Akhlak Kepada Keluarga – Silsilah Akhlak
Berkumpul dengan keluarga adalah nikmat besar. Ketika Allah menceritakan tentang kebahagiaan nanti di hari kiamat, salah satunya adalah tatkala seorang dapat kembali pada keluarganya. Allah berfirman:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ ، فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا ، وَيَنقَلِبُ إِلَىٰ أَهْلِهِ مَسْرُورًا
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada keluarganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. (QS. Al-Insyiqaq: 7-9)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu pernah mengatakan:
مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَامَ أَوْ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ تَكُوْنَ زَوْجَتُهُ صَالِحَةً، وَ أَوْلَادُهُ أَبْرَارًا، وَ إِخْوَانُهُ صَالِحِيْنَ، وَ رِزْقُهُ فِيْ بَلَدِهِ الَّذِيْ فِيْهِ أَهْلُهُ
“Di antara kebahagian anak Adam; istrinya shalihah, anak-anaknya baik, kawan-kawannya shalih dan rezekinya berada di negeri tempat keluarganya berada.” (Al Adabusy Syar’iyyah 3/267 cet. Muassasah ar Risalah, 1419H)
Keluarga lebih berhak merasakan akhlak mulia kita
Di antara makhluk Allah yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan akhlak kita adalah keluarga; istri dan anak-anak. Allah berfirman:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَن تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُم مَّعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورً
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (QS. Al-Ahzab: 6)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR. Tirmidzi: 3895, ash-Shahihah: 1174)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan wajibnya berbuat baik kepada keluarga karena memang kenyataannya banyak orang yang bisa berakhlak mulia kepada orang lain dari sahabat dan rekan-rekan kerjanya namun tidak bisa berakhlak mulia kepada keluarganya sendiri. Inilah yang dikatakan oleh Imam Syaukani rahimahullah:
وَكَثِيرًا مَا يَقَعُ النَّاسُ فِي هَذِهِ الْوَرْطَةِ، فَتَرَى الرَّجُلَ إذَا لَقِيَ أَهْلَهُ كَانَ أَسْوَأَ النَّاسِ أَخْلَاقًا وَأَشْجَعَهُمْ نَفْسًا وَأَقَلَّهُمْ خَيْرًا، وَإِذَا لَقِيَ غَيْرَ الْأَهْلِ مِنْ الْأَجَانِبِ لَانَتْ عَرِيكَتُهُ وَانْبَسَطَتْ أَخْلَاقُهُ وَجَادَتْ نَفْسُهُ وَكَثُرَ خَيْرُهُ، وَلَا شَكَّ أَنَّ مَنْ كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ مَحْرُومُ التَّوْفِيقِ زَائِغٌ عَنْ سَوَاءِ الطَّرِيقِ
“Kebanyakan orang terjatuh pada keadaan ini. Engkau melihat seorang yang apabila bertemu dengan keluarganya adalah orang yang paling buruk akhlaknya, pelit dan paling sedikit kebaikannya. Dan apabila ia bertemu dengan orang lain yang bukan keluarganya, maka wataknya pun menjadi lunak, akhlaknya baik, dermawan dan banyak kebaikannya. Tidak diragukan lagi bahwa barang siapa yang seperti ini maka akan terhalang dari taufik dan menyimpang dari jalan yang benar.” (Nailul Authar: 6/245-246, Qawaid Nabawiyyah: 230)
Oleh sebab itu, seorang muslim harus menyadari bahwa keluarga terutama anak dan istrinya adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan dari dirinya.
Diantara bentuk akhlak mulia kepada keluarga
1. Memenuhi kebutuhan keluarga
Seorang ayah memiliki tanggungjawab atas keluarganya. Tanggung jawab seorang ayah atau suami atas keluarganya mencakup dua hal:
Pertama, Kebutuhan jasmani
Karenanya, nafkah adalah kewajiban seorang suami kepada istri dan anak-anaknya, Allah berfirman:
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (QS. Al-Baqarah: 233)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya meskipun istrinya tersebut seorang yang kaya, seorang pegawai. Suami tidak punya hak dari pekerjaan serta gaji istrinya sedikitpun. Semua gaji itu adalah milik istrinya dan suami tetap harus memberikan nafkah.” (Syarh Riyadhish Shalihin: 3/127)
Nafkah wajib mencakup; tempat tinggal, makan, minum dan pakaian secara ijma’ ulama, serta pengobatan dan obat-obatan menurut pendapat yang lebih kuat.
Kedua, Kebutuhan rohani
Kebutuhan rohani jauh lebih penting dibandingkan kebutuhan jasmani. Kebutuhan rohani yaitu keimanan kepada Allah. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan pokok kebahagiaan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. (QS. Al-Anfal: 24)
Kebutuhan rohani jauh lebih penting. Seorang ayah tidak akan ditanya kenapa anaknya tidak bisa Bahasa Inggris, akan tetapi dia akan ditanya kenapa anaknya tidak bisa shalat? Dia tidak akan ditanya kenapa anaknya tidak lulus S1, namun dia akan ditanya kenapa anaknya tidak menutup aurat?
Oleh sebab itu, hendaknya seorang ayah atau suami lebih fokus dan lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan rohani dari keluarganya, namun tetap harus memperhatikan pula kebutuhan jasmani mereka.
Di antara kebutuhan rohani yang paling penting:
Pertama, Memberikan pendidikan agama
Karena pendidikan agama menduduki tempat yang sangat penting dalam hal ini. Sebab sebagaimana badan butuh siraman maka jiwa pun butuh siraman, sedang siramannya adalah ilmu agama.
Hati dan jiwa bisa kering dan gersang seperti bumi, bahkan bisa menjadi lebih keras dari batu. Allah berfirman menceritakan keadaan hati bani Israil:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS. Al-Baqarah: 74)
Ketika hati sudah mulai kering dan gersang maka itulah awal mula keburukan yang akan silih berganti menimpanya, persis seperti bumi yang kering di musim kemarau awal mula dari bencana kekeringan, kebakaran hutan, polusi udara, gangguan kesehatan, dst.
Rasullullah shallallahu alaihi wasallam secara jelas mengatakan bahwa ilmu agama persis seperti air hujan. Dari Abu Musa radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا
“Perumpamaan agama yang aku diutus Allah ‘azza wajalla dengannya, yaitu berupa petunjuk dan ilmu ialah bagaikan hujan yang jatuh ke bumi.” (HR. Muslim: 2282)
Kedua, Mengajarkan ibadah wajib seperti shalat, puasa, halal haram
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. (QS. Thaha: 132)
Bahkan karena pentingnya amalan shalat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam memohon kepada Allah:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Rabb kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim: 40)
Rubayi’ binti Muawidz radhiyallahu anha menuturkan, Rasulullah ﷺ mengutus sahabat di pagi hari Asyura untuk mengumumkan:
مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ
“Barang siapa yang sejak pagi sudah puasa, hendaklah dia lanjutkan puasanya. Barang siapa yang sudah makan, hendaknya ia puasa di sisa harinya.”
Maka setelah itu, kami pun puasa dan menyuruh anak-anak kami untuk puasa. Kami pergi ke masjid dan kami buatkan mainan dari bulu. Jika mereka menangis karena minta makan, kami beri mainan itu hingga bisa bertahan sampai waktu berbuka. (HR. Bukhari: 1960, Muslim: 1136)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata, “Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) pernah mengambil sebiji kurma yang berasal dari kurma zakat, lalu dia menelannya, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
كِخْ كِخْ ارْمِ بِهَا أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ
‘Kikh! Kikh! Muntahkanlah! Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya kita tidak diperbolehkan memakan harta zakat?!’” (HR. Muslim: 3/117 no. 518)
2. Saling melengkapi dan menutupi kekurangan
Allah dalam Al-Qur’an menyebutkan permisalan yang sangat luar biasa antara suami dan istri, mereka antara satu dengan yang lain ibarat pakaian, Allah berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. (QS. Al-Baqarah: 187)
Para ulama menyebutkan bahwa fungsi pakaian itu minimal ada tiga, yaitu: 1. Melindungi, 2. Menutup aib, 3. Perhiasan
Maka antara suami-istri dan keluarga secara umum harus saling melindungi, menutupi aib dan saling menghibur.
3. Saling berbagi dan membantu baik senang maupun susah
Dari Al-Aswad bin Yazid rahimahullah pernah menceritakan:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ خَرَجَ
“Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang dilakukan Nabi di rumah, maka ia menjawab: ‘Beliau biasa melayani istri (dalam pekerjaan rumah tangga), dan jika terdengar adzan maka beliau keluar (menuju shalat).’” (HR. Bukhari: 5363)
4. Menjaga tali silaturahim
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah termasuk menyambung silaturrahim sekadar balas budi, akan tetapi seorang penyambung itu adalah yang apabila diputuskan hubungan rahimnya ia masih senantiasa menyambungnya.” (HR. Bukhari: 5645)
Fokuslah mendakwahi dan mendidik keluarga sebelum melangkah mengubah dunia
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu anhu, ia pernah mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan surga bagiannya.” (HR. Muslim: 4834)
Jangan kira bahwa hadits ini hanya untuk presiden, mentri, gubernur, walikota, anggota DPR, dst. Hadits ini untuk kita semuanya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia akan bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2409, Muslim: 1829)
Keluarga, istri dan anak-anak, itu adalah amanah yang ada di pundak kita. Kita diperintahkan untuk menjaga dan menyelamatkan mereka dari api neraka, serta sabar dalam mendidik dan mengarahkan mereka agar menjadi hamba Allah yang sesungguhnya. Allah berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6)
Mendidik, berdakwah dan memberikan kebaikan kepada orang lain, benar adalah jalan hidup kita. Tetapi orang yang paling berhak untuk kita didik dan dakwahi adalah keluarga kita sendiri. Allah berfirman;
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Dan peringatkanlah keluargamu yang terdekat.(QS. Asy-Syu’araa’: 214)
Inilah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri ketika diturunkan kepadanya QS. Asy-Syu’araa’: 214). Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
‘Wahai sekalian kaum Quraisy (atau ucapan semacamnya), peliharalah diri kalian karena aku tidak dapat membela kalian sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, aku tidak dapat membela kalian sedikit pun di hadapan Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib aku tidak dapat membelamu sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat membelamu sedikitpun di hadapan Allah. Wahai Fathimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang kamu mau dari hartaku, sungguh aku tidak dapat membelamu sedikit pun di hadapan Allah.’” (HR. Bukhari: 2753, Muslim: 206)
Oleh sebab itu, jangan sampai kita sibuk mengurusi orang lain, memberikan penilaian kepada keluarga, istri dan anak-anak orang lain, sedangkan keluarga, istri dan anak-anak kita sendiri kita biarkan. Ingat bahwa mereka amanah yang akan kita pertanggung jawaban, yang akan ditanya oleh Allah nanti tentang apa yang telah kita lakukan buat mereka. Maka fokuslah mendidik dan mendakwahkan mereka sebelum kita melangkah untuk mengubah dunia.
Selamat di dunia dan dikumpulkan di surga adalah tujuan utama sebuah keluarga
Selamat dari neraka dan dikumpulkan dalam surga adalah tujuan utama sebuah keluarga. Semuanya itu dapat terwujud jika semua anggota keluarga adalah orang-orang yang beriman dan taat kepada Allah. Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. ath-Thur: 21)
Baca juga Artikel:
Perintahkan Keluarga Agar Ta’at Kepada Allah – Riyadush Shalihin
Agar Anak Masuk Surga Bersama Keluarga
Keluarga Lebih Berhak Merasakan Kedermawanan Kita
Selesai ditulis di rumah kontrakan Komplek Pondok Jatimurni BB 3 Bekasi, Bekasi, Kamis, 5 Jumadal Akhir 1441H/ 30 Januari 2020 M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
One Comment