Kaidah Takdir 01 – Beriman Kepada Takdir Adalah Syarat Menjadi Seorang Mukmin

Kaidah Pertama : Beriman Kepada Takdir Adalah Syarat Menjadi Seorang Mukmin

Beriman kepada takdir merupakan bagian dari rukun iman yang enam. Dalam hadits ketika Malaikat Jibril bertanya mengenai apa itu iman Rasulullah ﷺ menjawab:

 أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari akhir serta engkau beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim: 8)

Bahkan dalam hadits tersebut Rasulullah mengulangi lafaz “engkau beriman” pada saat penyebutan takdir. Hal ini sebagai isyarat agar setiap muslim memberikan perhatian yang lebih dalam masalah takdir, karena banyaknya manusia yang tergelincir dalam hal ini. Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وهكذا الحكمة في إعادة لفظ وتؤمن عند ذكر القدر كأنها إشارة إلى ما يقع فيه من الاختلاف ، فحصل الاهتمام بشأنه بإعادة تؤمن

Demikianlah, hikmah pengulangan lafaz Tu’mina (kamu beriman) pada saat penyebutan takdir seolah sebuah isyarat kepada banyaknya terjadi perselisihan dalam masalah ini, sehingga dengan pengulangan penyebutan Tu’mina agar lebih perhatian dengan perkara takdir. (Fathu Al-Bari’ 1/118, Cetakan Al-Maktabah As-Salafiyah, Cetakan I)

Seorang yang tidak beriman terhadap Takdir Allah maka ia belum dapat dikatakan sebagai seorang mukmin. Dan Allah tidak akan menerima amal ibadahnya, sekali pun ia shalat sepanjang waktu atau bersedekah dengan emas sebesar gunung sampai ia beriman kepada takdir Allah.

Dalam kitab Shahih Muslim, ketika Imam Muslim menyebutkan hadits Jibril diatas, beliau juga menyebutkan kisah Ibnu Umar yang ditanya tetang perkara seorang yang bernama Ma’bad Al-Juhani yaitu seorang gembong penolak takdir dari kota Bashrah. Kemudian Ibnu Umar memberikan jawaban yang keras terhadap perkara orang ini dan berdalil dengan menyebutkan hadits Jibril yang ia dengar dari ayahnya yaitu Umar bin Khathab. Kisahnya berasal dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata:

كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ – أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ – فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ» ثُمَّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ

“Orang pertama yang menyimpang dalam perkara Takdir di kota Bashrah adalah Ma’bad Al-Juhani. Maka aku pun bersama dengan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari berangkat untuk menunaikan haji atau umrah. Kami pun berkata: Jika nanti kita berjumpa dengan salah seorang sahabat Rasulullah maka kita akan menanyakan kepadanya tentang apa yang mereka (Ma’bad dan pengikutnya) katakan dalam Takdir. Ternyata kami bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Khathab di dalam Masjidil Haram. Aku dan sahabatku pun mengampirinya, salah seorang dari kami di berada sebelah kanan dan yang lain di sebelah kirinya. Aku sudah mengira bahwa sahabatku akan menyerahkan pembicaraan kepadaku.[1] Aku pun berkata: Wahai Abu Abdirrahman, di negeri kami telah muncul sekelompok orang yang mana mereka membaca Al-Qur’an, mencari dan mengikuti ilmu – ia (Yahya) menyebutkan beberapa perkara baik mereka yang lainnya – akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa takdir itu tidak ada dan segala urusan terjadi begitu saja. Maka Ibnu Umar berkata: “Apabila nanti engkau bertemu dengan orang-orang itu maka kabarkanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengannya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu ia infakkan semuanya maka Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada takdir.” Kemudian Ibnu Umar berkata: Ayahku yaitu Umar bin Khathab telah menyampaikan sebuah hadits kepadaku ……”

Lalu Ibnu Umar menyebutkan hadits Jibril yang diantara kandungannya yaitu bahwa beriman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Kisah ini juga menunjukkan kepada kita bahwa penyimpangan dari orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam dalam masalah takdir telah terjadi sejak zaman sahabat Nabi masih hidup. Maka hendaknya kita betul-betul perhatian dalam masalah keimanan kepada takdir ini.


[1] Menjadikannya sebagai juru bicara yang menyampaikan pertanyaan

Selesai disusun di Komplek Pondok Jatimurni Bekasi

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

 

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Back to top button
0
    0
    Your Cart
    Your cart is emptyReturn to Shop
    WhatsApp Yuk Gabung !