BUKAN HANYA GEJALA ALAM (Art.Refleksi Hikmah)

GEMPA, BANJIR DAN LONGSOR

Jika diperhatikan, dalam kurun beberapa bulan terakhir negeri kita dilanda oleh berbagai bencana alam. Silih berganti, saling susul menyusul.

Di awal bulan Februari, banjir dan tanah longsor menjadi topik hangat sehari-hari. Berita nasional dipenuhi dengan laporan mengenai hal ini.

Ya wajar saja, bagaimana tidak jalanan Jakarta yang biasanya penuh sesak dengan kendaraan bermotor sekarang berubah menjadi kolam renang gratis bagi bocah-mocah.

Rumah-rumah warga terendam air, meludeskan isinya. Bahkan ada diantara mereka yang hanya mampu menyelamatkan baju yang melekat di badan.

Jalur Bogor-Sukabumi bertambah jauh dan melelahkan. Kereta yang biasanya mondar mandir tiga kali sehari harus tidur dulu di kandangnya. Pasalnya, jalan yang biasa ia lalui bermasalah. Relnya ada, tapi tergantung tanpa pijakan tanah.

Lantas tanahnya pergi kemana? Tanahnya disuruh turun oleh Rabbnya menimpa rumah warga dan menelan korban jiwa yaitu seorang ibu bersama dengan empat orang anaknya.

Di sisi lain, “Puncak” yang selama ini menjadi destinasi favorit oleh sebagian besar orang terlebih orang-orang kota untuk melebur stress mereka, untuk beberapa hari tidak dapat dikunjungi. Bahkan jalannya ditutup untuk mempercepat proses evakuasi dan perbaikan jalan akibat longsor yang melanda.

Bandara Soekarno-Hatta pun punya cerita. Longsor yang meruntuhkan tembok jalan dan menimpa dua wanita, hingga mereka harus terjebak dalam mobil “Honda”nya selama 12 jam. Qaddarullah, satu dari keduanya akhirnya meninggal dunia.

Ada apa?? Gejala alam?? Memang sebagian besar orang hanya mengaitkan dengan fakor alam semata. Tidak jarang kita mendengar, “Wajar, inikan musim hujan. Tanah menjadi gembur dan mudah runtuh. Apalagi, beberapa pekan sebelumnya digoyang gempa. Ya tentu saja struktur tanah yang sudah labil itu ketika disiram air menjadi mudah amblas.”

JANGAN LUPAKAN

Sebagai seorang mukmin, tidak pantas bagi kita hanya mengaitkan segala musibah dengan kejadian alam semata. Kita mestinya ingat bahwa segala bentuk kerusakan adalah salah satu bentuk teguran Allah kepada umat manusia, akibat dari ulah tangan mereka sendiri. Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41)

Meneladani Rasulullah, beliau tatkala menyaksikan apa yang kita sebut hari ini dengan “kejadian alam” sangat berbeda sikapnya dengan sikap kita.

 عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ »

Abu Musa al-Asy’ari menuturkan: “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau langsung berdiri ketakutan karena khawatir akan terjadi hari kiamat. Hingga beliau pun mendatang masjid kemudian shalat yang lama berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku belum pernah melihat beliau melakukan hal itu dalam shalat apa pun. 

Kemudian beliau bersabda: ‘Sesungguhnya tanda-tanda ini (gerhana) yang dikirimkan Allah tidaklah terjadi kerena kematian atau kelahiran seseorang. Akan tetapi Allah mengirimkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya. Apabila kalian melihatnya maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampunan-Nya.’” (HR. Muslim: 912)

Baiklah, jika kita mengatakan, “Wajar saja, karena kalau gerhana jarang-jarang terjadi.” Tapi, ternyata bukan pada saat itu saja beliau begitu. Dari ‘Aisyah ia menuturkan:

وَكَانَ إِذَا رَأَى غَيْمًا أَوْ رِيحًا عُرِفَ فِي وَجْهِهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْغَيْمَ فَرِحُوا رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الْمَطَرُ وَأَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَ فِي وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ مَا يُؤْمِنِّي (يُؤْمِنُنِي) أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا [هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا[

Rasulullah apabila melihat mendung atau angin kencang terlihat perubahan di wajahnya. Lalu aku pun bertanya; ‘Wahai Rasulullah, jika orang-orang melihat mendung mereka akan begitu girang karena harapan akan turun hujan. Namun, engkau ketika melihatnya malah terlihat perubahan di wajahmu yang menunjukkan ketidaksukaanmu.’ 

Maka Rasulullah pun menjawab; ‘Wahai ‘Aisyah, apa yang bisa membuatku merasa aman dari kemungkinan bisa jadi itu adalah adzab. Telah diadzab suatu kaum dengan angin kencang dan sungguh suatu kaum telah melihat adzabnya namun meraka justru mengatkan, “Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.”’ (HR. Bukhari: 4551, Muslim: 899)

Inilah sikap Rasulullah yang selayaknya kita tiru. Ketika melihat kejadian-kejadian itu segera kaitkan dengan kekuasaan Allah. Jangan mengaitkan dengan faktor alam semata. Karena sesungguhnya alam itu tidak akan melakukan apa-apa kecuali karena mereka diperintahkan oleh Tuhan mereka yaitu Allah ta’ala.

RENUNGKAN

Musibah-musibah yang melanda negeri kita, adalah bahan intropeksi bagi kita semua. Tidaklah akan terjadi sebuah bencana melainkan ada sebab-sebanya.

Sebuah hadits yang diucapkan oleh baginda Rasulullah belasan abad silam, layak untuk kita jadikan bahan muhasabah itu. Beliau bersabda:

 فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَسفٌ ومَسخٌ وقَذفٌ، قَالَ رَجُلٌ مِنَ المُسلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، وَمَتَى ذَلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَينَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الخمرُ

“Pada umat ini akan terjadi tanah longsor, perubahan bentuk, bencana dari langit.” Salah seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kapankah hal itu akan terjadi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Apabila telah (tampak) bermunculan para biduwanita dan alat-alat musik, serta khamr merajalela.” (HR. Tirmidzi: 2212, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2379)

Sekarang kita tinggal jawab sendiri, bagaimana dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah itu; biduwanita, alat musik, khamar?? Adakah?? Sedikit atau banyak??

Oleh sebab itu, jangan salahkan hujan, jangan pojokkan tanah. Mereka tak bersalah, mereka hanya menuruti perintah. Salahkan saja diri kita, karena dari dosa dan kemaksiatan manusialah itu semua bermula.

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !