Antara Islam Dan Akhlak Mulia – Silsilah Akhlak

Islam adalah agama yang membawa akhlak mulia. Semua yang ditetapkan oleh Islam adalah akhlak mulia. Oleh karena itu, utusan yang membawa agama ini adalah orang yang paling bagus akhlaknya. Allah berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4)

Bahkan Islam datang untuk menyempurnakan akhlak mulia. Apa-apa yang dikenal baik oleh manusia maka ditetapkan lalu disempurnakan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad: 8595)

Kedudukan Akhlak dalam Islam

1. Tanda kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاقًا ، الْمُوَطَّئُونَ أَكْنَافًا ، الَّذِينَ يَأْلَفُونَ وَيُؤْلَفُونَ ، وَلاَ خَيْرَ فِيمَنْ لا يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, yang mau merendahkan pundaknya. Yaitu orang-orang yang mau bersikap akrab dan mau diajak bersikap akrab. Dan tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mau bersikap akrab dan tidak mau diajak bersikap akrab.” (HR.Thabrani, Mu’jamus Shagir 605)

2. Mencapai derajat orang yang shalat malam.

Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang mukmin akan mencapai derajat orang yang puasa dan orang yang shalat malam dengan kemuliaan akhlaknya.” (HR.Abu Daud 4800)

Mengapa akhlak mulia itu dapat mencapai bahkan bisa melampaui derajat orang yang puasa dan shalat malam? Karena puasa dan shalat malam itu hanya ibadah untuk diri sendiri, kebaikannya hanya didapat dan dirasakan oleh orang yang mengerjakannya. Berbeda dengan akhlak mulia, dia adalah ibadah yang mutaaddi, dimana manfaatnya juga dirasakan oleh orang lain.

3. Kemuliaan seseorang

Manusia adalah salah satu makhluk yang dimuliakan serta diberi nilai lebih dari sekian banyak makhluk Allah yang ada. Allah berfirman:

وَ لَقَدْ كَرَّمْنا بَنِي آدَمَ وَ حَمَلْناهُمْ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْناهُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ وَ فَضَّلْناهُمْ عَلى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنا تَفْضِيلاً

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(QS.Al-Isra’ 70)

Tapi dimanakah nilai lebihnya itu? Jika dari kekuatan tubuh, manusia telah dikalahkan oleh gajah, singa, harimau dan hewan-hewan buas lain. Jika dari keelokan rupa, telah dikalahkan oleh burung merak. Jika dari kekayaan, juga dikalahkan oleh luwak dan burung wallet. Sebab, luwak dengan kotorannya serta burung wallet dengan ludahnya, lebih berharga dari kotoran dan ludahnya manusia.

Nilai seorang manusia terletak pada kepribadian serta sifat-sifat yang ada pada dirinya. Semakin baik akhlak dan kuat kepribadiannya, semakin berharga dia di mata orang lain. Dua puluh ekor kerbau yang sama gemuk, kuat dan kepandainnya, harganya tidak akan jauh berbeda. Akan tetapi, dua puluh orang manusia yang sama tinggi dan beratnya belum tentu sama harganya. Sebab, nilai kerbau ada pada tubuhnya, sedangkan manusia pada pribadinya. (Disadur dari Pribadi Hebat, karya Buya Hamka hlm. 2 dengan penyesuaian)

Makanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya yang terbaik dari kalian adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Bukhari 3559)

4. Orang yang paling dicintai.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai diantara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR.Bukhari 3759)

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Al-Asyaj bin Abdul Qois radhiyallahu anhu:

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ

“Sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang dicintai oleh Allah; santun dan hati-hati (tidak tergesa-gesa).” (HR.Muslim 126)

Beberapa hal penting seputar akhlak

1. Ilmu dan Akhlak

Sering kali kita mendapatkan orang-orang yang mengatakan bahwa akhlak itu lebih utama daripada ilmu. Kemudian mencari pembenaran dengan banyak ucapan para ulama. Seperti ucapan Imam Malik bin Anas rahimahullah kepada seorang pemuda Quraisy:

يا بن أخي، تعلَّمِ الأدب قبل أن تتعلَّمَ العلم

Wahai anak saudaraku, belajarlah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” (Hilyah al-Auliya’: 6/330)

Demikian pula dengan ucapan Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah, yang mengatakan:

طلبت الأدب ثلاثين سنةً, وطلبت العلم عشرين سنةً, وكانوا يطلبون الأدب قبل العلم

Aku menuntut (memelajari) adab selama 30 tahun, dan menuntut ilmu selama 20 tahun. Mereka (para salafush shalih) dahulu mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu. (Ghayatu an-Nihayah: 1/446, dinukil dari artikel alukah.net dengan judul: Ta’allum al-Adab Qabla Ta’allum al-Ilmi)

Kemudian mereka jadikan ini semua untuk pembelaan sekaligus senjata untuk menyerang orang lain. Muncullah ucapan, orang yang beradab meskipun sedikit ilmunya lebih utama daripada yang banyak ilmu tapi tidak punya adab.

Perkataan para ulama ini adalah perkataan yang benar, namun ia menjadi benar apabila dipahami dengan cara yang benar dan ditempatkan pada tempat yang benar pula. Jangan sampai salah memahami atau salah menggunakan, sehingga nanti perkataan yang benar ini tapi yang diinginkan untuk tujuan yang salah.

Belajar adab sebelum belajar ilmu, yang dimaksud dengan ilmu disini oleh para ulama adalah ilmu yang lebih dari batas kewajiban. Artinya ilmu yang yang hukumnya sunnah, seperti pendalaman dalam aqidah, fikih, hadits, tafsir, dst. Sehingga maksud mereka sebelum mendalami sebuah cabang ilmu maka setelah mereka belajar ilmu yang wajib mereka belajar adab dulu.

Jangan dipahami ilmu disini secara mutlak sehingga, tidak perlu belajar aqidah tentang tauhid dan syirik dulu, jangan dulu belajar tentang shalat, puasa, zakat, dst sebelum belajar akhlak dan adab. Coba perhatikan firman Allah tentang orang-orang musyrik Quraisy:

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ لَا يَسْتَوُونَ عِندَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Apakah kalian menjadikan perbuatan memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, sama seperti orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. At-Taubah: 19)

Ayat ini sebagai bantahan buat orang-orang Qurasy yang tidak mau beriman karena mereka merasa memiliki jasa dan berakhlak kepada manusia. Allah sebutkan bahwa itu tidak sama dengan keimanan kepada Allah. Jangan berbangga dengan amalan kalian tersebut, karena keimanan kepada Allah jauh lebih berharga daripada amalan kalin tersebut.

Lebih jelas lagi hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berikut, dari Aisyah radhiyallahu anha dia berkata, aku pernah bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ قَالَ لَا يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ

‘Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an pada masa jahiliyyah selalu bersilaturrahim dan memberi makan orang miskin. Apakah itu memberikan manfaat untuknya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak, sebab dia belum mengucapkan, ‘Rabbku ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan’.” (HR. Muslim: 214)

Lihat hadits ini dan renungkan dengan seksama, Ibnu Jud’an itu adalah orang yang sangat baik dan bagus sekali akhlaknya, dia yang selalu menyambung silaturrahim, memberi makan orang-orang miskin. Tapi itu semua tidak bermanfaat kepadanya sedikitpun karena dia tidak beriman kepada Allah.

Maka dari sini kita tahu bahwa beriman yang merupakan ilmu yang paling utama lebih penting daripada akhlak dan adab kepada orang lain. Dengan kata lain akhlak kepada Allah lebih utama daripada akhlak kepada makhluk. Darimana kita tahu sebuah akhlak yang baik, terutama akhlak kepada Allah jika kita tidak belajar. Oleh sebab itu, jangan lagi mengatakan bahwa adab dulu baru belajar aqidah dan tauhid. Lihat Ibnu Jud’an ini kurang apalagi kebaikan dan kemuliaan akhlaknya, akan tetapi itu sama sekali tidak dianggap karena dia tidak tahu tauhid.

2. Semuanya yang ditetapkan agama itulah akhlak mulia meski dipandang buruk oleh manusia.

Agama kita adalah agama dalil. Semua syari’at dibangun diatas wahyu, bukan di atas akal atau perasaan semata. Demikian pula dalam masalah akhlak. Kita harus mengatakan bahwa semua yang ditetapkan oleh dalil maka itulah akhlaknya yang mulia meski manusia menganggap buruk dan tidak suka.

Sebagai contoh, menutup aurat bagi perempuan yang merupakan perintah Allah melalui firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59)

Atau larangan bercampur baur (ikhtilat) yang banyak dalilnya, diantaranya dari Abu Usaid Al Anshari, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara saat berada di luar masjid, sehingga banyak laki-laki dan perempuan bercampur baur di jalan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada kaum wanita:

اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

“Hendaklah kalian memperlambat dalam berjalan (terakhir), sebab kalian tidak berhak untuk memenuhi jalan. Hendaklah kalian berjalan di pinggiran jalan.” Sehingga ada seorang wanita yang berjalan dengan menempel tembok, hingga bajunya menggantung tembok karena ia mendempel tembok.” (QS. Abu Dawud: 5272)

Maka jika ada seorang yang berjilbab besar tidak mau bercampur baur, maka itulah akhlak yang mulia. Meskipun manusia me ngata-ngatai serta menghukuminya sebagai puritan, orang yang kaku dan tidak bisa berbaur.

3. Belajar akhlak bukan untuk menghukumi orang lain

Belakangan ini, banyak di antara kita yang belajar akhlak dan adab tapi untuk menghukumi orang lain; merendahkan, melecehkan dan meremehkan. Dengan mudah kita mengatakan si fulan kurang akhlaknya, ringan lisan kita mengatakan si fulan begini dan begitu, lancar tangan kita menulis si fulan seperti ini dan itu. Tentu hal seperti ini adalah hal yang sangat keliru, karena kita belajar akhlak bukan untuk itu akan tetapi adalah untuk menjadikan diri kita lebih baik, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. (QS.Al-Maidah: 105)

Belajar akhlak untuk memperbaiki diri kita, menjaga diri dari murka Allah subhanahu wata’ala bukan untuk merendahkan orang lain. Jika kita belajar akhlak namun justru membuat kita dengan mudah menghina dan melecehkan orang lain dengan mengatakan mereka tidak berakhlak maka sesungguhnya kitalah yang tidak berakhlak. Sebab kita telah terjatuh pada kesombongan. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan makna dari sombong dengan sabdanya:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim: 91)

Kita belajar akhlak adalah untuk berubah dari ulat menjadi kupu-kupu. Dari yang sebelumnya membuat gatal setiap tangan yang menyentuh, mebuat jijik setiap mata yang memandang menjadi sesuatu yang indah dan dinantikan, bukan malah sebaliknya.

Oleh karenanya, seharusnya semakin kita belajar akhlak dan adab semakin rendah hati pribadi kita. Semakin mudah memberikan udzur pada orang lain. Semakin bisa menahan lisan dari menyakiti orang lain, melalui komentar atau postingan kita. Bukan malah sebaliknya, seolah kita saja yang berakhlak sedangkan orang lain tidak. Janganlah seperti itu, karena sebagaimana kita suka jika diberi udzur dan dimaafkan oleh orang lain maka orang lain pun juga begitu.

Selesai ditulis di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Kamis 8 Rabi’ul Akhir 1441H/ 5 Desember 2019M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !