KITABUT TAUHID BAB 60 – Orang-orang Yang Mengingkari Qadar (Takdir)

Ibnu Umar berkata: “Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar berada di tangan-Nya, seandainya  salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya, sebelum ia beriman kepada qadar (ketentuan Allah)”, dan Ibnu Umar membaca sabda Rasulullah:

الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Iman yaitu hendaklah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan bahwa Ubadah Ibnu Shamit berkata kepada anaknya: “Hai anakku, sungguh kamu tidak akan bisa merasakan lezatnya iman sebelum kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan menimpa dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak menimpa dirimu pasti tidak akan menimpamu, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ, فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ، فَقَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ  حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah adalah Qalam, kemudian Allah berfirman kepadanya: “tulislah”, maka Qalam itu menjawab: “Ya Tuhanku, apa yang mesti aku tulis? Allah berfirman: “Tulislah ketentuan segala sesuatu sampai datang hari kiamat.”

Hai anakku, aku juga telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Barangsiapa yang meninggal dunia tidak dalam keyakinan seperti ini, maka ia tidak tergolong ummatku.”

Dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ, فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ، فَجَرَى فِيْ تِلْكَ السَّاعَةِ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة

“Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah adalah Qalam, kemudian Allah berfirman kepadanya: “tulislah! Maka ditulislah apa yang terjadi sampai hari kiamat”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ أَحْرَقَهُ اللهُ بِالنَّارِ

“Maka barangsiapa yang tidak beriman kepada qadar (ketentuan Allah) baik dan buruknya, maka Allah pasti akan membakarnya dengan api neraka.”

Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan, dari Ibnu Dailami ia berkata: “Aku datang kepada Ubay bin Kaab, kemudian aku katakan kepadanya: “Ada sesuatu keraguan dalam hatiku tentang masalah qadar, maka ceritakanlah  kepadaku tentang suatu hadits, dengan harapan semoga Allah menghilangkan keraguan itu dari hatiku”, maka ia berkata:

لَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِـئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَلَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَكُنْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu, sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu, dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, pasti kamu menjadi penghuni  neraka”.

Kata Ibnu Dailami selanjutnya: “Lalu aku mendatangi Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman dan Zaid bin Tsabit, semuanya mengucapkan kepadaku hadits yang sama dengan sabda Nabi Muhammad di atas.” (HR. Al Hakim dan dinyatakan shahih)

Kandungan bab ini:

1. Keterangan tentang kewajiban beriman kepada qadar.
2. Keterangan tentang cara beriman kepada qadar.
3. Amal Ibadah seseorang sia-sia, jika tidak beriman kepada qadar.
4. Disebutkan bahwa seseorang tidak akan merasakan iman sebelum ia beriman kepada qadar.
5. Penjelasan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah yaitu Qalam.
6. Diberitahukan dalam hadits bahwa –dengan perintah dari Allah- menulis ketentuan-ketentuan sampai hari kiamat.
7. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa dirinya lepas dari orang yang tidak beriman kepada qadar.
8. Tradisi para ulama salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama.
9. Dan para ulama salaf memberikan jawaban yang dapat menghilangkan keraguannya tersebut, dengan hanya menuturkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

_________________________

Munasabah bab dengan Kitabut Tauhid

Mengimani qadar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tauhid rububiyah. Oleh karena itu barang siapa yang mengingkarinya maka telah rusak tauhidnya.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Bahwasanya tauhid rububiyah tidak dapat sempurna kecuali dengan menetapkan qadar dan mengimaninya. Dalam bab ini penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) menyebutkan ancaman terhadap orang-orang yang mengingkarinya, sebagai peringatan atas kewajiban mengimani qadar.” (Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid: 391)

Tiga golongan manusia dalam qadar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: Beriman kepada qadar (takdir) berkaitan dengan tauhid rububiyah secara khusus dan ia juga memiliki keterkaitan dengan tauhid asma’ wa shifat karena hal itu diantara sifat kesempurnaan Allah. Manusia dalam masalah qadar adal tiga golongan:

Pertama, Jabriyah Jahmiyah yang mana mereka menetapkan qadar Allah akan tetapi mereka ghuluw (melampaui batas) sehingga mereka menghilangkan usaha dan keinginan seorang hamba.

Kedua, Qadariyah Mu’tazilah yang mana mereka menetapkan bahwa hamba memiliki usaha dan kehendak dalam perbuatannya akan tetapi mereka juga ghuluw sehingga mereka menafikan kehendak Allah dalam amalan seorang hamba.

Ketiga, Ahlussunnah waljama’ah yang mana menggabungkan semua dalil dan menempuh jalan sebaik-baik agama, mereka beriman dengan qadar (kehendak) Allah dan juga mengimani bahwa seorang hamba memiliki pilihan dan kehendak. Akan tetapi kehendak hamba bergantung dengan kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya:

لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ ، وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS. At-Takwir: 28-29). (Al-Qaulul Mufid: 2/401, secara ringkas)

Antara qadha dan qadar

Qadar secara bahasa artinya: takdir yaitu penentuan. Sebagaimana firman Allah:

فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ

Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. (QS. Al-Mursalat: 23)

Sedangkan qadha’ secara bahasa artinya: hukum (keputusan).

Qadha’ dan qadar adalah dua istilah yang masuk ke dalam kaidah:

إِذَا اِجْتَمَعَا اِفْتَرَقَا وَإِذَا اِفْتَرَقَا اِجْتَمَعَا

Apabila keduanya berkumpul maka keduanya berpisah dan apabila terpisah maka keduanya berkumpul.”

Maksudnya, jika keduanya terpisah dengan kata lain tidak disebutkan bersamaan dalam satu redaksi kalimat maka maknanya sama. Yaitu jika disebut qadar Allah, maka semakna dengan qadha’ Allâh, begitu pula sebaliknya. Dan jika disebut bersama-sama dalam satu redaksi kalimat maka masing-masing memiliki makna yang berbeda. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

– Qadar adalah: apa yang telah Allah tentukan semenjak dahulu yang akan terjadi pada makhluk-Nya.

– Qadha’ adalah: apa yang Allah putuskan pada makhluk-Nya, yang berupa mewujudkan, meniadakan, atau merubah. Sehingga qadar mendahului qadha’. /Art0285

Referensi: Syarh Aqidah Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, Dar Ibn al-Jauzi, hlm.2/188

Defenisi Qadar (Takdir)

Beriman kepada takdir Allah merupakan salah satu di antara rukun iman bahkan sangat ditekankan, karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengulangi penyebutan beriman ketika masalah takdir, beliau bersabda:

 أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari akhir serta engkau beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim: 8)

Takdir secara bahasa maknanya adalah penentuan. Sebagaimana firman Allah:

فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ

Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. (QS. Al-Mursalat: 23)

Sedangkan secara istilah adalah keterkaitan ilmu Allah terhadap segala kejadian serta iradah-Nya terhadap hal itu pada waktu azali sebelum adanya kejadian tersebut. Tidak ada satupun kejadian kecuali Allah telah menentukannya. (Syarh al-Aqidah al-Wasitiyah al-Fauzan: 209)

Faidah beriman kepada Qadar (takdir) Allah

1. Temasuk kesempurnaan iman. Seorang tidak dikatakan mukmin melainkan ia harus beriman kepada takdir.

2. Termasuk kesempurnaan iman terhadap rububiyah Allah. Karena takdir termasuk perbuatanNya.

3. Mengembalikan semua urusan hanya kepada Allah. Karena apabila seorang mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan qadha’ dan qadar Allah maka ia akan kembali kepada Allah dalam hal menolak kemudharatan, ia akan menisbatkan kebahagiaan kepada-Nya dan mengetahui bahwa itu adalah keutamaan dari Allah.

4. Seorang akan tahu kadar dirinya sehingga menjadikannya tidak sombong apabila mengerjakan kebaikan.

5. Ringannya musibah atas seorang hamba, karena jika seseorang mengetahui bahwa musibah itu dari Allah, niscaya ringanlah baginya musibah tersebut. Sebagaimana Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Taghabun: 11)

Al-Qamah rahimahullah mengatakan:

هُوَ الرَجُلُ تُصِيْبُهُ المُصِيْبَةُ، فَيَعْلَمُ أَنَّهَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ، فَيَرْضَى وَ يَسْلَمُ

Dia adalah orang yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui bahwa musibah itu dari Allah, maka dia ridha dan menerima. (Syubatul Iman: 6/227)

Takdir Umum Dan Khusus

Takdir ditinjau dari cangkupannya terbagi menjadi dua macam (lihat: Syarh al-Aqidah al-Wasitiyah al-Fauzan: 215) yaitu:

Pertama, takdir umum, yaitu mencangkup segala kejadian yang tertulis di Lauhul Mahfuz.

Kedua, takdir khusus, yaitu perincian dari takdir umum. Takdir khusus ini ada tiga macam:

1. Takdir Umuri, sebagaimana di dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu perihal pencatatan takdir terhadap janin yang masih ada di perut ibunya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ

Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya dalam bentuk setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari juga, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh. Kemudian malaikat itu diperintahkan untuk menulis empat perkara padanya; menuliskan rezeki, ajal, amal dan kecelakaan atau kebahagiannya.” (HR. Bukhari: 3208, Muslim: 2643)

2. Takdir Hauli (tahunan), yaitu apa yang ditetapkan pada malam lailatul qadr tentang kejadian yang akan terjadi selama setahun. Sebagaimana firman Allah:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. Ad-Dukhan: 4)

3. Takdir Yaumi (harian), yaitu apa saja yang ditetapkan dari kejadian-kejadian dalam satu hari berupa kehidupan, kematian, kemuliaan, kehinaan, dan yang lainnya. Sebagaimana firman-Nya:

يَسْأَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap hari Dia dalam kesibukan. (QS. Ar-Rahman: 29)

Tingkatan Beriman Kepada Qadar

Beriman kepada qadar mencangkup empat tingkatan:

Pertama, ilmu. Yaitu beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara umum maupun secara terperinci, azali dan abadi. Dan sama saja apakah hal itu berkaitan dengan perbuatan-Nya atau pun perbuatan hamba-hambaNya.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. Ath-Thalaq: 12)

Allah mengetahui segala yang tampak maupun yang tersembunyi, Allah berfirman:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

Dialah Allah yang tiada ilah yang haq selain ia, mengetahui yang ghaib dan yang tampak. (QS. Al-Hasyr: 22)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Mahamengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)

Kedua, penulisan. Yaitu mengimani bahwa Allah telah mencatat semua yang Ia ilmui itu di dalam Lauhul Mahfuz. Allah berfirman:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS. Al-Haj: 70)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

Allah telah mencatat seluruh taqdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim: 2653)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ, فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ، فَقَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ  حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ

Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah adalah Qalam, kemudian Allah berfirman kepadanya: “tulislah”, maka Qalam itu menjawab: “Ya Tuhanku, apa yang mesti aku tulis? Allah berfirman: “Tulislah ketentuan segala sesuatu sampai datang hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Abi Ashim)

Ketiga, iradah dan masyi’ah (kehendak). Mengimani bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Diantara dalilnya adalah:

وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّه

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi,” kecuali dengan menyebut:  “Jika Allah berkehendak.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)

Semua yang dikehendaki Allah pasti terjadi, berbeda halnya dengan kehendak manusia. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:

مَا شِئْتَ كَانَ وَإِنْ لَمْ أَشَأْ وَمَا شِئْتُ إِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَكُنْ

Apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meski aku tidak ingin dan apa yang aku inginkan jika engkau tidak berkehendak pasti tidak akan terjadi. (Fathul Bari: 13/457)

Keempat, penciptaan. Yaitu mengimani bahwa Allah-lah yang menciptakan segala sesuatunya baik dzat, sifat ataupun pergerakannya. Allah berfirman:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dialah memelihara segala sesuatu. (QS. Az-Zumar: 62)

Mengingkari Qadar penyebab ibadah tidak diterima

Karena syarat diterimanya ibadah ada dua yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Seorang yang mengingkari qadar maka dia belum ikhlas, sebab itu amal ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Maka pantaslah Ibnu Umar mengatakan:

وَاَلَّذِي نَفْسُ ابْنِ عُمَرَ بِيَدِهِ ، لَوْ كَانَ لِأَحَدِهِمْ مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا ، ثُمَّ أَنْفَقَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar berada di tangan-Nya, seandainya  salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya, sebelum ia beriman kepada qadar.”

Dan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu mengatakan:

لَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِـئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَلَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَكُنْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu, sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu, dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, pasti kamu menjadi penghuni  neraka.”

Baca juga Artikel:

KITABUT TAUHID BAB 35 – Termasuk Iman Kepada Allah; Sabar Dengan Takdir-Nya

Selesai ditulis di rumah kontrakan Komplek Pondok Jatimurni BB 3 Bekasi, Bekasi, Jum’at, 6 Jumadal Akhir 1441H/ 31 Januari 2020 M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !