Ushul Tsalatsah – Empat Kandungan Surat Al-‘Ashr

Pada pembahasan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membicarakan empat kandungan surat Al-‘Ashr yang mana keempatnya ini merupakan hal yang wajib diketahui serta dijadikan prinsip hidup bagi setiap muslim dan muslimah. Beliau rahimahullah mengatakan:

❀•◎•❀

اعلم رحمك الله ، أنه يجب علينا تعلم أربع مسائل ؛ الأولى العلم وهو معرفة الله ، ومعرفة نبيه ، ومعرفة دين الإسلام بالأدلة . الثانية العمل به . الثالثة الدعوة إليه . الرابعة الصبر على الأذى فيه . والدليل قوله تعالى : وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ

قال الشافعي رحمه الله لو ما أنرل الله حجة على خلقه إلا هذه السورة لكفتهم. وقال البخاري رحمه الله : باب العلم قبل القول والعمل والدليل قوله تعالى : (فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ ) فبدأ بالعلم قبل القول والعمل

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mempelajari empat permasalahan yaitu: Pertama, ilmu yaitu mengenal Allah, Nabi-Nya dan agama Islam dengan dalil-dalilnya. Kedua, mengamalkan ilmu. Ketiga, mendakwahkannya. Keempat, sabar atas cobaan didalamnya. Dalil dari hal ini adalah firman Allah ta’ala:

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah kepada makhluknya kecuali hanya surat ini saja maka niscaya sudah mencukupi mereka.”

Imam Bukhari rahimahullah berkata: “Bab Berilmu sebelum berucap dan beramal, dalilnya adalah firman Allah: Ketahuilah, bahwa tiada tuhan yang haq selain Allah maka mintalah ampunan atas dosamu. (QS. Muhammad: 19). Di dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah untuk berilmu dahulu sebelum berucap dan berbuat.”

❀•◎•❀

Empat hal yang beliau sebutkan merupakan kandungan dari surat Al-‘Ashr, sehingga kita bisa memahami bahwa apa yang beliau kemukakan bukanlah dari pikiran beliau semata, tetapi dibangun di atas dalil. Seorang wajib mengenatahui hal ini sehingga ia bisa mengamalkannya dan menjadikannya prinsip hidup.

Empat hal ini harus dilakukan secara berurutan. Tidak diperkenankan bagi seorang untuk beramal sebelum ia berilmu, dan tidak diperkenankan mendakwahkannya sebelum berilmu dan mengamalkannya. Allah berfirman mencela sekaligus memberikan ancaman kepada orang yang berkata atas sesuatu yang tidak dia kerjakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. ASH-Shaf: 2-3)

Dan begitu seterusnya. Empat kandungan surat Al-‘Ashr tersebut yaitu:

Pertama, ilmu

Hal ini diambil dari firman Allah: illalladzina amanu (kecuali mereka yang beriman), sebab iman tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu. Dan ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu agama. Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:

المراد بالعلم هنا هو العلم شرعي ، لأنه هو الذي يجب تعلمه

“Yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu syar’i, karena inilah ilmu yang wajib hukum mempelajarinya.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah: 11)

Ilmu inilah yang bernilai ibadah secara asalnya. Berbeda dengan ilmu dunia, yang hanya akan menjadi ibadah apabila diniatkan untuk wasilah menuju dan membantu agama.

Ilmu syar’i itu sebagaimana penjelasan Syaikh rahimahullah yaitu:

معرفة الله ، ومعرفة نبيه ، ومعرفة دين الإسلام بالأدلة

“Ilmu yaitu mengenal Allah, Nabi-Nya dan agama Islam dengan dalil-dalilnya.”

Dari bagian ini ada dua hal penting yang bisa kita petik:

  1. Hakikat ilmu yang terpuji yaitu ilmu yang bisa menjadikan kita mengenal Allah, Nabinya dan agama. Sehingga kita tahu apa saja kewajiban-kewajiban yang mesti kita lakukan. Oleh karena itu, jika sebuah ilmu tidak dapat mengantarkan kita untuk mengenal Allah maka harus ditinggalkan.
  2. Ilmu agama itu harus dibangun diatas dalil. Tidak boleh hanya mengikuti hawa nafsu, perasaan dan adat kebiasaan manusia atau taklid. Dan inti dari dalil itu adalah Al-Qu’ran dan Sunnah, karenanya Nabi bersabda:

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama masih berpegang pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dalam al-Muaththa’ no. 3338 dihasankan oleh al-Albani dalam Misykah al-Mashabih: 186)

Imam Ibnul Qayyim (w.751H) rahimahullah mengatakan dalam kitab Al-Kafiyah Asy-Syafiyah:

العلم قال الله قال رسوله  –  قال الصحابة هم أولو العرفان

ما العلم نصبك للخلاف سفاهة  –  بين الرسول وبين رأي فلان

Ilmu itu adalah ucapan Allah (Al-Qur’an), ucapan Rasul-Nya (Hadits) dan ucapan para sahabat yang mereka adalah pemilik pengetahuan. Tidak disebut ilmu sesuatu yang menjadikanmu mempertentangkan secara kurang ajar antara Rasul dan pendapat si-fulan. (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah Al-Fauzan: 17)

Kedua, beramal

Setelah berilmu maka wajib untuk diamalkan. Hal ini diambil dari firman Allah: wa amilush shalihat (dan mereka beramal shalih).

Sangat pentingnya mengamalkan ilmu karena yang akan ditanya oleh Allah nanti di hari kiamat adalah apa yang telah diamalkan dari ilmu-ilmu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ

“Tidaklah kedua telapak kaki seorang hamba – melangkah – di sisi Allah pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai lima perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dihabiskannya; (2) masa mudanya, digunakan untuk apa; (3) hartanya, dari mana ia mendapatkannya, dan (4) untuk apa ia membelanjakannya; dan (5) apa yang telah ia amalkan dari apa yang dia ketahui (ilmunya)?” (HR. Tirmidzi; shahih: ash-Shahihah: 946, at-Ta’liq ar Raghib 1/76, dan ar-Raudh an-Nadhir: 648)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

‏العِلْمُ وَالعَمَلُ تَوْأَمَانِ أمُّهُمَا عُلُوُّ الهِمَّةِ، وَالجَهْلُ وَالبِطَالَةُ تَوْأَمَانِ أمُّهُمَا إِيْثَارُ الكَسْل

Ilmu dan amal adalah dua anak kembar, ibunya adalah semangat yang tinggi. Kebodohan dan pengangguran adalah dua anak kembar pula, ibunya adalah menuruti kemalasan. (Bada’iul Fawaid: 3/747)

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan:

“Ilmu tanpa amal justru menjadi bumerang yang mencelakakan seorang. Ilmu dikatakan ilmu bermanfaat apabila diiringi dengan amal. Adapun siapa yang berilmu namun tidak beramal maka termasuk golongan yang dimurkai karena ia sebenarnya mengetahui kebenaran namun ia tinggalkan dalam keadaan sadar. Seorang penyair mengatakan:

وَعَالِمٌ بِعِلْمِهِ لَمْ يَعْمَلَنْ    مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ عُبَّادِ الوَثَنِ

Seorang alim yang tidak tidak mengamalkan ilmunya akan diadzab sebelum para penyembah berhala.

Hal ini disebutkan di dalam hadits yang mulia yaitu:

 إِنَّ مِنْ أَوَّلِ مَنْ تُسَعَّرُ بِهِمْ النَّارُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ

Sesungguhnya diantara orang yang pertama dinyalakan api neraka dengan mereka di hari kiamat nanti adalah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.  (HR. Tirmidzi: 2382)

Ilmu harus bergandengan dengan amal. Amal adalah buah dari ilmu maka ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah: 17-18)

Ketiga, mendakwahkan

Tidak cukup seorang itu hanya berilmu kemudian beramal hanya untuk dirinya saja, dia harus mendakwahkan sesuai dengan kadar ilmu yang dia miliki. Hal ini diambil dari firman Allah: wa tawashaw bil haqq (saling berwasiat dengan kebenaran).

Seorang muslim yang baik adalah mereka yang mau menebar kebaikan, Allah berfirman:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)

Berilmu dan beramal kemudian mendakwahkannya itulah amalan yang dicontohkan Nabi, sehingga dakwah itu benar-benar dibangun diatas ilmu. Allah berfirman:

 قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108)

Keempat, sabar

Setelah dari tiga hal sebelumnya maka seorang muslim itu harus memiliki sifat sabar, hal ini diambil dari firman Allah: wa tawashaw bish shabr (saling berwasiat dengan kesabaran).

Apalagi dia menjadi seorang penyeru kebaikan yang tidak mungkin menghindari gangguan dan cobaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan:

“Hendaknya seorang da’i senantiasa bersemangat dalam mendakwahkan agama Allah meski disakiti. Karena menyakiti para da’i yang mengajak manusia pada kebaikan adalah tabiat dasar manusia kecuali mereka yang diberi petunjuk oleh Allah. Allah berfirman:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُوا۟ عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا۟ وَأُوذُوا۟ حَتَّىٰٓ أَتَىٰهُمْ نَصْرُنَا

Dan sesungguhnya rasul-rasul sebelum engkau (Muhammad) pun telah didustakan, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. (QS. Al-An’am: 34)

Semakin kuat gangguan itu maka semakin dekat pertolongan. Dan pertolongan Allah tidak hanya dalam bentuk Allah menolong seorang ketika dia masih hidup sehingga ia dapat melihat hasil dari dakwahnya, akan tetapi pertolongan terkadang datang setelah ia meninggal dunia, dengan cara Allah menjadikan hati manusia mau menerima apa yang telah ia dakwahkan, mereka mau mengambil dan berpegang teguh dengannya. Ini juga merupakan bentuk pertolongan Allah kepada seorang da’i meskipun ia telah meninggal dunia.

Maka wajib bagi seorang da’i untuk sabar dan senantiasa terus berdakwah. Sabar dengan apa yang ia dakwahkan dari agama Allah, sabar dari semua yang merintangi dakwahnya, sabar dari semua yang menyakiti dirinya. Inilah para rasul yang mana mereka disakiti dengan ucapan dan perbuatan, Allah berfirman:

كَذَٰلِكَ مَآ أَتَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا۟ سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ

Demikianlah setiap kali seorang rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, “Dia itu pesihir atau orang gila.” (QS. Adz-Dzariyat: 52)

Allah juga berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا مِّنَ ٱلْمُجْرِمِينَ

Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa. (QS. Al-Furqan: 31)

Akan tetapi, wajib bagi seorang da’i untuk menghadapi semua itu dengan kesabaran. Perhatikanlah firman Allah kepada Rasul-Nya shallahu alaihi wasallam:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ تَنزِيلًا

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu (Muhammad) secara berangsur-angsur. (QS. Al-Insan: 23)

Yang ditunggu-tunggu dari lanjutan ayat ini adalah dikatakan, “Maka syukurilah nikmat Tuhanmu,” akan tetapi Allah justru berfirman:

فَٱصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ

Maka bersabarlah untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu. (QS. Al-Insan: 24)

Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwasanya setiap orang yang mengamalkan Al-Qur’an maka pasti akan memperoleh hal-hal yang membutuhkan kesabaran. Lihatlah keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika beliau dipukul (dilempari) oleh kaumnya hingga melukainya, dalam keadaan beliau mengusap darah dari wajahnya beliau berdo’a:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka wajib bagi seorang da’i untuk menjadi orang yang sabar dan mengharapkan pahala dari Tuhannya. (Syarh Tsalatsatil Ushul: 24-25)

Itulah empat hal dari kandungan surat Al-‘Ashr yang wajib diketahui dan dilalui oleh setiap insan jika ingin selamat dari kerugian akhirat (neraka). Wallahu a’lam

 

Baca juga Artikel:

Memulai Dengan Mengucapkan Basmalah

Mengenal Kitab Ushul Tsalatsah dan Urgensi Pembahasannya

Biografi Singkat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Selesai disusun di Maktabah Az-Zahiriy Jatimurni, Selasa 24 Syawwal 1441H/ 16 Juni 2020 M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda  di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !