Langkah Tepat Menyikapi Takdir

Sebagai seorang muslim, bagaimana langkah dan sikap yang benar menyikapi takdir? Ada beberapa hal yang perlu kita pahami untuk masuk ke inti pembahasan, dan dengan memahaminya juga kita bisa menjawab perntanyaan ini.

Beriman Kepada Takdir Adalah Syarat Menjadi Seorang Mukmin

Beriman kepada takdir merupakan bagian dari rukun iman yang enam. Dalam hadits ketika Malaikat Jibril bertanya mengenai apa itu iman Rasulullah ﷺ menjawab:

 أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari akhir serta engkau beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim: 8)

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Demikianlah, hikmah pengulangan lafaz Tu’mina (kamu beriman) pada saat penyebutan takdir seolah sebuah isyarat kepada banyaknya terjadi perselisihan dalam masalah ini, sehingga dengan pengulangan penyebutan Tu’mina agar lebih perhatian dengan perkara takdir.” (Fathu Al-Bari’ 1/118, Cetakan Al-Maktabah As-Salafiyah, Cetakan I)

Seorang yang tidak beriman terhadap Takdir Allah maka ia belum dapat dikatakan sebagai seorang mukmin. Dan Allah tidak akan menerima amal ibadahnya, sekali pun ia shalat sepanjang waktu atau bersedekah dengan emas sebesar gunung sampai ia beriman kepada takdir Allah. Hal itu bisa dilihat pada kisah Sababul Irad dari hadits yang disebutkan oleh Imam Muslim diatas.

Kasih Sayang Allah Lebih Besar Dari Kasih Sayang Seorang Ibu

Allah disifati dengan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya tidak ada yang menandingi, ia mengalahkan semua kasih sayang yang pernah ada. Dari Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:

قُدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَّبْيِ قَدْ تَحَلَّبَ ثَدْيُهَا، تَسْعَى، إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ، فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا، وَأَرْضَعَتْهُ. فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟» قُلْنَا: لَا، وَاللَّهِ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ. فَقَالَ: اللَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

 “Telah datang kepada Nabi ﷺ sekelompok tawanan perang. Di antara mereka ada seorang wanita yang sedang mencari bayinya. Ketika ia menemukan seorang bayi di antara para tawanan, ia pun mengambilnya, menempelkannya ke perutnya, lalu menyusuinya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Apakah kalian melihat wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api (neraka)?’ Kami menjawab: ‘Tidak, demi Allah, selama ia mampu untuk tidak melakukannya.’ Beliau ﷺ bersabda: ‘Sungguh, Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini terhadap anaknya.’” (HR. Bukhari: 5999)

Allah Maha Adil Tidak pernah Mezalimi Para Hamba

Allah berfirman:

وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Dan Rabbmu tidak akan pernah menzalimi siapapun juga.” (QS. Al-Kahfi[18]: 49)

Dari Nabi ﷺ , bahwasannya Allah Ta’ala berfirman:

: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا ، فَلَا تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diriKu. Dan aku jadikan kezaliman itu sesuatu yang haram di antara kalian. Maka kalian jangan saling berbuat zalim. (HR. Muslim no. 2577)

Semua Perbuatan Allah Baik

Takdir baik dan takdir buruk adalah dari perspektif makhluk. Namun apabila dilihat dari sisi perbuatan Allah maka semuanya baik. Karena ketetapan Allah berasala dari ilmu, hikmah, kasih sayang dan kebijaksanaan Allah. Dalam salah satu doa iftitah yang terdapat dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ

“Kebaikan itu seluruhnya pada kedua tangan-Mu dan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 771)

Baiknya perbuatan Allah terbagi menjadi 2 yaitu:

  • Baik secara zatnya, seperti Malaikat
  • Baik dari hikmah dibaliknya, yaitu Iblis. Dengan adanya Iblis maka terjadinya ujian keimanan, ada yang berdosa lalu bertaubat, terlihatlah siapa yang benar-benar beriman dengan pura-pura, dst

Kedua hal tadi dalam kaca mata manusia, Malaikat adalah takdir baik sedangkan Iblis adalah takdir buruk

Tawakkal Tidak Menafikan Usaha

Tawakkal adalah salah satu buah keimanan kepada Takdir. Seorang yang bertawakal tetap harus mengambil sebab, tidak boleh meninggalkan usaha. Dari Anas bin Malik, ia menceritakan:

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

Ada seorang lelaki yang bertanya: Wahai Rasulullah apakah aku harus mengikat untaku kemudian bertawakkal atau aku melepaskannya saja kemudian bertawakkal? Beliau menjawab: “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi: 2441)

Memang Allah telah menetapkan kadar rezeki masing-masing, tetapi tetap harus berusaha mencarinya, tidak boleh berpangku tangan, kemudian beralasan dengan takdir. Belajarlah dari burung. Rasulullah ﷺ bersabda:

 لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Andai saja kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya kalian diberi rizki seperti rizkinya burung, pergi dengan perut kosong di pagi hari dan pulang di sore hari dengan perut terisi penuh.” (HR. Tirmidzi: 2433)

Maratibul Qadar

Beriman kepada qadar mencangkup empat tingkatan:

  1. Pertama, ilmu. Yaitu beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara umum maupun secara terperinci, azali dan abadi, Allah mengetahui perjalanan dan keadaan seorang hamba jauh sebelum hamba tersebut diciptakan. Allah berfirman:

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا

Wahai Tuhan kami, Engkau telah meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu.” (QS. Ghafir: 7)

  1. Kedua, penulisan. Yaitu mengimani bahwa Allah telah mencatat semua yang Ia ilmui itu di dalam Lauhul Mahfuz. Rasulullah ﷺ bersabda:

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ القَلَمَ، فَقَالَ: اكْتُبْ. قَالَ: وَمَا أَكْتُبُ يَا رَبِّ؟ قَالَ: اكْتُبِ القَدَرَ، قَالَ: فَجَرَى القَلَمُ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ بِمَا كَانَ وَبِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ.

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Lalu Allah berfirman: Tulislah! Pena itu berkata: Apa yang harus aku tulis, wahai Tuhanku? Allah berfirman: Tulislah takdir. Maka pena itu pun menulis pada saat itu juga segala sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi hingga selama-lamanya.” (HR. Abu Dawud: 4700, Tirmidzi: 3319, Ahmad: 22705)

Rasulullah ﷺ bersabda:

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

“Allah telah mencatat seluruh taqdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim: 2653)

  1. Ketiga, iradah dan masyi’ah (kehendak). Mengimani bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Diantara dalilnya adalah:

وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّه

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi,” kecuali dengan menyebut: “Jika Allah berkehendak.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)

Semua yang dikehendaki Allah pasti terjadi, berbeda halnya dengan kehendak manusia. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:

مَا شِئْتَ كَانَ وَإِنْ لَمْ أَشَأْ وَمَا شِئْتُ إِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَكُنْ

Apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meski aku tidak ingin dan apa yang aku inginkan jika engkau tidak berkehendak pasti tidak akan terjadi. (Fathul Bari: 13/457)

  1. Keempat, penciptaan. Yaitu mengimani bahwa Allah-lah yang menciptakan segala sesuatunya baik dzat, sifat ataupun pergerakannya. Allah berfirman:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dialah memelihara segala sesuatu. (QS. Az-Zumar: 62)

 

Langkah Tepat Menyikapi Takdir

Dari penjabaran sebelumnya dan ditambah dengan hadits Nabi yang akan kita sebutkan, langkah tepat dan bijak menyikapi takdir adalah:

  1. Bersemangat dalam mengejar kebaikan, minta tolong kepada Allah, tidak boleh lemah (optimis)
  2. Jika apa yang kita inginkan tercapai, bersyukur kepada Allah, jangan ujub dan sombong
  3. Jika tidak sesuai maka ucapkan: Qaddarullah wa masyaa faal. Jangan putus asa
  4. Selalu berhusnudzan kepada Allah. Semua takdir Allah pasti baik

Rasulullah ﷺ bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ لَكَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan: “seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu”, tetapi katakanlah: “ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki”, karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan syetan.” (HR. Muslim: 2664)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda,

عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ، إِنَّ اللهَ لاَ يَقْضِي لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ

Aku begitu takjub pada seorang mukmin. Sesungguhnya Allah tidaklah menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan pasti itulah yang terbaik untuknya.” (HR. Ahmad, 3:117. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Allah Ta’ala berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Contoh kasus:

Kita ingin hidup punya keluarga, punya rumah, kendaraan, mudah ibadah (bisa haji, umrah,dan bersedekah), sehat badan. Maka kita pun berusaha sungguh-sungguh, tidak boleh bermalas-malsan namun tidak boleh juga berlebihan, cari pekerjaan yang baik dan halal, tingkatkan kemampuan. Kalau kita mendapatkan apa yang dicita-citakan, bersyukur kepada Allah, semua kemudahan dari Allah, jangan ujub merasa diri lebih dari orang lain, sombong. Jika tidak (kerja sudah sungguh-sungguh, minta tolong dan ibadah kepada Allah namun kenyataannya tidak juga mendapatkan kehidupan yang diinginkan maka jangan putus asa, katakan semua sudah takdir Allah, pasti inilah yang tebaik buat kita.

Lihat:

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !