“Mencapai Suatu Tujuan Dengan Tangan Orang Lain” Bukan Prinsip Seorang Muslim
“Management; mencapai suatu tujuan dengan tangan orang lain,” itu yang sering saya dengar. Artinya, selama apa yang kita inginkan itu bisa diwakilkan dan dilakukan oleh orang lain, maka kita tidak perlu turun tangan langsung. Kenapa kita harus lelah.
Semakin mahir seorang melakukan hal ini, maka semakin bagus kepemimpinannya. Karenanya, para elit dan bos dalam bisnis dan usaha dunia adalah orang-orang yang sangat pandai melakukan hal ini. Dengan duduk santai dirumahnya atau berlibur ke tempat wisata, apa yang dia inginkan bisa tercapai. Karena dia adalah “bos“, tinggal atur dan gaji “anak buah” maka semua selesai.
Sebagian orang kemudian menggunakan management dalam pengertian seperti ini dalam dunia dakwah. Sehingga ada yang merasa “bos“, lalu menggunakan tangan “anak buah” buat mencapai tujuannya. Bahkan, tidak sedikit yang jadi anak buahnya itu adalah para ustadz, guru dan da’i.
Hati kecil berdesir. Lalu saya pun kembali belajar, membaca kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin besar dan teladan umat manusia. Ternyata, beliau adalah betul-betul seorang pemimpin sejati tetapi bukan seorang “bos.”
Dari Aisyah, ia pernah ditanya mengenai apa yang diperbuat oleh Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam ketika di rumahnya. Ia menjawab;
كَانَ يَخِيطُ ثَوْبَهُ وَيَخْصِفُ نَعْلَهُ قَالَتْ وَكَانَ يَعْمَلُ مَا يَعْمَلُ الرِّجَالُ فِي بُيُوتِهِمْ
“Beliau menjahit bajunya, mengesol sandalnya, dan beliau melakukan sebagaimana yang dilakukan para lelaki di rumah mereka.” (HR. Ahmad: 25039)
Dalam riwayat yang lain, Aisyah radhiyallahu anha mengatakan:
كَانَ يَخْصِفُ نَعْلَهُ، وَيَخِيْطُ ثَوْبَهُ، وَيَعْمَلُ بِيَدِهِ كَمَا يَعْمَلُ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ، وَكَانَ بَشَراً مِنَ البَشَرِ يَفْلِي ثَوْبَهُ، وَيَحْلُبُ شَاتَهُ، وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyambung dan menjahit sandalnya, menjahit bajunya, mengerjakan pekerjaan rumah dengan tangannya sendiri sebagaimana salah seorang dari kalian melakukannya dirumah, beliau seperti manusia pada umumnya, membersihkan pakaiannya dan menyelesaikan urusannya sendiri. (Misykah Al-Mashabih: 2/520 dinukil dari Rahiqul Makhtum: 465)
Kalau dipikir, jika beliau mau, tentu mudah saja. Tidak perlu repot, beliau cukup berikan tugas itu kepada salah satu sahabat. Dan kita rasa sahabat pun akan merasa sangat senang melakukannya. Maka semua selesai. Akan tetapi, itu pekerjaan yang bisa dilakukan oleh tangan beliau sendiri kenapa harus diserahkan ke orang lain.
Anas bin Malik radhiyallahu, yang memang diserahkan oleh ibunya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menjadi pelayan beliau, tidak pernah mendapat perlakuan buruk. Karena memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menganggap Anas sebagai “anak buah.”
Anas radhiyallahu anhu mengatakan, “Maka aku pun menjadi pelayan beliau selama sepuluh tahun, selama itu beliau tidak pernah memukul dan mencelaku. Bahkan tidak pernah bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’: 3/398)
Betul-betul pemimpin teladan, sehingga para sahabat beliau pun juga adalah orang-orang yang sangat jauh sekali dari sifat “bos” itu. Auf bin Malik Al Asyja’i, ketika ia dan beberapa orang sahabatnya berba’iat, maka diantara isi baiat itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا
Dan janganlah kalian meminta sesuatupun kepada orang lain.” Auf berkata;
فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ
Aku pernah melihat sebagian dari mereka itu suatu saat cambuknya (cemeti) jatuh, tetapi ia tidak meminta tolong sedikit pun kepada orang lain untuk mengambilkannya.” (HR. Muslim: 1043)
Subhanallah, barulah saya mengerti bahwa “mencapai suatu tujuan dengan tangan orang lain” bukanlah prinsip hidup seorang muslim. Seharusnya prinsip hidup seorang muslim itu adalah “selama masih bisa dilakukan oleh tangan sendiri maka kenapa harus menggunakan tangan orang lain.”
Dalam Islam, apalagi dalam dakwah dan jihad yang merupakan ibadah agung maka tidak ada “bos” dan “anak buah“, yang ada adalah saling tolong menolong dan melengkapi antara satu dengan yang lain. Sebagaimana firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa. (QS. Al-Maidah: 2)
Ibarat sebuah bangunan yang saling mengokohkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari: 481)
Oleh sebab itu, marilah kita belajar dan berusaha untuk mencampakkan jauh-jauh sifat “bos” itu. Tanamlah prinsip tawadhu’, lakukan sendiri apa saja yang kita inginkan jika masih bisa dilakukan sendiri. Jika memang tidak bisa dan kita butuh orang lain maka jangan ragu mengucapkan kata “tolong” karena dia adalah saudara kita bukan anak buah kita.
Baca juga Artikel:
Antara Islam Dan Akhlak Mulia – Silsilah Akhlak
Pondok Jatimurni BB 3 Bekasi, Ahad, 10 Ramadhan 1441H/ 3 Mei 2020 M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
Assalamu’alaykum ustadz, bagaimana jika seorang suami yg ingin mencontoh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu tidak menyuruh2 istri, namun terkadang istri malah tersinggung, karena saya dikira TDK butuh istri, karena semua hal dikerjakan sendiri, tanpa minta bantuan istri, Apakah boleh saya menyuruh2 istri?