DIA LEBIH BAIK DARIKU

Menyadari kadar diri serta mau mengakui kelebihan orang lain adalah akhlak yang tinggi. Tapi, tidak banyak yang mampu melakukannya. Kita masih sulit menerima kenyataan, mulut masih berat untuk mengucapkan; “Dia lebih baik dari diriku, dia lebih faqih, semoga Allah memberkahinya.”

Padahal, salah satu sifat para nabi adalah mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain serta memuliakannya. Tidak malu dengan kekurangan yang ada pada diri mereka. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihi salam, yang memperlihatkan kepada kita akhlak yang mulia ini. Sebagaimana yang dihikayatkan oleh Allah dalam al-Qur’an:

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا

Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku. (QS. Al-Qashash: 34)

Pertanyaannya, apakah Nabi Musa menjadi rendah dengan hal itu?! Jelas tidak, justru hal itu semakin menambah kemualian dirinya. Sehingga benar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Tidaklah seorang bertawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588)

Bandingkan dengan Iblis, yang tidak mau mengakui kelebihan Adam sehingga tidak ayal akhirnya ia pun dengan angkuh mengatakan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad: 76)

Pernyataannya, apakah dengan pernyataannya tersebut kemudian ia menjadi mulia?! Tidak, justru sebaliknya ia bertambah hina dan memalukan.

Berarti kesimpulannya, mau mengakui kedudukan dan kelebihan orang lain adalah akhlaknya para Nabi sedangkan mengingkari dan tak mau mengakui adalah akhlaknya Iblis.

Sekarang tinggal tentukan pilihan kita. Apakah akan meniru para nabi ataukah meniru Iblis. Sebagai seorang muslim yang baik tentu kita akan memilih jalannya para nabi. Oleh sebab itu, jangan malu untuk mengucapkan;  “Dia lebih berilmu dan lebih faqih dariku,” “Dia lebih hafal dan lebih bertakwa,” “Dia lebih baik dari diriku.”

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !