Muhasabah Dengan Melihat Kecintaan Kepada Ilmu dan Shalat – Khutbah Jum’at


KHUTBAH PERTAMA

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ. ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ.

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻻَ ﺗَﻤُﻮْﺗُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻣُّﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ.

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِّﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٍ ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟَﻬَﺎ ﻭَﺑَﺚَّ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﺭِﺟَﺎﻻً ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﻧِﺴَﺂﺀً ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗَﺴَﺂﺀَﻟُﻮْﻥَ ﺑِﻪِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺣَﺎﻡَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺭَﻗِﻴْﺒًﺎ.

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻗُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻗَﻮْﻻً ﺳَﺪِﻳْﺪًﺍ. ﻳُﺼْﻠِﺢْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﺫُﻧُﻮْﺑَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻓَﺎﺯَ ﻓَﻮْﺯًﺍ ﻋَﻈِﻴْﻤًﺎ.

ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ؛ ﻓَﺈِﻥَّ ﺃَﺻْﺪَﻕَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻬَﺪﻱِ ﻫَﺪْﻱُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ صَلَّى ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻭَﺷَﺮَّ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤَﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟﺔٍ ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ.

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah…..

Muhasabah yaitu intropeksi terhadap diri sendiri adalah sifat yang mulia, akhlak yang terpuji. Syari’at sangat menganjurkan agar kita senantiasa memuhasabah diri setiap waktu. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)

Orang yang betul-betul cerdas justru adalah orang yang selalu muhasabah dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا، وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ

“Orang yang cerdas adalah orang yang memuhasabah dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi: 2459)

Inilah yang dipahami betul oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu sehingga beliau mengatakan:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا ، وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا ، فَإِنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِي الْحِسَابِ غَدًا ، أَنْ تُحَاسِبُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ

Hisablah diri kalian sebelum nanti kalian dihisab, dan timbanglah diri kalian sebelum nanti kalian ditimbang. Karena sesungguhnya lebih ringan bagi kalian ketika hisab nanti dengan menghisab diri kalian hari ini. (Az-Zuhd Imam Ahmad: 20, disadur dari artikel Islamqa.info dengan judul Ahammiyah at-Tafakkur wa Muhasabah an-Nafs)

Muhasabah diri sendiri bukan menghukumi orang lain

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah…..

Ada hal penting yang harus kita perhatikan. Belakangan ini, banyak di antara kita yang belajar akhlak dan adab tapi untuk menghukumi orang lain, bukannya sebagai bahan muhasabah dirinya namun justru untuk merendahkan, melecehkan dan meremehkan orang lain. Dengan mudah kita mengatakan si fulan begini dan begitu, lancar tangan kita menulis si fulan seperti ini dan itu.

Tentu hal seperti ini adalah hal yang sangat keliru, karena kita belajar akhlak bukan untuk itu akan tetapi adalah untuk menjadikan diri kita lebih baik. Diri kita lebih utama untuk diurusi ketimbang orang lain. Kita muhasabah untuk diri kita sendiri bukan untuk orang lain. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. (QS.Al-Maidah: 105)

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6)

Belajar akhlak untuk memperbaiki diri kita, menjaga diri dari murka Allah subhanahu wata’ala bukan untuk merendahkan orang lain. Jika kita belajar akhlak namun justru membuat kita dengan mudah menghina dan melecehkan orang lain dengan mengatakan mereka tidak berakhlak maka sesungguhnya kitalah yang tidak berakhlak. Sebab kita telah terjatuh pada kesombongan. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan makna dari sombong dengan sabdanya:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim: 91)

Dua barometer untuk muhasabah diri

Sebenarnya banyak sekali yang bisa kita jadikan barometer untuk mengetahui baik atau buruknya kita dalam rangka muhasabah diri. Namun setidaknya, ada dua hal yang dapat kita jadikan tolak ukur utama untuk muhasabah itu, yaitu

Pertama, Kecintaan pada ilmu agama

Salah satu barometer untuk melihat baik atau buruk seorang adalah dengan melihat sejauh mana kemauan dan perhatiannya dalam menuntut ilmu agama. Tapi ingat, sebelum menilai orang lain tentu diri kita lebih berhak untuk dinilai. Baik atau buruknya diri kita terletak pada bagaimana kita berinteraksi dengan ilmu agama. Seberapa besar kecintaan kita pada ilmu agama maka sebesar itu pulalah kebaikan yang ada pada diri kita.

Dari Mu’awiyah radhiallahu‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik niscaya Allah akan memahamkannya terhadap agamanya.” (HR. Bukhari: 17, Muslim: 1037)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika menjelaskan kandungan dari hadits yang mulia ini, mengatakan:

فمن رزق الفقه في الدين على هذا الوجه : فذلك هو الدليل والعلامة على أن الله أراد به خيرا ، ومن حرم ذلك ، وصار مع الجهلة والضالين عن السبيل ، المعرضين عن الفقه في الدين ، وعن تعلم ما أوجب الله عليه ، وعن البصيرة فيما حرم الله عليه : فذلك من الدلائل على أن الله لم يرد به خيرا…… وذلك علامة الهلاك والدمار ، وعلامة فساد القلب وانحرافه عن الهدى

Barangsiapa yang dianugerahi pemahaman terhadap agama sesuai dengan sisi ini maka itu adalah tanda dan alamat bahwa Allah menginginkan kebaikan untuk dirinya. Dan barangsiapa yang terhalangi dari hal itu sehingga ia bersama dengan orang-orang bodoh, tersesat dari jalan yang benar, dan berpaling dari memahami agama, mempelajari apa yang telah diwajibkan Allah atas dirinya, serta berpaling dari ilmu yang berkaitan dengan apa yang diharamkan Allah, maka ini adalah tanda bahwa Allah tidak menginginkan kebaikan untuk dirinya…Dan itulah tanda kebinasaan, malapetaka, serta tanda rusaknya hati dan berpalingnya dari hidayah.” (Majmu Fatawa Ibn Baz: 9/129-130, disadur dari artikel Islamqa.info dengan judul Syarh Hadits Man Yurid Allah bihi Khairan)

Karenanya, para sahabat rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi generasi terbaik, salah satu sebabnya adalah mereka merupakan generasi yang sangat bersemangat menuntut ilmu agama. Inilah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu, ia juga bekerja, punya keluarga dan tanggung jawab, sibuk juga, sebagaimana kita hari ini. Bahkan, lebih sibuk beliau ketimbang kita. Tetapi, beliau berusaha untuk terus belajar. Ia pernah bercerita:

كُنْتُ أَنا وجارٌ لِي مِنَ الأنْصارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بنِ زَيْدٍ، وهْيَ مِنْ عَوالِي المَدِينَةِ، وكُنَّا نَتَناوَبُ النُّزُولَ عَلَى رسولِ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، يَنْزِلُ يَوْماً وأنْزِلُ يَوْماً، فَإذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ اليَوْمِ مِنَ الوَحْي وغَيِرهِ، وإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذلِكَ

Dahulu aku pernah bersama seorang tetanggaku dari kaum Anshar di Bani Umayyah bin Zaid. Sedang bani Umayyah ini berada di pinggir kota Madinah. Kami bergantian berangkat ke majelisnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Satu hari dia dan hari berikutnya aku. Apabila aku yang berangkat, maka aku akan sampaikan kepadanya khabar hari itu berupa wahyu dan yang lainnya. Dan apabila giliran ia yang berangkat, ia pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari: 89)

Oleh sebab itu, jika kita dimudahkan dan diberi kemauan untuk perhatian serta merasa butuh dengan ilmu agama, ringan kaki kita untuk berjalan menuju majelis taklim, maka itu adalah tanda kebaikan dari Allah. Akan tetapi sebaliknya, jika kita merasa tidak butuh dengan ilmu agama karena mungkin mengira apa yang ada saat ini sudah cukup, sehingga malas untuk pergi ke majelis taklim, enggan membaca buku atau tulisan tentang agama, maka itu adalah tanda diri kita ini adalah diri yang buruk, Allah sudah tidak menginginkan kebaikan lagi dari kita, karena kita sendiri yang tidak mau. Segera bertaubat dan perbaiki diri atau tunggulah kebinasaan.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ رب العالمين أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah, diantara barometer untuk muhasabah diri yaitu:

Kedua, shalat

Shalat adalah salah satu tolak ukur untuk menilai baik atau tidak kita. Karena shalat merupakan kewajiban utama bagi setiap muslim dan muslimah. Bagaimana mungkin kita akan baik menunaikan hak yang lain, sedang hak Allah yang paling utama setelah syahadatain saja tidak kita tunaikan dengan baik.

Abu al-‘Aliyah Rufai’ bin Mihran rahimahullah, seorang ulama dan orang shalih dari generasi tabi’in. Jika ia mendengar ada seorang yang alim, maka dia akan mencari dan menemuinya kemudian shalat di belakangnya. Apabila ia melihat orang tersebut tidak sempurna dalam mengerjakan shalat, maka dia akan meninggalkannya seraya berkata dalam hatinya:

إِنَّ الَّذِي يَتَهَاوَنُ فِي صَلَاتِهِ يَكُونُ أَشَدُّ تَهَاوُنًا فِي غَيرِهَا

Sesungguhnya orang yang meremehkan shalatnya, maka dia akan lebih meremehkan perkara yang lain.” (Suwar Min Hayatit Tabi’in: 448)

Karenanya, tanda orang-orang munafik yang difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an, salah satunya adalah mereka shalatnya buruk. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisa’: 142)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya` dan shalat subuh, sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. (HR. Bukhari: 657, Muslim: 651)

Memang demikian, shalat adalah tolak ukur kebaikan seseorang, bahkan tolak ukur keselamatan di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

“Hal pertama yang dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat dari amalannya adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka sungguh ia telah sukses dan selamat. Sebaliknya, apabila rusak maka sungguh ia telah gagal dan merugi.” (HR. Abu Dawud: 864, Tirmidzi: 413, an Nasa’i: 465)

Jika seorang tidak memperhatikan shalatnya tidak ada lagi yang patut ia banggakan.Imam Hasan al Bashri mengatakan:

يَا ابْنَ آدَمَ أَيُّ شَيْءٍ يَعِزُّ عَلَيْكَ مِنْ دِيْنِكَ إِذَا هَانَتْ عَلَيْكَ صَلَاتُكَ وَأَنْتَ أَوَّلُ مَا تُسْأَلُ عَنْهَا يَوْمَ القِيَامَةِ

Wahai anak Adam, apa yang berharga dari agamamu jika shalatmu saja tidak berharga bagimu?!  Padahal, pertanyaan pertama yang akan ditanyakan kepadamu pada hari kiamat nanti adalah shalatmu.” (Al Kabair: 28 cet. Darul Fikr)

Oleh sebab itu, perhatikanlah shalat setiap hari, terutama shalat wajib dan berjama’ah bagi laki-laki. Karena inilah barometer baik buruknya kita. Kita tentu tidak ingin di anggap buruk oleh manusia, terlebih oleh Allah subhanahu wata’ala. Maka dari itu, jika kita telah sadar bahwa selama ini kita sering lalai, lalu kita ingin memperbaiki diri, maka mulailah dengan memperbaiki shalat kita sehari-hari.

Maka inilah dua hal yang bisa kita jadikan muhasabah, barometer untuk mengukur baik atau buruknya kita. Jika kita shalatnya buruk, sering bolong-bolong, jarang berjamaah berarti kita bukan orang yang baik, mari segera perbaiki. Jika kita masih belum tertarik kembali belajar agama; duduk di majelis taklim, mendengarkan kajian Islam, membaca tulisan-tulisan berkaitan dengan agama, maka kita belum orang yang baik, mari segera perbaiki diri.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

ربنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين  وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْن

Baca juga Artikel:

Antara Kita Dan Shalat

Enam Keutamaan Shalat Berjama’ah 

Selesai disusun di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Jum’at 1 Jumadal Ula 1441H/ 27 Desember 2019M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !