QADHA ALLAH AGAR MANUSIA HANYA BERIBADAH KEPADA-NYA – Surat Al-Isra’: 23

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra’: 23)
_______________________

A. Macam-macam Qadha Allah

Qadha Allah terbagi menjadi dua macam:

Pertama, qadha syar’i; bisa terjadi dan bisa juga tidak serta hanya pada sesuatu yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala. Contohnya adalah ayat ini (QS. Al-Isra: 23). Sehingga makna dari kata Qadha dalam ayat ini adalah mensyari’atkan, mewasiatkan, memerintahkan atau kata lain yang semisal.

Kedua, qadha kauni; yang pasti terjadi dan ada pada sesuatu yang dicintai serta yang tidak dicintai-Nya. Seperti firman Allah:

وَقَضَيْنَا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا

Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (QS. Al-Isra’: 4)

Kata qadha di sini adalah kauni karena Allah menetapkan kerusakan di muka bumi sedang kerusakan itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak dicintai-Nya.

Hikmah Dari Qadha Kauni

Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:

“Apabila ada yang mengatakan jika memang telah tetap bahwa Allah menetapkan secara kauni apa yang tidak dicintai-Nya, maka bagaimana Allah menetapkan sesuatu yang tidak dicintai-Nya?

Jawabnya adalah sesuatu yang mahbub (dicintai) itu ada dua macam:
1. Mahbub lidzatihi, sesuatu yang dicintai karena dzatnya
2. Mahbub lighairihi, sesuatu yang dicintai karena sesuatu yang lain.

Mahbub lighairihi terkadang dibenci secara dzatnya, akan tetapi dicintai karena sebab hikmah dan mashlahat yang ada padanya. Pada saat itulah, ia dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain.” (al-Qaulul Mufid: 1/ 26)

Sebagai contoh yaitu firman Allah subhanahu wata’ala tentang kerusakan di bumi. Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali. (QS. Ar-Rum: 41)

Dari ayat ini dijelaskan hikmah dari ketetapan Allah berupa kerusakan yaitu sebagai peringatan agar mereka kembali ke jalan yang benar.

B. Perubahan Dhomir (kata ganti orang) Dalam Ayat

Di dalam ayat ini, Allah berfirman

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya.

Rabbuka” dhamir kaf adalah kata ganti orang kedua (lawan bicara) laki-laki satu orang (kamu). Yang dituju adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sedangkan pada kata kerja “ta’budu” adalah dhamir antum yaitu kata ganti orang kedua untuk banyak orang (kalian).

Sehingga artinya adalah, “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya.”

Adanya perubahan dari “kamu” menjadi “kalian“. Hal semacam ini banyak di dalam Al-Qur’an. Semisal juga di dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ

Hai Nabi, apabila kalian menceraikan isteri-isteri kalian.. (QS. Ath-Thalaq: 1)

Hal itu memiliki beberapa faidah, diantaranya sebagaimana yang di sebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah(lihat: Al-Qaulul Mufid 1/26-27):

1. Untuk membuat pihak yang diajak bicara menjadi lebih perhatian. Dengan merubah gaya bahasa maka tercapailah tujuan ini.

2. Menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah penanggung jawab umat. Khithab yang ditujukan kepada beliau ditujukan juga untuk semua umatnya.

3. Isyarat bahwa setiap apa saja yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi menjadi kewajiban bagi beliau serta umat beliau kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu khusus untuk beliau shallallahu alaihi wasallam.

4. Isyarat secara khusus bahwa Nabi bukanlah Rabb akan tetapi seorang hamba yang juga diperintah oleh Allah.

C. Bentuk Bersyukur Kepada Allah dan Orang tua

Firman Allah:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS. Al-Isra’: 23)

Allah subhanahu wata’ala memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua setelah Allah memerintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada-Nya. Hal itu sebagai bentuk rasa syukur baik kepada Allah maupun kepada orang tua. Allah berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)

Dengan demikian bentuk wujud rasa syukur kepada Allah adalah dengan memurnikan ibadah sedangkan bentuk rasa syukur kepada kedua orang tua adalah dengan berbuat baik. Hal itu karena Allah yang menciptakan manusia sedangkan orang tua adalah sebagai sebabnya.

D. Beberapa faidah dari ayat ini:

1. Tauhid adalah perintah Allah yang paling pertama dari semua kewajiban. Hak Allah yang paling utama untuk ditunaikan oleh seorang hamba.

2. Agungnya hak kedua orang tua karena Allah menghubungkan antara hak orang tua dengan hak-Nya.

3. Wajibnya berbuat baik kepada kedua orang tua serta haramnya durhaka kepada mereka.

Demikianlah penjelasan singkat berkaitan dengan QS. Al-Isra’: 23 semoga dapat memberikan tambahan faidah kepada kita. Wallahu a’lam. /Art0283

Referensi:
1. Al-Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid,Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Darul ‘Ashimah
2. Fathul Majid li Syarh Kitabit Tauhid, al-‘Allamah Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, Dar Ibni Atsir
3. Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitabit Tauhid,Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul ‘Ashimah

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !