KITABUT TAUHID BAB 46 – Penggunaan Gelar Qadhi Qudhat dan Semisalnya
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاَكِ، لاَ مَالِكَ إِلاَّ اللهُ – قال سفيان: مثل شَاهَانْ شَاه- وفي رواية: أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ
“Sesungguhnya nama (gelar) yang paling hina di sisi Allah adalah “Rajanya para raja”, tiada raja yang memiliki kekuasaan mutlak kecuali Allah” – Sufyan mengemukakan contoh dengan berkata: “seperti gelar Syahan Syah” – dan dalam riwayat yang lain dikatakan: “Dia adalah orang yang paling dimurkai dan paling jahat di sisi Allah pada hari kiamat.”
Kandungan bab ini:
1. Larangan menggunakan gelar “Rajanya para raja”
2. Larangan menggunakan gelar lain yang sejenis dengan gelar di atas, seperti contoh yang dikemukakan oleh Sufyan “Syahan Syah”
3. Hal itu dilarang, [karena ada penyetaraan antara hamba dengan Khaliqnya] meskipun hatinya tidak bermaksud demikian.
4. Larangan ini tidak lain hanyalah untuk mengagungkan Allah.
==================================
Muhasabah bab
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Bab ini menjelaskan bahwa menamai diri dengan nama yang mengandung unsur menyekutukan Allah dalam pengagungan adalah sebuah bentuk kesyirikan dalam rububiyah.” (Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid: 343)
Perincian hukum Qadhi Qudhat
Hukum menggunakan gelar Qadhi Qudhat (hakim dari para hakim) terbagi menjadi dua:
Pertama, haram termasuk kesyirikan apabila secara muthlaq.
Kedua, boleh tapi lebih baik ditinggalkan apabila secara muqayyad, yaitu dibatasi dengan waktu atau tempat. Seperti ucapan Qadhi Qudhatnya Indonesia, dll.
Disebutkan dalam kitab Al-Manahi Al-Lafzhiyyah hlm. 60 : Terkadang ada seorang yang bekerja sebagai seorang qadhi, karena keadilannya sampai-sampai dia dijadikan matsal (permisalan), dan orang-orang pun memuthlakkan sebutan Qadhi Qudhat kepadanya, maka hal ini dengan penyifatan seperti ini tidak boleh. Karena Qadhi Qudhat dengan makna yang umum dan menyeluruh ini tidak pantas kecuali untuk Allah saja. Barangsiapa yang menamai dirinya dengan ini maka ia telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah dalam hal yang tidak ada yang berhak kecuali Allah. Allah-lah Qadhi dari semua qadhi, dan Allah-lah Al-Hakam yang semua hukum kembali kepada-Nya.
Apabila dibatasi dengan waktu atau tempat maka hukumnya boleh. Akan tetapi, yang lebih utama tidak melakukannya. Karena terkadang hal itu mengantarkan kepada sifat ujub dengan diri sendiri dan sombong sehingga ia tidak mau menerima kebenaran jika menyelisihi ucapannya. Yang dibolehkan hanya yang seperti ini, karena qadha Allah tidak terbatasi, sehingga tidak ada unsur penyekutuan terhadap Allah, contohnya seperti Qadhi Qudhat Irak, atau Qadhi Qudhat Syam, Qadhi Qudhat di zamannya.
Dinukil dari tulisan At-Tasmiyah bi qadhi al-Qudhat
Idhafah ke kata ad-din dan al-Islam
Nama atau gelar yang mengandung tazkiyah kepada diri sendiri adalh hal yang terlarang. Karena Allah berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An-Najm: 32)
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah mengatakan: “Dimakruhkan memberi nama dengan setiap kata, mashdar, atau shifat musyabbahah yang kemudian di-idhafahkan (disandarkan) kepada kata ad-Din atau al-Islam, seperti Nuruddin, Dhia’uddin, NurulIslam, karena keagungan dua kata ini; ad-din dan al-islam. Penyandaran kepada keduanya dari satu sisi untuk penamaan mengandung klaim yang tidak benar dan dekat kepada dusta. Oleh sebab itu, sebagian ulama menegaskan tentang keharamannya meski mayoritas mereka mengatakan hukumnya makruh, karena dalam hal itu terdapat makna yang tidak benar dari makna yang tidak boleh dimuthlakkan. Pada awalnya, hal ini hanyalah gelar tambahan dari nama asli namun kemudian digunakan sebagai nama. Dan terkadang nama tersebut terlarang dari dua sisi seperti Syihabuddin, karena syihab artinya lidah api, kemudian disandarkan kepada kata ad-din. Dahulu Imam Nawawi rahimahullah membeci penggelaran beliau dengan Muhyiddin, demikian pula dengan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah membenci penggelaran beliau dengan Taqiyuddin dan beliau berkata Akan tetapi keluargaku menggelariku dengan itu lalu kemudian terkenal.” (Mughni al-Murid: 2746-2747)
Bahaya ujub
Ujub adalah sifat yang membinasakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri” (HR at-Thobroni dalam Al-Awshoth no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1802).
Dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu, bahwa seorang laki-laki disebut-sebut disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu laki-laki lain memuji kebaikan laki-laki tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ
“Celaka kamu, kamu telah memenggal leher saudaramu.” (HR. Bukhari: 6061, Muslim: 3000)
Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, beliau pernah berkata:
المَدْحُ الذَّبْحُ
“Pujian itu adalah penyembelihan.” (Kitab Az-Zuhd Li Imam Ahmad: 97)
Islam adalah agama washath sehingga tidak boleh ghuluw dalam penamaan
Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan bahwa Islam itu adalah agama yang wasath yaitu pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan), Allah berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu. (QS. Al-Baqarah: 143)
Semua syari’at baik i’tiqad (keyakinan), ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini. Dalam masalah keyakinan, misal keyakinan terhadap Isa bin Maryam maka Islam menyatakan
وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya. (HR. Bukhari: 3435)
Hal ini untuk membantah orang-orang Nasrani dan Yahudi. Sekaligus menunjukkan sifat pertengahannya agama Islam dari keduanya. Kata ‘abduhu (hamba-Nya) sebagai bantahan kepada Nashrani bersifat ghuluw sehingga menuhankan Nabi Isa. Sedangkan kata rasuluhu (Rasul-Nya) sebagai bantahan kepada Yahudi yang meremehkan sehingga mereka mengatakan Isa adalah anak pelacur.
Dalam masalah ibadah seperti shalat misalnya, dari Aisyah radhiallahu anha, ia menuturkan:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي امْرَأَةٌ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ امْرَأَةٌ لَا تَنَامُ تُصَلِّي قَالَ عَلَيْكُمْ مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumahku, yang saat itu saya bersama dengan seorang wanita. Maka beliau pun bertanya: ‘Siapa wanita ini? ‘ Saya menjawab, ‘Ia adalah seorang wanita yang tidak pernah tidur karena selalu menunaikan shalat sepanjang malam.’ Maka beliau bersabda: ‘Beribadahlah kalian sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Dia tidak akan pernah bosan hingga kalian sendiri yang bosan. Dan amalan agama yang paling dicintai olehNya adalah yang dikerjakan dengan kontinyu oleh pelakunya.’” (HR. Muslim: 785)
Dalam masalah sedekah juga demikian. Ketika Allah menyebutkan tentang Ibadurrahman yaitu hamba pilihan-Nya, maka salah satu sifat mereka adalah :
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqon: 67)
Bahkan dalam hal cinta dan benci pun syari’at mengajarkan untuk bersikap pertengahan Ali bin Abi Thalib mengatakan:
أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا
“Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR. Tirmidzi: 1997)
Barang siapa yang dalam beragama tidak mau bersikap pertengahan maka dia akan celaka. Sebab sifat ghuluw (berlebihan) dan tafrith (meremehkan) adalah dua makar setan. Imam Al-Auza’i mengatakan:
ما من أمرٍ أَمَر الله به، إلا عارَضَه الشيطانُ بخَصْلَتين، لا يُبَالِي أيَّهما أصاب: الغُلُو والتقصير
Tidak ada satu pun perintah Allah kecuali akan dihalangi oleh setan dengan dua sifat, ia tidak peduli mana diantara keduanya yang berhasil yaitu ghuluw dan taqshir (meremehkan). (Al-I’tidal fi At-Tadayyun: 24)
Maka termasuk dalam hal yang dilarang adalah ghuluw dalam penamaan.
Baca juga Artikel:
Gila Pujian Suka Di-Like
Islam Agama Pertengahan (Wasath), Waspadai Sifat Ghuluw dan Tafrith
#semoga bermanfaat, selesai ditulis di rumah mertua tercinta, Jatimurni Bekasi, Kamis 17 Rabi’ul awwal 1441H/ 14 Nov 2019M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja atau dapatkan broadcast artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK