkan, merendahkan, menghina, tidak menghormati, dll
  2. Kedua; Ghuluw yaitu berlebihan, melampaui batas dari kadar yang seharusnya
  3. Ketiga; Wasath yaitu pertengahan dengan makna tidak meremehkan tidak pula berlebihan.

Sikap Taqshir dan Ghuluw  adalah pintu masuk setan dalam menggelincirkan manusia dari jalan yang benar. Karenanya, Imam Al-Auza’i mengatakan:

مَا مِنْ أَمْرٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ، إِلَّا عَارَضَهُ الشَّيْطَانُ بِخَصْلَتَيْنِ، لَا يُبَالِي أَيَّهُمَا أَصَابَ: الغُلُوَّ وَالتَّقْصِيرَ.

“Tidak ada satu pun perintah yang Allah tetapkan, melainkan setan akan menghadangnya dengan dua sifat — dan ia tidak peduli mana yang berhasil mengenainya — yaitu sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dan sikap meremehkan (taqsir).” (Al-I’tidal fi At-Tadayyun: 24)

Jalan keselamatan adalah sikap yang ketiga yaitu Wasath (pertengahan). Karenanya Islam adalah agama yang wasath dalam segala hal. Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat washath (yang adil) (QS. Al-Baqarah: 143)

Terkait dengan bagaimana sikap kita terhadap para ulama, orang shalih, ahli ibadah, dst. Maka Islam mengajarkan Wasath yaitu menghormati para ulama, mencintai mereka, memuliakan namun tidak berlebihan. Islam menyuruhkan kita memuliakan para ulama. Nabi bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا

“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang yang dituakan diantara kami”. (Hadits Shahih, Riwayat, At-Tirmidzi, Lihat Shahiihul jaami’ no.5445)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

Barang siapa yang berbuat kebaikan kepada kalian maka balaslah, apabila kalian tidak mendapat sesuatu untuk membalasnya maka do’akanlah dia hingga kalian melihat bahwa kalian telah membalasnya.” (HR. Abu Dawud: 1672)

Para ulama telah memberikan begitu banyak kebaikan kepada kita berupa ilmu dan bimbingan sehingga kita berjalan diatas hidayah, maka wajib bagi kita untuk membalasnya. Dan ilmu tidak bisa dibalas dengan uang dan materi, karenanya hanya tersisa satu cara membalas kebaikan para ulama yaitu selalu mendo’akan mereka terus menerus. Dahulu seorang sahabat Nabi bernama Ka’ab bin Malik selalu mendo’akan As’ad bin Zurarah setiap azan Jum’at berkumandang, dikarenakan As’ad-lah yang telah mengajarkan Ka’ab dan kaumnya ibadah shalat Jum’at. (HR. Abu Dawud: 1069, dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani)

Namun disisi lain Islam melarang kita dari sikap berlebihan. Karena sikap berlebihan akan mengubah kecintaan dan penghormatan menjadi pengkultusan, sedangkan sikap inilah yang mengantarkan umat manusia ke lembah kebinasaan. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُوُّ

“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas)

Terjadinya kesyirikan pertama di muka bumi ini, manusia menyembah berhala, semua terjadi melalui jalan pengkultusan kepada para ulama dan orang shalih, karenanya Allah pun mengutus Nabi Nuh. Allah berfirman:

وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.”(QS. Nuh: 23).

Siapa lima nama yang disebutkan dalam ayat ini? Mereka adalah orang-orang shalih. Silahkan baca surat Nuh berserta tafsirannya

Sesatnya kaum Yahudi dan Nasrani, salah satunya juga karena pengkultusan terhadap orang shalih. Allah berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ، وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ

Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair adalah anak Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih (Isa) adalah anak Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 30)

Intinya: Islam mengajarkan kepada kita untuk bersikap pertengahan dalam segala perkara, termasuk diantaranya dalam memuliakan dan mencintai para ulama dan orang-orang shalih.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ رب العالمين أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….

Setelah kita tahu kaidah sikap yang benar, yaitu Wasath (pertengahan) tidak Taqshir (meremehkan), tidak pula Ghuluw (berlebihan) maka pertanyaan selanjutnya:

Apa patokan dan bagaimana cara memuliakan dan menghormati para ulama dan orang shalih? Jawabannya adalah semua bentuk penghormatan dan pemuliaan yang dikenal oleh masyarakat dengan catatan penting: “selama tidak bertentangan dengan Syariat” (Al-Qur’an dan Sunnah)

Jika bentuk penghormatan yang dilakukan itu, telah dilarang oleh Syariat namun tetap dilakukan maka inilah yang disebut dengan Ghuluw (berlebihan  atau melampaui batas). Maka di masalah inilah kemudian kita harus belajar dan mencari tahu apa saja yang dilarang oleh syariat, agar penghormatan tidak berubah menjadi pengkultusan.

Contoh pertama:

Bolehkan menghormati ulama dengan cara sujud atau menunduk? Tidak boleh. Meski adat kita memandang baik. Karena hal itu dilarang oleh Nabi ﷺ. Dahulu perkara ini pernah terjadi dan dilakukan oleh dua Sahabat yaitu Mua’dz bin Jabal dalam HR. Ibnu Majah: 1853, dan Qais bin Sa’ad dalam HR. Abu Dawud: 2140.

Dua sahabat ini pergi kedua tempat berbeda tetapi kasusnya nantinya sama. Muadz pergi ke Syam yang merupakan daerah Romawi (Nasrani) sedangkan Qais ke Hirrah salah satu daerah Persia (Majusi) namun mereka menyaksikan hal yang sama dimana penduduk dua negeri ini biasa bersujud kepada para ulama, orang-orang shalih serta para pahlawan mereka untuk penghormatan. -Menunjukkan bahwa penghormatan dengan sujud atau membungkuk adalah adat kebiasaanya orang-orang kafir.- Kedua sahabat ini berkata dalam dirinya; “Seandainya cara ini adalah cara untuk penghormatan maka Nabi lebih berhak dilakukan hal ini kepadanya.” Maka sesampainya mereka di Madinah (dalam kesempatan berbeda) mereka langsung sujud di hadapan Nabi ﷺ. Nabi ﷺ bertanya alasan mereka, mereka pun menjelaskan. Maka nabi ﷺ bersabda:

فَلَا تَفْعَلُوا ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

 “Janganlah kalian melakukannya, kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya.” (HR. Ibnu Majah: 1853)

Contoh kedua:

Bolehkah menghormati dengan cara menyambut para ulama dengan berdiri sengaja disertai pengangungan dan menundukkan kepala? Tidak boleh. Karena Nabi melarangnnya. Dalilnya adalah hadits, dimana Nabi ﷺ bersabda:

مِنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَثِّلَ لَهُ النَّاسُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang menyukai agar orang-orang berdiri/menunjukkan penghormatan kepadanya, maka hendaklah ia menempati tempatnya di dalam Neraka.” (HR. Abu Dawud: 5229, At-Tirmidzi: 2753, Ahmad 4/93, Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad :977dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahaan 1/219; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shohihah I/627)

Karenanya para sahabat tidak ada yang melakukan ini kepada Nabi ﷺ.

مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النَّبِيِّ ﷺ، وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا إِلَيْهِ لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ.

“Tidak ada seseorang yang lebih mereka cintai untuk dilihat selain Nabi ﷺ. Namun apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka tahu beliau tidak menyukai hal itu.” (HR. Al-Bukhari Al-Adabul-Mufrad: 946, At-Tirmidzi: 2754 dan Asy-Syamaail:335, Ibnu Abi Syaibah 8/586, Ahmad 3/132 & 134 & 151 & 250, Abu Ya’laa no. 3784, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar no. 1126, dan yang lainnya; shahih).

Oleh karena itu, kita tidak melakukan sujud, merunduk, membungkuk untuk menghormati para ulama, tidak pula berdiri sengaja disertai pengangungan lalu menundukkan kepala, saat kedatangannya bukan berarti kita tidak mencintai dan muliakan para ulama. Namun itulah batasan yang telah ditetapkan oleh Syariat. Dan para ulama yang hakiki, memiliki ilmu dan benar-benar beramal dengan ilmunya tidak ada yang suka dengan cara seperti ini.

Semoga Allah melindungi dan menjaga para ulama kita, mengangkat derajat mereka, mengampuni dosa dan kesalahan mereka, dan memberikan balasan atas setiap kebaikan yang mereka curahkan kepada umat, kita tidak akan pernah bisa membalas kebaikan mereka dengan harta, tidak akan setimpal, hanya Allah yang bisa membalas mereka, mudah-mudahkan Allah menyelamatkan para ulama kita dan kita semua dari semua keburukan, seta mengumpulkan kita semua dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal alamin.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْوبنا عَلَى دِينِكَ

ربنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْن

Lihat:

Arsip Khutbah Maribaraja.Com

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !