
Cara Menghilangkan Sedih
Tidak berlebihan dalam sedih
Islam tidak melarang sedih dan menangis. Karena kesedihan adalah sunnatullah (takdir kehidupan). Allah berfirman untuk menghibur Rasul-Nya yang tengah berduka selepas perang Uhud:
إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ ۚ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Ali Imran: 140)
Buya Hamka rahimahullah pernah mengatakan:
“Zaman bergilir, ada yang naik dan ada yang jatuh, dunia tiada kekal. Bagi diriku sendiri, di dalam hidup ini akupun datang dan akupun akan pergi. Kehidupan adalah pergiliran di antara senyum dan ratap. Air mata adalah asin; sebab itu dia adalah garam dari penghidupan.” (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar 1/53)
Sedih tidak dilarang, yang dilarang adalah berlebihan dalam kesedihan, termasuk diantaranya niyahah yaitu tangisan yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah. Dalil Nabi ﷺ dan orang shalih bersedih.
Dari Anas bin Malik, ia berkata; Kami bersama Rasulullah ﷺ mendatangi Abu Saif Al Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim ‘alaihissalam (putra Nabi). Lalu Rasulullah ﷺ mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian setelah itu pada kesempatan yang lain kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal. Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah ﷺ berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf kepada Beliau: “Mengapa anda menangis, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang) “. Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda:
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا ، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim sangat bersedih.” (HR. Bukhari: 1220, Muslim: 4279)
Sedih Berlebihan Adalah Makar Setan
Setan memiliki banyak cara untuk menggoda manusia. Salah satu makar yang paling halus adalah menanamkan kesedihan dan penyesalan yang berlebihan dalam hati seorang mukmin. Kesedihan ini muncul ketika seseorang tidak siap menerima takdir, lalu terus berkata “andai saja…”. Karenanya Nabi ﷺ bersabda melarangnya:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ لَكَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan: “seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu”, tetapi katakanlah: “ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki”, karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan syetan.” (HR. Muslim no. 2664)
Syetan tidak mampu memberi mudharat sedikit pun, tetapi ia dapat melemahkan iman dengan membuat hati larut dalam duka, gelisah, dan penyesalan. Karena itu, seorang muslim harus selalu menjaga hatinya dari pikiran negatif, prasangka buruk terhadap Allah, dan bisikan seandainya.
Oleh karena itu, kesedihan yang berlebihan atau larut dalam kesedihan adalah salah satu hal yang kita harus berlindung darinya. Nabi ﷺ bahkan berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ، وَالعَجْزِ وَالكَسَلِ، وَالبُخْلِ وَالجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat kikir dan pengecut, dari lilitan hutang, dan dari tekanan manusia.” (HR. Bukhari: 2893)
Ibnu al-Qayyim berkata:
“Intinya adalah bahwa Nabi ﷺ menjadikan kesedihan sebagai sesuatu yang harus dimintakan perlindungan darinya. Hal itu karena kesedihan melemahkan hati, melemahkan tekad, dan merusak kehendak. Tidak ada sesuatu yang lebih disukai setan daripada kesedihan seorang mukmin, sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا النَّجْوٰى مِنَ الشَّيْطٰنِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَيْسَ بِضَآرِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
‘Sesungguhnya bisik-bisikan itu berasal dari setan agar membuat orang-orang beriman bersedih.’ Maka kesedihan adalah penyakit di antara penyakit-penyakit hati yang menghalanginya dari bangkit, berjalan, dan bersungguh-sungguh.” (Ṭarīq al-Hijratayn (hlm. 279))
Para ulama’ mengatakan bahwa rasa sakit di hati: 1) jika berkaitan dengan masa lalu disebut denga al–huzn (kesedihan). 2) Jika berkaitan dengan hal yang akan terjadi di masa yang akan datang dinamakan al-hamm (kekhawatiran). 3) Jika berkaitan dengan masa sekarang dinamakan al-ghamm (kegundahan). (lihat Fiqh Al-Huzn: 2/2037)
Cara Menghilangkan Sedih
1. Mengingat Allah
Cara utama menghilangkan kesedihan dan kegundahan adalah dengan mengingat Allâh (berdzikir) Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allâh, ketahuilah dengan mengingat Allâh hati menjadi tenang. [QS. Ar-Ra’d/13: 28]
Lihatlah bagaiman Allah memerintahkan kita untuk mengiringi sabar dengan shalat yang merupakan bentuk dan waktu berdoa yang terbaik pada setiap kesulitan yang kita hadapi. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
(QS. Al-Baqarah: 153)
Faidah: Allah memerintahkan menjaga shalat dalam ayat yang terletak diantara ayat-ayat tentang hukum talak. Lihat QS. Al-Baqarah: 238
2. Berdoa
Nabi ﷺ telah mengajarkan sejumlah dzikir yang dianjurkan untuk diamalkan oleh siapa pun yang sedang mengalami kesusahan, kesedihan, atau kegundahan agar semua itu lenyap. Dzikir-dzikir ini terdapat dalam kitab-kitab hadits para ulama. Berikut beberapa doa sahih yang dianjurkan dibaca ketika tertimpa kesulitan.
Dari Ibnu ‘Abbâs bahwa ketika menghadapi kesusahan Nabi ﷺ mengucapkan:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ العَظِيمُ الحَلِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ العَرْشِ العَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ، وَرَبُّ العَرْشِ الكَرِيمِ.
‘Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, Tuhan Arsy yang agung. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, Tuhan langit dan Tuhan bumi, dan Tuhan Arsy yang mulia.’” (HR. Bukhari: 6346, Muslim: 2730)
Beliau juga bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian tertimpa kesusahan atau kegelisahan, hendaklah ia mengucapkan:
اللَّهُ، اللَّهُ رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
‘Allah, Allah adalah Tuhanku, aku tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun.’” (HR. Ibnu Hibban: 864, dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah ash-Ṣaḥīḥah, no. 2755)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits: “Tidaklah seorang ditimpa duka cita dan kesedihan lalu ia mengucapkan:
اللهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي
‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu dan anak dari hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Berlaku padaku keputusan-Mu. Ketentuan-Mu adil bagiku. Aku mohon pada-Mu dengan semua nama-Mu baik yang Engkau gunakan menamai diri-Mu sendiri, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah al-Qur’an sebagai penggembira hatiku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, dan pelipur laraku.’ Kecuali Allah akan menghilangkan kesedihan dan duka citanya, lalu diganti dengan kelapangan.” (HR. Ahmad: 3712, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah ash-Shahihah: 1/337)
Kesimpulan:
Inti dari segala doa untuk menghilangkan gundah adalah merealisasikan tauhid dengan pemahaman dan penghayatan yang benar. Di sanalah seorang hamba mendapatkan ketenangan sejati. Allah berfirman:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Ingatlah! Sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka kabar gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah. Itulah kemenangan yang agung.” (Yunus: 62-64)
3. Memperbaiki sisa umur
Sedhih yang mencul mengingat masa lalu maka obatilah dengan memperbaikan umur yang tersisa dengan taubat dan beramal shalih.
Fudhail bin ‘Iyadh berkata kepada seorang lelaki, “Berapa umurmu?” Ia menjawab, “Enam puluh tahun.” Fudhail berkata, “Berarti selama enam puluh tahun engkau berjalan menuju Tuhanmu, dan sebentar lagi engkau akan sampai.” Lelaki itu pun berkata, “Wahai Abu ‘Ali, inna lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.” Fudhail berkata, “Tahukah engkau apa yang baru saja engkau ucapkan?” Ia menjawab, “Aku membaca inna lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.” Fudhail berkata, “Tahukah engkau maknanya?” Lelaki itu berkata, “Jelaskan kepada kami, wahai Abu ‘Ali.” Fudhail berkata, “Ucapanmu inna lillāh berarti: aku adalah hamba Allah; dan wa innā ilaihi rāji‘ūn berarti: aku akan kembali kepada-Nya. Siapa yang mengetahui bahwa dirinya adalah hamba Allah dan bahwa ia akan kembali kepada-Nya, hendaknya ia sadar bahwa ia akan dihentikan (untuk dihisab). Siapa yang sadar bahwa ia akan dihentikan, hendaknya ia sadar bahwa ia akan ditanya. Siapa yang sadar bahwa ia akan ditanya, hendaklah ia menyiapkan jawaban. Lelaki itu berkata, ‘Lalu apa solusinya?’ Fudhail menjawab, ‘Sederhana.’ Ia bertanya, ‘Apa itu?’ Fudhail berkata:
تُحْسِنُ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرْ لَكَ ما مَضَى وَما بَقِيَ، فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَما بَقِيَ
‘Perbaikilah apa yang tersisa dari hidupmu, niscaya akan diampuni bagimu apa yang telah lalu dan yang akan datang. Sebab jika engkau berbuat buruk pada sisa hidupmu, engkau akan dihukum atas apa yang telah lalu dan apa yang tersisa.’” (Jami’ al-ulum wa al-Hikam: 2/383)
Lihat:
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom




Yuk Gabung !