FAIDAH DAN URGENSI MEMPELAJARI ILMU FIKIH

Ilmu fikih adalah di antara ilmu yang sangat penting untuk dipelajari. Setiap muslim dan muslimah harus benar-benar senantiasa menyediakan waktu untuk mempelajarinya, karena hal itu berkaitan dengan banyak hal. Di antara faktor yang menunjukkan akan pentingnya belajar fikih adalah:

1. Melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya

Allah dan Rasul-Nya telah mewajibkan kepada kita semua untuk menuntut ilmu agama. Di antaranya yang menunjukkan akan hal itu yaitu bagaimana Allah menurunkan wahyu pertama yang berkaitan berkaitan dengan perintah untuk belajar. Demikian pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dalam banyak hadits di antaranya beliau bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”(HR. Ibnu Majah: 224)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan:

يَجِبُ أَنْ يَطْلُبَ مِنَ العِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنُه، قِيْلَ لَهُ: مِثْلُ أَيِّ شَيْءٍ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَسَعْهُ جَهْلُهُ؛ صَلَاتُهُ وَصِيَامُهُ، وَنَحْوُ ذَلِكَ.

“Wajib seorang menurut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan kepada beliau: Seperti apa? Beliau menjawab: “Yaitu sesuatu yang tidak ada udzur untuk tidak tahu dalam hal itu seperti shalat, puasa dan yang semisalnya.” (Hushul Ma’mul: 12)

Ilmu fikih adalah ilmu yang mempelajari hal-hal itu; shalat, puasa, zakat, dst. Sehingga termasuklah ilmu fikih ini ke dalam kewajiban yang disebutkan itu.

2. Syarat diterimanya amalan ibadah

Dua syarat diterimanya sebuah amal ibadah yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah dan melaksanakan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Imam Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan:

العَمَلُ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُوْنَ خَالِصًا صَوَابًا ، الخَالِصُ : إِذَا كَانَ لِلَّهِ ، وَالصَّوَابُ : إِذَا كَانَ عَلَى السُّنَّةِ

Sebuah amalan tidak akan diterima kecuali dengan ikhlas dan shawab. Ikhlas apabila untuk Allah semata dan shawab apabila sesuai sunnah (tuntunan Rasulullah).” (Jamiul Ulumi  wal Hikam: 19 cet. Darul Aqidah)

Syarat yang pertama yaitu ikhlas dipelajari serta dibahas dalam disiplin ilmu akidah dan tazkiyatun nufus. Sedangkan syarat yang kedua yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dipelajari dalam disiplin ilmu fikih.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, seorang laki-laki masuk ke masjid sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang duduk di pojok masjid, lalu ia shalat. Kemudian dia datang menemui dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Wa’alaikas salam. Kembalilah ulagi lagi shalatmu karena engkau belum shalat.’

Kemudian dia kembali shalat, setelah itu ia kembali datang dan mengucapkan salam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kembali bersabda: ‘Wa’alaikas salam, kembalilah ulangi shalatmu karena engkau belum shalat.’ Lalu laki-laki itu mengatakan setelah kali kedua atau ketiga: ‘Ajarilah aku wahai Rasulullah.’ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَستوي قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

“Jika kamu hendak melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudhu’, lalu menghadapkan ke kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat al-Qur’an yang mudah bagimu lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan tuma’ninah, kemudian bangkitlah sampai engkau berdiri lurus. Sesudah itu sujudlah sampai engkau sujud dengan tuma’ninah, kemudian bangkitlah dari sujud sampai engkau duduk dengan tuma’ninah, sesudah itu sujudlah kembali sampai engkau sujud dengan tuma’ninah. Kemudian bangkitlah hingga kamu duduk dengan tenang. Lalu Kerjakanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari: 6251)

3. Menambahkan nilai pahala

Nilai pahala ibadah seseorang berbanding lurus dengan keikhlasan dan mutaba’ahnya. Semakin ikhlas dan sempurna ibadahnya tersebut mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka semakin besar pahalanya dan demikian sebaliknya. Sebagai contoh dalam ibadah shalat, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلَاةَ مَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إِلَّا عُشْرُهَا تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

“Sesungguhnya seorang hamba shalat, tidak ditulis baginya dari shalatnya tersebut kecuali sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, setengah.” (HR.Ahmad: 18415, dihasankan Syaikh Al-albani dalam Shahih al-Jami’: 1626)

4. Menumbuhkan sikap toleransi dan menghindarkan perpecahan.

Dalam masalah fikih terdapat sesuatu hal yang pasti yaitu perselisihan pendapat. Bahkan Imam Qatadah mengungkapkan:

من لَمْ يَعْرَفِ الِاخْتِلَافَ لَمْ يَشُمَّ رَائِحَةَ الْفِقْهِ بِأَنْفِهِ

“Barang siapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama maka hidungnya belum mencium bau fikih.” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi: )

Yang menyebabkan perpecahan serta tidak adanya sikap toleransi adalah karena tidak tahu perselisihan serta ditambah dengan mengikuti hawa nafsu. Maka apabila seorang mempelajari fikih, niscaya ia akan mengetahui hal ini dan akan muncul sikap toleransi padanya.

5. Kebaikan individu dan masyarakat

Mengetahui fikih dan mengamalkannya akan membuahkan keshalihan pada individu, baik ibadah dan akhlaknya. Dan apabila masing-masing individu telah baik maka masyarakat secara otomatis menjadi baik pula.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !