Zaid Al Khair – Sirah Sahabat
“Alangkah Banyaknya Kebaikanmu, Ya Zaid. Manusia Seperti Apa Engkau Ini?” (Rasulullah ﷺ)
Manusia bagai barang tambang; Mereka yang terbaik pada masa jahiliah adalah mereka yang terbaik pada masa Islam.
Inilah 2 kisah seorang sahabat Rasul yang terkenal. Kisah pertama adalah saat ia masih berada pada masa jahiliah, dan satunya lagi saat ia sudah mengecap indahnya Islam.
Sahabat Rasul ini bernama Zaid Al Khail sebagaimana Rasul memanggilnya setelah ia masuk Islam.
Kisah ia saat Jahiliah dituliskan dalam beberapa buku sastra:
Al Syaibani mengisahkan dari seorang syeikh dari Bani ‘Amir yang berkata: Kami pernah mengalami satu tahun kemarau yang telah membuat tanaman tidak tumbuh dan hewan tidak dapat mengeluarkan susu. Maka ada seorang di antara kami yang membawa keluarganya ke Al Hirah dan meninggalkan mereka di sana. Ia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah aku di sini, hingga aku kembali lagi!”
Kemudian ia bersumpah kepada mereka bahwa ia tidak akan kembali menemui mereka lagi kecuali bila ia sudah mendapatkan uang atau ia mati.
Kemudian ia mempersiapkan bekal dan berangkat seharian penuh. Begitu malam tiba ia mendapati di hadapannya ada sebuah tenda dan dekat tenda tersebut ada seekor kuda yang sedang terikat. Maka ia langsung berujar: “Inilah ghanimah pertama!” dan ia berjalan ke arah kuda tersebut dan melepaskan ikatannya. Begitu ia ingin menungganginya ia mendengar sebuah suara yang memanggilnya: “Tinggalkan kuda itu, dan carilah harta lain untuk di ambil!”
Maka ia pun meninggalkan kuda tadi dan melanjutkan perjalanannya. Kemudian ia berjalan lagi selama 7 hari hingga ia sampai pada sebuah tempat penggembalaan unta. Di sebelah padang tadi terdapat sebuah tenda besar yang padanya ada sebuah kubah yang terbuat dari kulit menandakan kekayaan dan kenikmatan. Maka orang ini berujar dalam hati: “Padang ini pasti ada untanya, dan pasti tenda ini ada pemiliknya.”
Kemudian ia melihat ke dalam tenda –dan saat itu matahari sudah hampir tenggelam- ia melihat ada seorang berusia tua berada di dalam tenda. Maka ia duduk di belakang orang tua itu dan si orang tua tidak merasakan kehadirannya.
Tidak lama kemudian maka tenggelamlah matahari. Lalu datanglah seorang penunggang kuda yang belum pernah terlihat ada penunggang kuda yang lebih besar darinya yang mengenakan sadel begitu tinggi. Di sekelilingnya terdapat dua orang budak yang berjalan di sebelah kanan dan kirinya. Ia membawa kira-kira 100 unta bersamanya. Pada barisan terdepan ada unta pejantan yang begitu besar. Lalu berhentilah unta pejantan tadi dan berhenti juga unta-unta yang lain di sekelilingnya. Sejurus kemudian, penunggang kuda tadi berkata kepada salah seorang budaknya:
“Peraslah susu unta ini –ia menunjuk ke arah seekor unta betina yang gemuk- dan berilah susu tersebut kepada orang tua itu!” Maka budak tadi memeras susu unta sehingga sampai satu bejana penuh. Lalu ia meletakkan susu tersebut di hadapan orang tua tadi lalu mundur ke belakang untuk pamit. Lalu orang tua tadi meminumnya seteguk atau dua teguk, lalu menaruh kembali susu tadi… Maka orang yang menyelinap tadi berkata:
“Lalu aku mengendap ke arahnya dan aku mengambil bejana susu. Aku meminum semua susu yang tersisa.” Lalu budak tadi datang lagi dan mengambil bejana susu. Ia langsung berteriak: “Tuanku, orang tua ini telah meminum susu yang diberikan!” Langsung saja penunggang kuda tadi bergembira dan berkata: “Peraslah susu unta ini –ia menunjuk seekor unta lainnya- dan taruhlah bejana susu di depan orang tua!” Maka budak itupun melaksanakan apa yang diperintahkan. Lalu orang tua tadi meminumnya satu atau dua teguk lalu menaruh kembali bejananya. Akupun mengambilnya lagi dan aku meminum separuhnya. Aku tidak mau meminum semua susu karena khawatir akan membuat curiga si penunggang kuda.
Kemudian si penunggang kuda memerintahkan budaknya yang kedua untuk menyembelih seekor domba. Lalu budak tadi menyembelihnya. Kemudian si penunggang kuda memanggang daging domba tadi dan memberikannya kepada orang tua sehingga ia merasa kenyang. Lalu si penunggang kuda memakan sisa kambing tadi bersama kedua budaknya.
Tidak lama kemudian maka semuanya tertidur dengan begitu lelapnya dengan suara mendengkur.
Pada saat itu aku menuju ke unta jantan tadi dan aku melepaskan ikatannya lalu menungganginya. Unta pejantan itupun bangun dan diikuti oleh semua unta yang lain. Aku berangkat malam itu juga. Begitu siang mulai datang menjelang, aku melihat ke sekeliling penjuru dan aku tidak melihat siapapun yang mengikutiku. Akupun meneruskan perjalanan hingga hari semakin siang.
Kemudian aku menoleh dan aku melihat ada seekor burung elang atau seekor burung yang besar. Ia selalu terbang dekatku hingga aku tersadar bahwa ada seorang penunggang kuda yang sedang duduk di atas kudanya. Ia lalu datang ke arahku sehingga aku mengenalinya bahwa ia adalah pemilik unta-unta ini yang mencari unta miliknya.
Saat itu, aku mengikatkan unta pejantan tadi, dan aku mengeluarkan anak panah dari sarungnya dan aku letakkan pada busurnya. Aku berdiri di depan unta-unta tadi. Lalu si penunggang kuda berhenti dengan jarak sedikit jauh dariku. Ia berkata: “Lepaskan ikatan unta jantanku!” Aku menjawab: “Tidak! Aku telah meninggalkan banyak wanita yang sedang kelaparan di Al Hirah. Aku berjanji kepada mereka bahwa aku tidak akan kembali kepada mereka kecuali bila aku sudah membawa harta atau aku mati.”
Ia menjawab: “Kalau demikian, kau akan mati. Lepaskan ikatan unta itu. Sial kamu!” Aku menjawab: “Aku tidak akan melepaskannya!” Ia berkata: “Celaka kamu. Engkau masih saja berkeras!” Lalu ia berkata: “Tunjukkan kepadaku tali kendali unta –dan pada tali kendali tersebut terdapat tiga ikatan- kemudian ia bertanya kepadaku pada ikatan yang mana aku menginginkan ia mengarahkan anak panahnya. Kemudian aku menunjuk ke arah ikatan yang ada di tengah. Kemudian ia melepaskan anak panahnya, dan ia berhasil memasukkannya ke dalam ikatan tadi seolah ia menaruhnya dengan tangan. Kemudian ia melepaskan anak panahnya ke arah ikatan kedua dan ketiga.
Begitu melihat hal ini, aku menaruh kembali anak panahku ke tempatnya dan aku berdiri seraya menyerah. Lalu ia menghampiriku dan mengambil pedang serta busur panahku. Ia berkata: “Naiklah dibelakangku!” Aku pun ikut naik di belakangnya. Ia bertanya: “Menurutmu apa yang akan aku lakukan kepadamu?”
Aku menjawab: “Aku menduga hal yang paling buruk bakal terjadi padaku.” Ia bertanya: “Mengapa demikian?”
Aku menjawab: “Karena apa yang telah aku lakukan padamu, dan karena aku telah menyusahkanmu dan Allah telah membuatmu dapat menangkapku.”
Ia berkata: “Apakah engkau mengira bahwa aku akan menyiksamu padahal engkau telah minum dan makan bersama bapakku, dan engkau telah membuatnya bersedih pada malam itu?!!”
Begitu aku mendengar nama bapaknya maka aku langsung bertanya: “Apakah engkau adalah Zaid Al Khail?” Ia menjawab: “Benar!” Aku berkata kepadanya: “Kalau demikian, jadilah engkau sebaik-baiknya orang yang menawan!”
Ia menjawab: “Tidak masalah.” Iapun membawa aku ke tempatnya. Ia berkata kepadaku: “Demi Allah, kalau saja unta-unta ini adalah milikku pasti aku berikan ini semua kepadamu. Akan tetapi untaunta ini milik saudariku. Tinggalah bersama kami selama beberapa hari! Sebab aku sebentar lagi akan ikut perang dan bisa jadi aku pulang dengan membawa ghanimah.”
Hanya tiga hari setelah itu, ia pergi berperang melawan Bani Numair. Dan ia mendapatkan ghanimah hampir mencapai 100 unta dan ia memberikannya kepadaku. Ia pun mengutus beberapa orang untuk melindungiku hingga tiba di Al Hirah.
❀•◎•❀
Itulah cerita Zaid al Khail saat ia masih dalam masa jahiliah. Sedangkan kisahnya saat ia masuk Islam tercantum dalam kitab-kitab sirah sebagai berikut:
Begitu telinga Zaid Al Khail mendengar kisah Nabi ﷺ, ia langsung menyiapkan kendaraannya. Ia juga mengajak beberapa orang pembesar kaumnya untuk datang ke Yatsrib dan menjumpai Nabi ﷺ.
Maka berangkatlah ia bersama dengan rombongan yang banyak yang terdiri dari Zur bin Sadus, Malik bin Jubair, Amir bin Juwain dan lainnya. Begitu mereka sampai di Madinah, mereka menuju ke Masjid Nabawi dan memberhentikan unta mereka di depan pintu masjid.
Saat mereka masuk, Rasulullah ﷺ sedang berkhutbah di hadapan kaum muslimin dari atas mimbar. Pembicaraan Rasul saat itu memukau mereka. Dan mereka merasa takjub dengan sikap kaum muslimin yang begitu patuh dengan Beliau. Mereka begitu mendengarkan, dan menyerap apa yang Beliau sabdakan.
Saat Rasulullah ﷺ melihat keberadaan mereka, maka Rasul bersabda sambil berkhutbah kepada kaum muslimin:
أَنِّي خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ الْعُزّى وَمِنْ كُلِّ مَا تَعْبُدُونَ . . . . . إني خير لَكُمْ مِنْ الْجَمَلِ الْأَسْوَدِ الَّذِي تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Aku lebih baik bagi kalian daripada Uzza dan dari setiap hal yang kalian sembah… Aku lebih baik bagi kalian dari pada unta hitam yang pernah kalian sembah selain Allah!”
❀•◎•❀
Ucapan Rasulullah ﷺ telah meresap ke dalam diri Zaid al Khail dan rombongannya; ada sebagian dari mereka yang menerima kebenaran ini dan ada sebagian lagi yang berpaling dari kebenaran dengan amat sombongnya.
Sebagian berada di surga dan sebagian lagi di neraka.
Sedangkan Zur bin Saduds begitu ia hampir saja melihat Rasulullah ﷺ yang sedang berada dalam posisinya yang amat bagus dan menyentuh setiap hati yang beriman dan terlihat oleh mata yang jatuh cinta. Hampir saja ia berimah hingga kedengkian merasuki hatinya dan rasa takut memenuhi sanubarinya. Ia lalu berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya: “Aku kini melihat seorang manusia yang akan menundukkan leher semua bangsa Arab. Demi Allah, aku tidak akan pernah membiarkan dia menundukkan leherku!” Lalu ia berangkat ke negeri Syam, mencukur rambutnya dan masuk ke dalam agama Nashrani.
Sedangkan Zaid dan manusia yang tersisa lain lagi ceritanya. Begitu Rasulullah ﷺ mengakhiri khutbahnya, ia langsung berdiri di antara kumpulan muslimin –dia adalah orang yang paling tampan, berakhlak baik dan paling tinggi-sehingga meski ia berada di atas kuda maka kakinya akan menyentuh tanah seolah ia hanya mengendari seekor keledai saja.
Ia berdiri dengan postur yang tegap dan berbicara dengan suara lantang: “Ya Muhammad, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah!” Rasul ﷺ membalas dengan pertanyaan: “Siapakah engkau?”
Ia menjawab: “Saya adalah Zaid Al Khail bin Muhalhil.” Rasul langsung bersabda: “Engkau adalah Zaid al Khair bukan Zaid al Khail. Segala puji bagi Allah Yang telah membawamu dari perjalanan yang menyusuri pantai dan pegunungan, dan Yang telah membuat hatimu luluh menerima Islam.”
Sejak itu, ia dikenal dengan sebutan Zaid Al Khair.
Kemudian ia mengikuti Rasulullah ﷺ ke rumah Beliau disertai dengan Umar bin Khattab dan beberapa orang sahabat lainnya. Begitu sampai di rumah Beliau, Rasulullah ﷺ membentangkan bangku sandaran buat Zaid. Zaid merasa segan dan menolak bangku sandaran tersebut. Rasul Saw terus saja mempersilahkannya dan Zaid masih saja menolak sebanyak tiga kali.
Setelah lama majlis tersebut berlangsung, Rasulullah bersabda kepada Zaid Al Khair: “Ya Zaid, Tidak ada orang yang diceritakan kepadaku kemudian aku melihatnya kecuali ia tidak sesuai dengan apa yang diceritakan kepadaku kecuali kamu.”
Lalu Rasul bertanya kepada Zaid: “Bagaimana engkau bisa demikian, Ya Zaid?”
Zaid menjawab: “Aku selalu mencintai kebaikan dan orang yang melaksanakannya. Jika aku mengerti akan kebaikan maka aku akan meyakini pahalanya. Jika aku tidak sempat melakukan kebaikan itu, maka aku akan merindukannya.”
Rasulullah ﷺ lalu bersabda: “Inilah tanda Allah bagi siapa saja yang Ia inginkan.”
Zaid al Khair lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan aku sesuai dengan kehendak-Nya dan kehendak Rasul-Nya.”
Ia lalu menoleh ke arah Nabi ﷺ sambil berkata: “Kirimkan kepadaku wahai Rasulullah 300 orang penunggang kuda. Aku jamin bahwa aku akan menyerang negeri Romawi bersama mereka dan aku akan mengalahkannya.” Maka Rasul ﷺ lalu membesarkan semangatnya ini dengan sabdanya: “Betapa banyak kebaikanmu, ya Zaid. Manusia seperti apa kau ini?”
Kemudian semua orang yang menemani Zaid dari kaumnya menyatakan diri masuk Islam. Saat Zaid hendak kembali bersama rombongannya menuju kampung mereka di Najd, Rasulullah ﷺ melepas mereka dengan bersabda:“Manusia seperti apa ini?! Betapa ia amat penting kalau saja ia selamat dari wabah di Madinah!!”
Madinah Al Munawarah pada saat itu sedang mendapat wabah demam. Begitu Zaid Al Khair meninggalkan Madinah maka ia terserang demam. Ia pun berkata kepada rombongannya: “Jauhkan aku dari negeri Qais, karena di antara kami ada dendam sejak masa jahiliah. Demi Allah aku tidak akan berperang melawan seorang muslim sehingga aku berjumpa dengan Allah.
❀•◎•❀
Zaid Al Khair meneruskan perjalanannya menuju kampungnya di Najd meski serangan demam terus menggila pada dirinya dari waktu ke waktu; Ia berharap ia dapat berjumpa lagi dengan kaumnya dan agar Allah menetapkan keislaman pada mereka lewat dakwahnya.
Tinggi cita-cita mulia yang hendak ia capai, namun belum juga ia dapat mewujudkannya, ia sudah terlebih dahulu menghembuskan nafasnya yang terakhir di tengah perjalanan. Sejak ia masuk Islam hingga ia wafat tidak ada kesempatan yang ia pergunakan hingga terjerumus dalam perbuatan dosa.
Untuk merujuk lebih jauh tentang profil Zaid Al Khair silahkan melihat:
- Al Ishabah 1/572 atau terjemah 2941
- Al Isti’ab dengan Hamisy Al Ishabah: 1/563
- Al Aghany: (Lihat Daftar Isi)
- Tahdzib Ibnu Asakir: (Lihat Daftar Isi)
- Simthul La’i: (Lihat Daftar Isi)
- Khazanatul Adab karya Al Baghdady: 2/448
- Dzailul Madzil: 33
- Tsimarul Qulub: 78
- As Syi’rus Syua’ra: 95
- Hilliyatul Auliya: 1/376
- Husnus Shahabah: 248
Baca juga Artikel:
Abdullah Bin Mas’ud – Sirah Sahabat
Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah – Sirah Sahabat
Disalin dari Kitab Suwar min Hayati Ash-Shahabah Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya, Edisi Indonesia Kisah Heroik 65 Orang Sahabat Nabi, disebar luaskan oleh Kaunee.com
Diposting oleh Maribaraja.Com pada Kamis, 26 Jumadal Akhir 1441H/ 20 Februari 2019M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom