KITABUT TAUHID BAB 51 – Menetapkan Asma’ul Husna Hanya Untuk Allah dan Tidak Menyelewengkannya

Firman Allah:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allah-lah Asma’ul Husna (nama-nama yang baik), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-Nya itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyelewengkan Asma-Nya. Mereka nanti pasti akan mendapat balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’raf: 180)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang maksud firman Allah:

يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ

Orang-orang yang menyelewengkan Asma-Nya.”

Ia mengatakan bahwa maksudnya adalah: “Berbuat syirik (dalam Asma-Nya), yaitu orang-orang yang menjadikan Asma’ Allah untuk berhala mereka, seperti nama Al Lata yang berasal dari kata Al Ilah, dan Al Uzza dari kata Al Aziz.” (Ad-Dur Al-Mantsur: 3/149)

Dan diriwayatkan dari Al-A’masy dalam menafsirkan ayat tersebut ia mengatakan: “Mereka memasukkan ke dalam Asma-Nya nama-nama yang bukan dari Asma-Nya.”

Kandungan bab ini:

1. Wajib menetapkan Asma Allah [sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya].
2. Semua Asma Allah adalah husna (Maha Indah).
3. Diperintahkan untuk berdoa dengan menyebut Asma husna-Nya.
4. Diperintahkan meninggalkan orang-orang yang menentang Asma-asma-Nya dan menyelewengkannya.
5. Penjelasan tentang bentuk penyelewengan Asma Allah.
6. Ancaman terhadap orang-orang yang menyelewengkan Asma Al Husna Allah dari kebenaran.

__________________________________

Nama dan shifat Allah tidak terbatas

Salah satu pokok keyakinan Ahlussunnah waljamaah dalam nama dan sifat Allah yaitu bahwa nama Allah tidak terbatas dengan bilangan. Hal ini berdasarkan hadits, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:“Tidaklah seorang ditimpa duka cita dan kesedihan lalu ia mengucapkan:

اللهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي

Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu dan anak dari hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Berlaku padaku keputusan-Mu. Ketentuan-Mu adil bagiku. Aku mohon pada-Mu dengan semua nama-Mu baik yang Engkau gunakan menamai diri-Mu sendiri, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah al-Qur’an sebagai penggembira hatiku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, dan pelipur laraku.’ Kecuali Allah akan menghilangkan kesedihan dan duka citanya, lalu diganti dengan kelapangan.” (HR. Ahmad: 3712, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah ash-Shahihah: 1/337)

Sisi pendalilannya yaitu dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” Hal ini jelas menunjukkan bahwa nama Allah tidak terbatas dengan bilangan.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:

فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلَّهِ أَسْمَاءً فَوْقَ تِسْعَةٍ وَتِسْعِينَ

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah memiliki nama-nama lebih dari sembilan puluh sembilan. (Majmu’ al-Fatawa: 6/374)

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Allah ‘azza wajalla mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa meng-ihsha’ (menjaganya) maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari: 2736, Muslim: 2677)

Bukanlah menujukkan pembatasan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim, beliau berkata:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ هَذَا الْحَدِيث لَيْسَ فِيهِ حَصْر لأَسْمَائِهِ سُبْحَانه وَتَعَالَى , فَلَيْسَ مَعْنَاهُ : أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَسْمَاء غَيْر هَذِهِ التِّسْعَة وَالتِّسْعِينَ , وَإِنَّمَا مَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ هَذِهِ التِّسْعَة وَالتِّسْعِينَ مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّة , فَالْمُرَاد الإِخْبَار عَنْ دُخُول الْجَنَّة بِإِحْصَائِهَا لا الإِخْبَار بِحَصْرِ الأَسْمَاء اهـ .

“Para ulama telah sepakat bahwasanya hadits ini bukanlah pembatasan terhadap jumlah nama Allah subhanahu wata’ala. Maknanya bukan; Allah tidak memiliki nama-nama selain 99 ini. Sesungguhnya maksud hadits ini adalah bahwa 99 nama ini yang siapa mampu menjaganya maka akan masuk surga, tujuannya adalah sebagai bentuk pengabaran mengenai masuk surga karena menjaganya bukan pengabaran mengenai pembatasan nama-nama Allah.”

Makna menjaga Asma’ul Husna

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Allah ‘azza wajalla mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa meng-ihsha’ (menjaganya) maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari: 2736, Muslim: 2677)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: Makna ihsha’ (menjaga) sembilan puluh sembilan nama ini yang konsekuensinya dapat memasukkan ke surga bukanlah hanya dengan engkau menuliskannya di kertas kemudian engkau ulang-ulang hingga hafal, akan tetapi maknanya adalah:

Pertama: menghafal lafazhnya

Kedua: memahami maknanya

Ketiga: beribadah kepada Allah dengan konsekuensinya, dan hal itu dari dua sisi yaitu:

1. Berdo’a kepada Allah dengannya, berdasarkan firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. (QS. Al-A’raf: 180)

2. Bersedia melakukan apa-apa yang menjadi konsekuensi dari nama-nama ini. Misalnya Ar-Rahim yang konsekuensinya adalah rahmat maka lakukanlah amal shalih supaya dapat mendatangkan rahmat Allah. Konsekuensi dari Al-Ghafur adalah ampunan, jadi lakukanlah apa-apa yang menjadi sebab untuk pengampunan terhadap dosa-dosamu. Inilah makna ihsha’.” (Al-Qaulul Mufid: 2/258-259)

Berdo’a dengan Asmaul Husna

Berdo’a kepada Allah dengan nama-nama-Nya memiliki dua makna:

Pertama, do’a ibadah, yaitu dengan beribadah kepada Allah dengan kandungan dari nama-nama Allah tersebut, sebab terkadang kata do’a dimutlakkan untuk makna ibadah. Allah berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari mengibadahi-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)

Di dalam ayat ini Allah berfirman: “menyombongkan diri dari mengibadahi-Ku” bukan dari berdo’a kepada-Ku. Ini menunjukkan bahwa do’a itu adalah ibadah. 

Misalnya nama Allah Ar-Rahim yang menunjukkan rahmat, maka berusahalah mencari sebab-sebab untuk mendapatkan rahmat Allah kemudian mengamalkannya. Al-Gahfur menunjukkan ampunan maka carilah ampunan Allah dengan banyak-banyak bertaubat dan sering beristighfar. Al-Qarib menunjukkan dekat maka carilah kedekatan dengan-Nya seperti memperbanyak shalat, karena sujud merupakan keadaan paling dekat antara hamba dengan rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim: 482)

Kedua, doa masalah yaitu bertawassul dengan nama-nama Allah sebelum berdo’a. Seperti do’anya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri dengan kezaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (HR. Bukhari: 834, Muslim: 2705)

Lihat kitab Al-Qaulul Mufid: 2/315-316

Ilhad (penyelewengan) dalam Asma’ Allah

Ilhad dalam asma’ Allah maksudnya adalah penyelewengan dari apa yang wajib dalam hal nama-nama Allah, dan hal ini ada beberapa bentuk:

1. Mengingkari sesuatu dari nama atau sifat Allah, seperti mengingkari sifat wajah, tangan, jari, dst, bagi Allah.

2. Menetapkan nama yang tidak ditetapkan oleh Allah. Sebagaimana hal ini ucapan Al-A’masy dalam menafsirkan firman Allah:

يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ

Orang-orang yang menyelewengkan Asma-Nya.” (QS. Al-A’raf: 180)

Ia mengatakan:

يدخلون فيها ما ليس منها

Mereka memasukkan ke dalam Asma-Nya nama-nama yang bukan dari Asma-Nya.”

Seperti apa yang dilakukan oleh kaum Nasrani yang menamai Allah dengan Bapa, atau kaum filsafat yang menamai Allah dengan al-Aqlu al-Fa’aal.

3. Menyerupakan Allah dengan makhluk.

4. Menjadikan pecahan dari nama Allah sebagai nama berhala. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik jahiliyyah dimana mereka mengambil kata Lata dari Ilah, Uzza dari Al-Aziz, Manat dari Mannan. Sebagaimana ucapan Ibnu Abbas tentang maksud firman Allah:

يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ

Orang-orang yang menyelewengkan Asma-Nya.” (QS. Al-A’raf: 180)

Ia mengatakan bahwa maksudnya adalah: “Berbuat syirik (dalam Asma-Nya), yaitu orang-orang yang menjadikan Asma’ Allah untuk berhala mereka, seperti nama Al Lata yang berasal dari kata Al Ilah, dan Al Uzza dari kata Al Aziz.” (Ad-Dur Al-Mantsur: 3/149)

Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam Al-Qaulul Mufid: 318-319

Baca juga Artikel:

KITABUT TAUHID BAB 40 – Mengingkari Sebagian Nama Dan Sifat Allah

Ditulis di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Kamis 22 Rabi’ul Akhir 1441H/ 19 Desember 2019M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !