Menikah, Solusi Kenakalan Remaja?

Hal yang wajib kita ketahui sebagai hamba Allah Ta’ala yang beriman adalah; bahwa Allah Subhanahu wata’ala tidaklah menciptakan penyakit melainkan Dia pasti menyediakan obatnya. (HR. Bukhari: 5/2151)

Allah menguji orang yang beriman dengan beberapa ujian, di antaranya diuji dengan anak dan keluarga. Islam juga satu-satunya agama yang mampu menyelesaikan semua perkara dan semua macam penyakit.

Pada edisi kemarin telah dijelaskan mengenai “Upaya Membendung Kenakalan Remaja”, yaitu dengan menuntut ilmu, beribadah dan pengawasan orang tua terhadap segala gerak-gerik mereka. Tetapi itu semua belum cukup jika mereka memiliki syahwat yang kuat. Perlu ada pengobatan lain untuk menundukkan syahwat mereka, yaitu dengan menikah atau berpuasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari: 4678)

Siapakah yang dikatakan mampu menikah?

Hadits di atas berbunyi ‘Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah’. Siapakah yang dimaksud pemuda yang mampu menikah?
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Mampu di sini maksudnya mampu mengumpuli istri. Ada pula yang menafsirkan memiliki bekal untuk menikah. Tetapi tafsir ini tidak bertentangan dengan tafsir yang pertama, karena kelanjutan hadits, ‘barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaknya dia berpuasa’, karena dengan berpuasa akan terobati penyakitnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menunjukkan mereka kepada obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Kemudian jika dia belum mampu menikah, beliau menunjukkan solusi lain, yaitu dengan berpuasa, karena dengan puasa akan menurunkan syahwatnya.” (Raudhatul Muhibbin: 1/219)

Jadi, makna mampu bukan hanya sekedar mampu syahwatnya, tetapi memiliki biaya hidup untuk kepentingan diri dan istrinya.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Mampu menikah maksudnya mampu memberi nafkah, bukan mampu jima’, karena hadits itu ditujukan kepada orang yang sudah mampu jima’. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan bagi mereka yang belum mampu menikah hendaknya dia berpuasa, karena dengan berpuasa akan meredakan syahwatnya.” (Al-Fatawa al-Kubra: 3/133)

Berdasarkan keterangan tersebut, jelaslah hadits ini ditujukan kepada kaum pria yang mau menikah, karena dia bertanggung jawab atas biaya hidup istrinya. Adapun wanita, mereka tidak masuk dalam hadits ini. Selagi dia punya keinginan menikah, orang tua hendaknya menikahkan putrinya, terutama saat keinginan putrinya untuk menikah menguat, karena kebutuhan hidup wanita akan ditanggung oleh suaminya.

Orang tua hendaknya tidak menghalangi putra dan putrinya yang ingin menikah selagi putranya sudah mampu menikah, demikian pula putrinya telah siap menikah, agar anak tidak jatuh kepada perbuatan keji, yang mengakibatkan kerugian anak dan keluarga.

Adapun menunda pernikahan sebab belum selesai kuliah, kakak belum menikah, adik belum ada yang menanggung biaya sekolahnya, putrinya belum bekerja, dan yang lain sebagainya, ini semua adalah alasan yang tidak didasari hukum Islam, tetapi hanya berdasar hawa nafsu!!. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan semua orang tua agar tidak menelantarkan anaknya, beliau bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

Jika datang kepadamu orang yang kamu senangi agama dan akhlaknya maka nikahkan (putrimu) dengannya. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di permukaan bumi dan terjadi kerusakan.” (HR. at-Tirmidzi: 1005, dihasankan oleh al-Albani)

Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menganjurkan umatnya menikah agar sempurna agama dan ibadahnya, agar terjaga kehormatan dirinya, sehingga mampu menundukkan pandangan mata serta menjaga syahwatnya agar tidak jatuh kepada perbuatan keji.” (Syarh Ibnu Baththal: 7/29)

Puasa, solusi bagi yang belum mampu menikah

Orang yang berpuasa bukan hanya mendapat pahala dari Allah Azza wajalla karena dia melaksanakan rukun Islam dengan ikhlas dan mengikuti sunnah. Manfaat lain yang dapat dirasakan oleh orang yang memiliki syahwat tinggi yang belum mampu menikah adalah akan menurunkan tegangan syahwat yang berlebihan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Puasa bisa dilakukan setiap hari Senin dan Kamis, atau tiga hari di setiap bulan, atau tiga hari setiap pekan, atau lima belas hari untuk setiap bulannya dengan berpuasa Dawud. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bertanya kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiallahu’anhuma,

كَيْفَ تَصُومُ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ قَالَ وَكَيْفَ تَخْتِمُ قَالَ كُلَّ لَيْلَةٍ قَالَ صُمْ فِي كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةً وَاقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْجُمُعَةِ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ أَفْطِرْ يَوْمَيْنِ وَصُمْ يَوْمًا قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ

Bagaimanakah puasamu?” Aku menjawab, “Setiap hari.” Beliau bertanya, “Bagaimana dengan khataman al-Qur`anmu?” Aku menjawab, “Setiap malam.” Akhirnya beliau bersabda, “Berpuasalah tiga hari pada setiap bulannya. Dan bacalah (khatamkanlah) al-Qur`an sekali pada setiap bulan.” Aku katakan, “Aku mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berpuasalah tiga hari dalam sepekan.” Aku berkata, “Aku masih mampu lebih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berbukalah sehari dan berpuasalah sehari.” Aku katakan, “Aku masih mampu lebih.” Beliau mengatakan, “Berpuasalah dengan puasa yang paling utama, puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhari: 4664)

Ibnu Baththal Rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang belum mampu menikah dan takut jatuh kepada perbuatan keji, maka Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menggantinya dengan berpuasa. Sebab puasa dapat meredakan kobaran syahwat, menurunkan ketegangan otot yang membangkitkan syahwat ingin bersetubuh, dan menurut asal (bahasa) al-Wija’ adalah menundukkan dua pelir.” (Syarh Ibnu Baththal: 7/29)

In syaa Allah ibadah yang sangat mulia ini bila dilakukan oleh para pemuda dan pemudi yang belum mampu menikah atau belum mendapat jodoh dengan ikhlas dan mencari pahala serta mengikuti sunnah, tentu remaja kita akan terobati penyakit syahwatnya.

Belum mampu menikah tapi takut zina

Ketika Allah memerintah kita agar menikah ialah bila kita sudah mampu untuk menikah. Jika belum mampu, kita diperintah bersabar, memperbanyak puasa sunnah, sambil berusaha mencari nafkah sampai kita mendapatkan kecukupan. Karena pria yang menikah bukan hanya ingin bersenang-senang dengan istrinya, tetapi hendaknya menafkahi istri dan keluarganya. (Lihat QS. an-Nūr: 33)

Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Barangsiapa tidak punya harta untuk menikah, apakah dianjurkan mencari pinjaman atau berhutang agar segera bisa menikah? Hal ini diperselisihkan oleh para ulama, seperti Imam Ahmad dan yang lainnya.” (Majmu’ Fatawa: 32/6)

Apabila tidak mampu menahan syahwat dan tidak mampu berpuasa, serta jika menunda pernikahan akan terjatuh kepada perbuatan keji, maka segeralah menikah. Dengan bertawakal kepada Allah serta berusaha mencari bantuan orang yang bisa membantunya, dan bersungguh-sungguh mencari nafkah untuk menutup kebutuhannya, In syaa Allah dengan niat yang ikhlas ingin menjaga kehormatan diri dan agamanya, Allah berjanji akan memberi jalan keluar. (Lihat QS. an-Nūr: 32)

Adapun dalil bolehnya kita mencari bantuan untuk menikah karena takut terjatuh kepada perbuatan zina, Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ الْعَفَافَ

“(Ada) tiga orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka: (1) Orang yang berjihad di jalan Allah, (2) Budak mukatab yang ingin membayar kemerdekaannya, dan (3) Orang yang menikah karena ingin memelihara diri (dari perbuatan zina).” (Shahih Ibnu Majah: 2518)

Bahaya menunda pernikahan

Orang yang memiliki syahwat tinggi padahal dia mampu menikah, namun dia malah menunda pernikahannya, tentu berbahaya bagi kesehatannya, pikiran dan syahwatnya. Bahkan akan membahayakan agamanya, terlebih lagi bagi wanita yang tertunda pernikahan karena ketidaktahuan orang tuanya.

Ketika anak sebenarnya sudah mau menikah tetapi orang tua melarangnya karena belum bekerja, belum selesai kuliah, kakaknya belum menikah, menunggu ini dan itu, maka inilah di antara penyebab terbengkalai dan tersiksanya seorang anak, terutama wanita. Dengan hal itu pula putrinya tersebut tidak akan merasa aman dari fitnah lelaki. Ditambah lagi bila melihat usia putrinya sudah terlambat, biasanya akan sulit mendapatkan jodoh seperti teman sebayanya, yang dengan itu tentu akan semakin menyiksanya.

Semoga keterangan ini menjadi perhatian bagi kita orang tua dan agar tahu diri. Coba kita ingat diri kita pada saat remaja, apakah kita bisa memaklumi keinginan putra dan putri kita saat gejolak ingin menikah menguat? Apalagi pada zaman sekarang kemaksiatan sulit dibendung, berbeda dengan masa muda orang tua pada zaman duhulu. Wallahu a’lam…

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc adalah mudir Ma'had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Beliau juga merupakan penasihat sekaligus penulis di Majalah Al-Furqon dan Al-Mawaddah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !