
Hukum Merayakan Tahun Baru – Khutbah Jumat
KHUTBAH PERTAMA
إِنَّ الْـحَمْدَ الِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاٱللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ ٱاللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱاللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا ٱالَّذِينَ آمَنُوا ٱتَّقُوا ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ اٱلـحَدِيثِ كِتَابُ ٱللَّهِ، وَخَيْرَ ٱالهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي ٱالنَّارِ
Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….
Diantara prinsip dasar agama kita ini adalah mencintai dan berloyalitas kepada Islam dan para pemeluknya, serta membenci dan berlepas diri dari kekafiran dan para pemeluknya. Islam sangat menjaga agar kaum muslimin memiliki identitas yang berbeda dari selain mereka, bahkan dalam penampilan lahiriah, baik pada tingkat individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, Al-Kitab dan Sunnah sarat dengan dalil yang membahas larangan menyerupai orang-orang kafir dan mengikuti gaya hidup mereka. Diantara dalilnya adalah firman Allah:
وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ * وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan aku diperintahkan agar termasuk golongan orang-orang beriman. Dan hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan lurus, dan jangan sekali-kali engkau termasuk orang-orang musyrik.” (Yunus: 104–105)
Al-Allamah Al-Ghazzi (w.977 H) rahimahullah berkata:
“Ayat ini merupakan dasar yang sangat agung (paling pokok) dalam perintah untuk menyerupai orang-orang beriman dan larangan menyerupai orang-orang musyrik.” (Husnu At-Tanabbuh lima Warada fi At-Tasyabbuh: 5/395, cet. Dar An-Nawadir cetakan ke-1 Thn 1432)
Inilah kemudian yang disebut dengan istilah Tasyabbuh (menyerupai). Wajib bertasyabbuh dengan orang-orang beriman dan haram bertasyabbuh dengan orang-orang kafir. Nabi ﷺ bersabda:
ليس مِنَّا مَن تَشبَّهَ بغَيرِنا
Bukan golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami. (HR. Ath-Thabarani: 7380, Baihaqi: 2509, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2723)
Bagaimanakah hakikat Tasyabbuh yang terlarang? Apakah semua yang berasal dari orang kafir hukumnya haram bagi kaum muslimin? Jawabannyanya tidak. Tasyabbuh yang terlarang hanyalah dalam perkara yang menjadi ciri khas agama atau kebiasaan mereka. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
التَّشَبُّهُ أَنْ يَأْتِيَ الإِنْسَانُ بِمَا هُوَ مِنْ خَصَائِصِهِمْ بِحَيْثُ لَا يُشَارِكُهُمْ فِيهِ أَحَدٌ.
“Tasyabbuh (menyerupai) adalah ketika seseorang melakukan sesuatu yang menjadi kekhasan mereka (orang kafir), dimana tidak ada seorang pun yang ikut serta bersama mereka dalam hal tersebut.” (Syarh Mumti’: 5/29)
Kenapa Islam memerintahkan untuk menyerupai orang-orang shalih dan melarang menyerupai orang-orang kafir dan musyrik? Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menjelaskan: “Keserupaan dalam penampilan dan petunjuk lahiriah akan melahirkan kesesuaian dan kemiripan di antara orang-orang yang saling menyerupai, yang kemudian mengantarkan pada kesesuaian dalam akhlak dan perbuatan. Ini adalah sesuatu yang nyata. Penyerupaan secara lahiriah menumbuhkan jenis kasih sayang, cinta, dan loyalitas di dalam batin. Sebagaimana kecintaan di dalam batin juga melahirkan penyerupaan dalam penampilan lahiriah. Dan hal ini terbukti secara inderawi dan eksperimen (pengalaman).” (Iqtidha’ Ash-Shirat Al-Mustaqim: 1/93, 549)
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ رب العالمين أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….
Menjelang akhir tahun masehi, satu hal yang perlu disampaikan oleh para khatib adalah hukum seorang muslim merayakan tahun baru Masehi. Hal ini perlu -bahkan harus- disampaikan agar kaum muslimin mengetahui hukumnya dan sebagai bentuk melepaskan tanggungan kewajiban, agar para khatib memiliki alasan di hari kiamat nanti di hadapan Allah, bahwa mereka telah menyampaikannya kepada umat.
Bolehkah seorang muslim ikut perayaan tahun baru? Jawabannya; Haram (tidak boleh). Karena hal tersebut masuk ke dalam kategori Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang hukumnya terlarang. Kenapa demikian? Karena perayaan tersebut merupakan kekhasan agama dan kebiasaan orang-orang kafir. Kita bisa membaca di banyak referensi terkait dengan asal-usul dan sejarah perayaan tahun baru masehi, dan bahkan terbuka luas dan dengan mudah mendapatkannya.
Ringkasnya: Perayaan Tahun Baru Masehi berawal dari festival (ritual) keagamaan masyarakat Babilonia kuno yang berkaitan erat dengan keyakinan mereka terhadap para dewa. Kemudian hal ini dipengaruhi oleh Romawi. Sekitar 46 SM, salah seorang kaisar Romawi yaitu Julius Caesar melakukan reformasi kalender dengan bantuan ahli astronomi dari Mesir dan memperkenalkan kalender Julian. Ia menetapkan 1 Januari sebagai hari pertama tahun baru, menghormati Dewa Janus, yang mereka yakini sebagai dewa pintu dan gerbang yang memiliki dua wajah untuk melihat masa lalu dan masa depan. Bangsa Romawi merayakan saat itu dengan persembahan kepada dewa, pesta, dan pertukaran hadiah.
Dari sini, sangat jelas bahwa perayaan tahun baru masehi adalah bagian dari perayaan keagamaan dari luar Islam. Sehingga kaum muslimin tidak boleh ikut serta sedikutpun di dalamnya.
Jika ada yang bertanya, bukahkah perayaan ini sudah tidak ada lagi sangkut pautnya dengan ritual keagamaan, hanya sekedar bersenang-senang, makan-makan, bermain main? Maka jawabannya sudah ada dalam hadits. Kasus yang sama sudah pernah terjadi di masa Nabi dahulu. Disebutkan dalam hadits, dari Anas bin Malik ia berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ، وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: «مَا هَذَانِ اليَوْمَانِ؟» قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ.
Rasulullah ﷺ datang ke Madinah, sementara penduduknya memiliki dua hari yang biasa mereka gunakan untuk bermain. Beliau bertanya, “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab, “Kami dahulu bermain pada dua hari itu di masa jahiliah.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Sungguh Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari itu dengan yang lebih baik darinya: hari Idul Adha dan hari Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud: 1134, An-Nasai: 1556, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Hidayah Ar-Ruwah: 1384)
Dua hari ini adalah hari raya Nairuz dan Mihrajan. Mereka tidak melakukan ritual agama apapun di dalamnya. Hanya sekadar bermain-main, bersenang-senang, dan makan-makan. Namun kenapa Rasulullah ﷺ tetap melarangnya dan kemudian menggantinya dengan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha? Jawabannya adalah karena Nairuz dan Mihrajan adalah hari rayanya orang-orang Persia yang merupakan refleksi dari agama Majusi.
Maka dari dalil inilah kemudian para ulama tegas mengatakan bahwa ikut merayakan tahun baru Masehi hukumnya haram bagi seorang muslim sekalipun tidak ada ritual agama karena memang asal usul dari perayaan tersebut adalah refleksi dari keyakinan orang-orang kafir terkait dengan para dewa mereka.
Padahal kita setiap rakaat dalam shalat meminta kepada Allah agar diselamatkan dari jalannya orang-orang kafir yaitu do’a dalam surat al-Fatihah:
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. (QS. al-Fatihah: 6-7)
Orang-orang yang Engkau murkai, mereka adalah Yahudi. Sedang orang yang tersesat adalah Nasrani. hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
اليَهُوْدُ مَغْضُوْبٌ عَلَيْهِمْ، وَالنَّصَارَى ضُلَّالٌ
“Yahudi adalah umat yang dimurkai dan Nasrani adalah umat yang tersesat.” (HR. Tirmidzi: 2954, Shahih al-Jami’: 8202)
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua. Tugas seorang khatib hanya menyampaikan diterima atau tidak adalah urusan kita masing-masing dengan Allah. Karena kita yang akan bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri. Marilah kita jauhi semua bentuk perayaan orang-orang kafir, jangan ikut serta di dalamnya. Jaga keluarga kita dari melakukan perkara yang dilarang oleh agama. Agar Allah ridha dengan dengan kita dan menyelamatkan kita dari murka-Nya. Karena sesungguhnya Allah sengat keras dan pedih azab-Nya.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْوبنا عَلَى دِينِكَ
ربنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْن
Lihat:
Arsip Khutbah Maribaraja.Com
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom



Yuk Gabung !