Kenali Keinginan dan Kebutuhan Anak

Bila kita perhatikan anak kita, tatkala dia sudah mulai bisa bicara dan mengungkapkan isi hatinya, muncullah keinginan-keinginan; ingin memiliki sesuatu yang dia lihat, ingin memiliki sesuatu yang dimiliki oleh temannya, bahkan ketika sudah mulai dewasa pun lebih banyak tuntutannya, ingin dibelikan HP, sepeda motor dan lain lain.

Namun perlu dimaklumi, terkadang keinginan mereka itu bersifat baik, maka alangkah baiknya bila orang tua memenuhi keinginan mereka apabila orang tua mampu. Seperti ingin dibelikan al-Quran, alat tulis, makan dan minuman yang halal dan sehat.
Tetapi sedikit sekali mereka yang punya keinginan yang baik dan bermanfaat untuk agama atau kesehatan badannya. Mungkin karena keterbatasan pikiran dan keilmuannya. Bahkan yang sering kita saksikan, mereka menginginkan sesuatu yang hanya sekadar bisa memuaskan rasa ingin memiliki atau karena ingin serupa dengan orang lain yang memiliki benda tersebut. Mereka tidak tahu sejauh mana maslahatnya bila ditinjau dari sisi agama atau kesehatan badan mereka.

Sikap orang tua ketika anak meminta sesuatu

Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd Rahimahullah berkata, “Ketika anak meminta sesuatu kepada sebagian orang tua, tanpa berpikir panjang orang tua segera memenuhi apa saja yang menjadi kesenangannya. Mudah memberi. Padahal umumnya anak akan menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya kepada hal yang tidak bermanfaat, bahkan kepada kebatilan yang membuat mereka tidak mengerti kegunaan harta, pun tidak terampil membelanjakannya.
Ada juga tipe orang yang ketika anaknya menangis meminta sesuatu, tanpa berpikir panjang dia harus memenuhi keinginannya agar anak tidak menangis. Kita jumpai juga tatkala anak kecil meminta ayah atau ibu terhadap yang ia lihat. Jika tidak segera dilayani, anak akan berteriak menangis lalu orang tua segera menurutinya karena kasihan atau agar anak cepat diam dan supaya selesai perkaranya, maka ini hanya akan mendidik anak menjadi manja dan lemah.” (At-Taqshir fi Tarbiyatil Aulad: 1/14, dengan sedikit perubahan redaksi)

Orang tua hendaknya memperhatikan keinginan anak juga berpikir sejenak sebelum menolak atau memenuhi keinginan si anak. Adakah manfaatnya dari sisi keselamatan akidah mereka, kecerdasan akal dan kesehatan badannya? Jika memang ada, mampukah kita memenuhinya ataukah harus utang sana-sini sehingga menjadi beban di kemudian hari? Ini adalah langkah yang pertama.

Langkah berikutnya, tatkala kita menolak permintaan mereka, berilah mereka pengertian, mengapa permintaan mereka ditolak. Agar mereka berfikir dan tahu alasannya, sehingga orang tua tidak dinilai bakhil, tidak sayang kepada anak dan tuduhan-tuduhan jelek lainnya.

Jika orang tua harus memenuhi permintaannya karena dipandang ada manfaatnya, maka jelaskan kepada mereka tentang faedahnya, dan jangan sampai dipalingkan kepada hal yang tidak benar. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut.” (HR. Bukhari: 3/497)

Jangan sampai harta disia-siakan

Harta adalah titipan dan amanah dari Allah, sekaligus sebagai bahan ujian untuk kita semua. Kelak kita akan ditanya dari mana harta ini, diperoleh dengan cara yang halal ataukah sebaliknya, dan akan ditanyai pula tentang penggunaannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

Tidaklah beranjak telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga dia ditanyakan tentang usianya, untuk apa ia dihabiskan? Tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan? Tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan? Dan tentang tubuhnya, untuk apa ia gunakan?” (HR. at-Tirmidzi: 9/276, Shahih sebagaimana dalam Takhrij Iqtidha al-Ilmi al-Amal: 1/15)

Sering kita saksikan, banyak orang kaya yang menghamburkan harta untuk kepentingan hawa nafsunya dan menuruti permintaan anaknya, sehingga ia jatuh kepada jurang kemaksiatan dan perbuatan hina. Semestinya mereka harus mensyukuri harta tersebut dengan menggunakannya dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wajalla. Tetapi sebaliknya, mereka mengingkarinya dan menggunakannya untuk perkara yang haram dan menjadi sebab kehancuran diri, keluarga dan masyarakatnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ

Apabila kamu melihat orang yang maksiat dikarunia oleh Allah harta yang banyak, sesungguhnya itu adalah sebuah istidraj (ditangguhkan siksaannya).” lalu beliau membacakan ayat 44 dari surat al-An’ām (yang artinya): “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah: 1/700)

Kepada siapa kita dilarang memberi harta?

Kita dilarang memberi harta atau membelanjakannya -yang itu adalah amanah- kepada anak kecil, wanita, orang yang tidak beres akalnya dan pemboros. Tetapi hendaknya kita memberi mereka apa yang menjadi pokok kebutuhannya saja, seperti makan, minum pakaian dan kebutuhan pokok lainnya, agar kita tidak tergolong penghambur harta atau perusak kehidupan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَا تُؤۡتُوا۟ ٱلسُّفَهَاۤءَ أَمۡوَ ٰ⁠لَكُمُ ٱلَّتِی جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِیَـٰمࣰا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِیهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُوا۟ لَهُمۡ قَوۡلࣰا مَّعۡرُوفࣰا ۝ وَٱبۡتَلُوا۟ ٱلۡیَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰۤ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدࣰا فَٱدۡفَعُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡ أَمۡوَ ٰ⁠لَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَاۤ إِسۡرَافࣰا وَبِدَارًا أَن یَكۡبَرُوا۟ۚ وَمَن كَانَ غَنِیࣰّا فَلۡیَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِیرࣰا فَلۡیَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَیۡهِمۡ أَمۡوَ ٰ⁠لَهُمۡ فَأَشۡهِدُوا۟ عَلَیۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِیبࣰا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka ia boleh makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu). (QS. an-Nisā`: 5-6)

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Allah Azza wajalla melarang orang bodoh membelanjakan harta, karena harta untuk ibadah kepada Allah dan untuk kebutuhan-kebutuhan hidup mereka, semisal untuk berdagang. Maka Seseorang dilarang membelanjakan harta, karena adakalanya dia (pemiliknya) masih kecil, orang gila, karena kurang beres akalnya, tidak mengerti agama atau sering bangkrut,dll.”
Kemudian Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma berkata, ‘Orang bodoh di sini maksudnya adalah wanita dan anak-anak.’” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/214)

Syaikh as-Sa’di Rahimahullah berkata, “Allah melarang menyerahkan uang kepada sufaha’ atau orang yang bodoh. Orang yang bodoh ialah orang yang tidak terampil membelanjakan harta, karena gila atau tidak waras akalnya, atau karena belum sempurna akalnya seperti anak kecil atau orang dewasa tapi namun tidak terampil membelanjakan harta. Allah Azza wajalla melarang orang tua memberi mereka harta karena khawatir akan merusak dirinya dan (dipakai untuk) berbuat kerusakan. Karena Allah hanya menjadikan harta untuk kebaikan agama dan dunia mereka, sedangkan mereka tidak mampu mengurusi dan memeliharanya. Oleh karena itu Allah melarang orang tua dan wali menyerahkan uang kepada mereka. Tetapi tetap beri mereka makan dan minum, baju serta apa yang menjadi kebutuhan pokoknya, baik untuk keperluan ibadah maupun urusan dunia mereka, dan hendaknya mereka juga dinasihati dengan nasihat yang baik.” (Taisir al-Karimir Rahman: 1/164)

Demikianlah seharusnya kita umat Islam tatkala membelanjakan harta, harus benar-benar bermanfaat untuk agama dan urusan dunia. Semoga Allah menjaga kita semua…

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc

Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc adalah mudir Ma'had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Beliau juga merupakan penasihat sekaligus penulis di Majalah Al-Furqon dan Al-Mawaddah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !