Lima Hikmah Dan Pelajaran Dari Musibah Banjir

Orang cerdas, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan ulul albab, adalah orang yang banyak mengingat Allah serta mampu merenungi berbagai peristiwa kehidupan dunia dan mengambil pelajaran dari semuanya, untuk menyiapkan bekal menyongsong kehidupan setelahnya. Allah berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 190-191)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadits menyebutkan tentang ciri dari seorang yang cerdas sejati, beliau bersabda:

الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا، وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ

“Orang yang cerdas adalah orang yang memuhasabah dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi: 2459)

Musibah banjir yang melanda Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi (Jabodetabek) dan beberapa daerah lain di Indonesia awal bulan Januari ini sebenarnya membawa hikmah dan pelajaran yang sangat banyak bagi kita. Diantaranya:

❀•◎•❀

1. Keagungan kekuasaan Allah

Banjir menujukkan besarnya kekuasaan Allah. Air yang tenang dan menyenangkan bisa menjadi menakutkan bilamana Allah telah memerintahkan. Air itu adalah makhluk Allah yang ta’at dan senantiasa bertasbih kepada-Nya, Allah berfirman:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Isra’: 44)

Dengan mengetahui hakikat ini, maka semakin yakin bahwa hanya agama Allah yang patut kita tempuh. Allah-lah yang berhak kita agungkan dan kita sembah.

Apabila semua makhluk itu padahal mereka memiliki kekuatan luar biasa, diantaranya air ketika ia meluap dan besar, tunduk kepada Allah maka seharusnya manusia sangat pantas untuk lebih tunduk kepada Allah, karena manusia itu lemah dan tidak ada apa-apanya dibanding makhluk Allah yang lain. Allah berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (QS. Ali Imran: 83)

Jika banjir yang ada hari ini sudah cukup membuat kita khawatir lalu bagaimana dengan banjir di zaman Nabi Nuh dahulu. Maka apakah kita tidak takut jika seandainya banjir sekarang berubah menjadi 1000 kali lipat lebih dahsyat?! Karena Allah yang menakdirkan banjir hari ini juga Allah yang menakdirkan banjir di zaman Nabi Nuh itu.

❀•◎•❀

2. Muhasabah

Banjir yang melanda dan merendam semuanya, bahkan ada yang sampai ke atap, hingga kita benar-benar kehilangan makanan dan tempat tinggal. Rumah-rumah hanyut, air bersih terputus. Terpaksa, mengungsi dan harus tidur di tenda-tenda, atau ketempat saudara, kejadian alam sematakah ini?!

Tidak, sekali-kali tidak. Tsunami, gempa bumi, tanah longsor, banjir, dst, adalah tentara Allah subhanahu wata’ala. Mereka tidak butuh undangan, mereka hanya menunggu perintah Tuhan. Lalu buat apakah mereka datang?! Untuk mengingatkan kita semua, dari dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41)

Jangan saling menyalahkan dan melempar tuduhan kepada orang lain. Tidak perlu kita berteriak-teriak bahwa banjir ini karena sifulan dan sifulan yang tidak benar mengatur ini dan itu, atau malah menyalahkan hujan. Cukuplah jadikan pelajaran dan bahan muhasabah diri kita sendiri. Jangan merasa suci dan bersih seolah musibah ini hanya karena sifulan dan sihujan sedangkan kita tidak turut serta dalam hal ini. Apakah kita tidak punya dosa?!

Mari kita renungkan ayat yang mulia, firman Allah subhanahu wata’ala:

ولاَ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. (QS. Al-A’raf: 56)

Sekarang coba tanyakan kepada diri kita masing-masing, kemanakah kita buang kresek makanan, botol air kemasan, setelah kita nikmati? Ketempat sampahkah ataukah tidak? Jika selama ini kita yang kerap kali membuang sampah sembarangan, tidak peduli, kemudian hari ini terjadi banjir yang merendam kita sendiri, apakah pantas dan adil kita salahkan orang lain?!

Jika kita berkelakuan seperti ini yaitu mudah menuduh sebab kesialan itu datang dari pihak-pihak tertentu tanpa mau intropeksi diri sendiri, maka kelakuan kita sama halnya dengan kelakuan Fir’aun dan kaumnya yang mudah menisbatkan kesialan kepada nabi Musa dan orang-orang beriman. Allah berfirman:

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-A’raf: 131)

Oleh sebab itu, banjir yang melanda adalah bahan muhasabah diri kita masing-masing, bukan untuk menyalahkan orang lain, lihat dimana kita berada. Apakah kita ini orang baik yang selalu berusaha memperbaiki, baik memperbaiki hubungan dengan Allah atau hubungan dengan lingkungan, atau malah kitalah yang selama ini merusak tapi kita tidak kunjung sadar. Allah timpakan banjir hendaknya kita intropeksi bukan malah menghina dan menjelekkan pihak-pihak tertentu.

❀•◎•❀

3. Sesuatu yang berlebihan akan memudharatkan

Sebagaimana banjir, karena air yang berlebih memudharatkan, maka segala sesuatu yang berlebihan adalah hal yang tercela, dan pasti memudharatkan. Agama kita melarang sekali sifat berlebihan dalam segala sesuatu termasuk beragama sendiri, sikap berlebih-lebihan itu disebut dengan ghuluw. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُوُّ

“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas)

Karenanya dalam makan dan minum tidak boleh berlebihan, Allah berfirman:

 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31)

Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan bahwa Islam itu adalah agama yang pertengahan antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan), Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah: 143)

Semua syari’at baik i’tiqad, ibadah maupun muamalah dibangun di atas konsep ini. Dalam hal shalat tidak boleh berlebihan. Dari Aisyah radhiallahu anha, ia menuturkan:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي امْرَأَةٌ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ امْرَأَةٌ لَا تَنَامُ تُصَلِّي قَالَ عَلَيْكُمْ مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumahku, yang saat itu saya bersama dengan seorang wanita. Maka beliau pun bertanya: ‘Siapa wanita ini? ‘ Saya menjawab, ‘Ia adalah seorang wanita yang tidak pernah tidur karena selalu menunaikan shalat sepanjang malam.’ Maka beliau bersabda: ‘Beribadahlah kalian sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Dia tidak akan pernah bosan hingga kalian sendiri yang bosan. Dan amalan agama yang paling dicintai olehNya adalah yang dikerjakan dengan kontinyu oleh pelakunya.’” (HR. Muslim: 785)

Dalam masalah sedekah juga demikian. Ketika Allah menyebutkan tentang Ibadurrahman, maka salah satu sifat mereka adalah :

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqon: 67)

Bahkan dalam hal cinta dan benci pun syari’at mengajarkan untuk bersikap pertengahan Ali bin Abi Thalib mengatakan:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR. Tirmidzi: 1997)

Maka pelajaran penting dari banjir, segala sesuatu yang berlebihan pasti memudharatkan. Sehingga dalam beragama dan dalam kehidupan jangan sampai berlebihan.

Jangan berlebihan sehingga keluar dari tuntunan syariat. Jangan berlebihan dalam makan, minum, berpakaian dan bekerja, dst. Karena segala sesuatu yang berlebihan pasti memudharatkan.

❀•◎•❀

4. Simpati buat tetangga dan saudara sesama muslim

Ketika melihat saudara, tetangga, sahabat atau saudara sesama muslim yang tertimpa musibah banjir maka hendaknya semakin bertambah kasih kasih sayang kita antar sesama. Karena sesama muslim itu satu tubuh sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Permisalan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, kasih sayang,  dan rasa simpati mereka seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuhnya merasa sakit maka semuanya akan turut  terjaga semalaman dan merasa panas demam.” (HR. Bukhari: 5665, Muslim: 2586)

Maka dari itu, banjir seharusnya menjadikan kita semakin saling mencintai. Ketika ada saudara kita yang terkena banjir maka disinilah keimanan kita diuji. Jika kita mau bersimpati, membantu, peduli dan turut merasa sedih maka itu adalah tanda keimanan, jika tidak ada maka keimanan kita tengah dalam bahaya. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ أَوْ قَالَ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba beriman hingga dia mencintai untuk tetangganya, atau beliau mengatakan, ‘untuk saudaranya sebagaimana yang ia sukai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari: 13, Muslim: 45)

❀•◎•❀

5. Waktu berkumpul dengan keluarga

Mungkin selama ini sebagian kita terlalu sibuk dengan kegiatan dan pekerjaannya masing-masing sehingga Allah pun dengan hikmahnya menimpakan banjir, agar dengan hal ini semua anggota keluarga berkumpul bersama. Karena berkumpul dengan keluarga itu adalah nikmat.

Betul, berkumpul dengan keluarga besar itu adalah nikmat yang agung. Oleh sebab itulah, ketika Allah menceritakan tentang kebahagiaan nanti di hari kiamat, salah satunya tatkala seorang dapat kembali pada keluarganya. Allah berfirman:

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ ، فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا ، وَيَنقَلِبُ إِلَىٰ أَهْلِهِ مَسْرُورًا

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada keluarganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. (QS. Al-Insyiqaq: 7-9)

Saling bekerjasama menyelamatkan rumah dan barang-barang berharga. Mungkin moment ini hanya dapat dirasakan karena banjir. Ayah dan ibu ada dirumah, kakak dan adik semua datang. Maka nikmatilah takdir Allah ini, karena terkadang kita membenci sesuatu padahal ada hikmah yang sangat besar dibalik itu semua. Allah berfirman:

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216)

Inilah diantara hikmah dari musibah banjir. Hendaknya dapat membuat kita menjadi pribadi yang semakin baik. Ridha terhadap takdir Allah dan tidak berburuk sangka kepada-Nya.

Baca juga Artikel:

Bukan Hanya Gejala Alam

Tiga Hikmah Musibah Bagi Manusia 

Ditulis di Jatimurni Bekasi, Kamis 7 Jumadal Ula 1441H/ 2 Januari 2020M

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !