Memahami “Maksud” Mendidik Anak
Pendidikan Anak Tanggung Jawab Orang Tua?
Anak adalah buah hati orang tua, namun di balik itu, anak adalah amanah Ilahi yang harus dijaga oleh orang tua dan akan dipertanyakan besok pada hari pembalasan. Oleh karena itu, agar anak tetap menjadi penyejuk jiwa, orang tua hendaknya menjaga fitrahnya dan mendidiknya dengan baik menurut al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. at- Tahrim: 6)
Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Perintahkan keluargamu agar mengerjakan yang baik dan cegahlah dari perkara mungkar. Jangan biarkan mereka terlantar sehingga dimakan oleh api neraka pada hari kiamat. (Tafsir Ibnu Katsir: 5/240)
Makna Dari Kata Maksud (Maqshuud)
Judul di atas terdapat kata “maqshuud” yang diambil dari bahasa al-Quran. Penulisan Arabnya مقصود dan kata ini erat hubungannya dengan pendidikan anak. Mengapa? Karena di antara maknanya:
• Jalan yang Lurus, berdasarkan firman Allah ﷻ:
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus. (QS. an-Nahl: 9)
Imam ath-Thabrani رحمه الله berkata, “Qashdu as-Sabil” ialah jalan yang lurus, tidak bengkok. (Tafsir ath-Thabari: 14/84)
Imam asy-Syaukani رحمه الله berkata, “Qashdu as-Sabil artinya; hanya kepada Allah jalan yang harus ditempuh.” (Fathul Qadir 4/204)
Dengan makna di atas, maka orang tua harus menempuh jalan yang benar (lurus); yakni jalan yang telah Allah ﷻ tetapkan untuk mendidik anak kita semua.
• Di antara maknanya adalah Tidak Sia-sia (Tidak kosong). Maksudnya, tatkala kita mengarahkan pendidikan anak kita jangan sampai sia-sia, apalagi setelah keluar dari pendidikan, lantas tidak bermanfaat bagi agamanya dan tidak bermanfaat pula untuk kebaikan akhlaknya.
• Maqsuud juga bermakna Tujuan yang Utama. Seperti orang yang bertanya, “Maksudmu apa?” yang berarti tujuan. Ini penting untuk diketahui oleh orang tua yang punya maksud baik untuk masa depan anaknya, harus nyata tujuannya, bukan sekadar masukkan anak ke sekolah karena mengikuti tetangga dan orang secara umum. Bukankah Rasulullah ﷺ mengingatkan kita pentingnya maksud/tujuan/niat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai niat, dan setiap perbuatan seseorang tergantung niatnya. Barangsiapa yang tujuan hijrahnya karena mengharap keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (pahalanya) kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau demi seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya (pahalanya) adalah kepada apa yang diniatkan.” (HR. Muslim: 6/48)
• Maknanya yang lain ialah Mengingatkan Agar Tidak Lupa. Kita memperhatikan maksud anak kita sekolah, berarti kita tidak boleh melupakan cita-cita, tujuan dan niat kita ketika menyekolahkan anak. Hal itu agar pendidikan anak kita tidak sia-sia dan tidak menyesal di kemudian hari. Semisal nampaknya sifat yang bertambah buruk dari anak kita, seperti durhaka, padahal telah kita sekolahkan. Tentu orang tua rugi dunia dan akhirat. Rugi di dunia karena orang tua sudah mengeluarkan biaya yang banyak, membesarkan anak mulai kecil sampai dewasa, menguras tenaga, pikiran dan harta, tetapi hasilnya nol. Rugi di akhirat, karena kita akan dimintai pertanggunganjawaban di hadapan Allah ﷻ.
Rasulullah ﷺ bersabda:
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin.” (HR. Bukhari: 4801)
Maqashid Asy-syari’ah Pintu Kebahagiaan Anak Dan Keluarga
Hubungan antara Maqashid asy-Syari’ah dengan pendidikan anak sangatlah erat. “Maqashid” sendiri ialah bentuk plural (jamak) dari maqshad, yang berarti beberapa tujuan. Artinya, ketika kita mau menyekolahkan anak harus punya tujuan dan jalan yang benar, cita-cita serta niat masa depan untuk anak kita, agar kita tidak menyesal di kemudian hari dan tidak menderita.
Untuk menghindari efek negatif itu semua, hendaknya kita menyekolahkan di lembaga pendidikan yang mampu, menekuni dan memperhatikan syariat Allah. Karena inilah tujuan utama Allah ﷻ menjadikan manusia hidup di permukaan dunia, agar hanya beribadah kepada-Nya semata. (Lihat QS. adz-Dzariyat: 56)
Adapun makna “asy-Syari’ah”, para ulama mendefinisikan banyak sekali, namun jika dipadukan semua maknanya akan saling menyempurnakan.
Ibnu Hazm رحمه الله berkata: Asy-Syariah adalah semua tuntunan Allah ﷻ yang berupa akidah, amal, melalui lisan Nabi-Nya. (Al-Ihkam: 1/52)
Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Syariah ialah apa yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa: 19/306)
Beliau juga berkata: “Asy-Syariah adalah Kitabullah dan sunnah Rasulullah berlandaskan pemahaman Salaf al-Ummah, baik berupa akidah, ihwal, ibadah, perbuatan, politik, hukum, pemerintahan dan pemberian.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah: 19/308)
Berpijak dari keterangan di atas, maka kita (muslim) hendaknya punya maksud mendidik anak kita menuju syariatnya Allah, agar anak dan keluarga bahagia dunia dan akhirat, mari kita berdoa:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan: 74)
Siapa Pendidik Anak Kita?
Umumnya orang tua zaman sekarang tak mampu mendidik anaknya semua, apalagi jumlahnya banyak, karena mereka sibuk mencari nafkah setiap hari. Istri sibuk di dalam rumah tangga atau kemampuan ilmu orang tua terbatas sehingga dia harus menyerahkan anaknya kepada pendidik yang mampu mendidik anaknya.
Jika orang tua menginginkan agar anak terdidik dan mencapai “maqhaasid asy-syari’ah”, tentu orang tua harus memperhatikan siapa yang akan mendidik anaknya. Sebab, guru merupakan salah satu elemen pendidikan utama pewarna pikiran anak. Apakah pendidik memiliki akidah yang benar? Ibadahnya sesuai dengan sunnah? Berakhlak yang mulia? Atau sebaliknya, berakidah bathil, suka mengamalkan bid’ah? Berakhlak keji dan kotor. Ini semua akan berpengaruh kepada pemikiran anak.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Orang itu bersandar agama orang terdekatnya. karena itu hendaklah salah satu di antara kamu melihat siapa orang terdekatnya.” (HR. Abu Dawud: 4197, at-Tirmidzi: 2774)
Pengajar yang baik adalah pengajar yang mendalami agama Islam, berakidah yang shahih, dan bermanhaj dengan metode beragama Rasulullah ﷺ serta berakhlak yang mulia. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَماء
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS. Fathir: 28)
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan yang mengajarkannya.” (HR. Bukhari: 5027)
Sahabat Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata, “Janganlah engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu, karena akan menyebabkan hatimu sakit.” (Al-Ibanah, Ibnu Baththah al-Ukbari: 2/438 no. 371, 373)
Fudhail bin Iyadh رحمه الله berkata, “Hindarilah duduk bersama ahli bidah. Barangsiapa yang duduk bersama ahli bidah maka ia tidak akan diberi hikmah. Aku suka jika di antara aku dan pelaku bidah ada benteng yang terbuat dari besi”. (Syarh as-Sunnah no. 170, al-Barbahari dan Syarh Ushul Itiqad Ahlis Sunnah no. 1149 oleh al-Lalaka’i)
Materi̇ Pendidikan
Sangat penting untuk diketahui oleh orang tua yang ingin anaknya menjadi shalih dan shalihah, sebelum memasukkan anaknya ke dalam suatu lembaga pendidikan, hendaknya mengontrol dan meneliti pelajaran yang akan dipelajari oleh si anak; apakah kurikulum tersebut menunjang perbaikan akidah, ibadah dan akhlak anak didik kita, atau sebaliknya, merusak akidah yang shahih?
Kitab dan buku bacaan sungguh amat berpengaruh kepada anak didik, sebagaimana kita maklumi bersama. Apalagi tingkatan anak didik kita baru madrasah tingkat dasar hingga menengah atas, yang belum bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.
Pergaulan di Sekolah
Pergaulan pun sangat berpengaruh untuk mencapai maqashid asy-syari’ah anak didik kita. Karena apabila anak sudah mendekati baligh lalu duduk bersama dengan temannya yang lain jenis, apalagi guru yang mengajar juga lain jenis, tentu banyak masalah, terutama serangan penyakit syahwat. Ini bisa kita rasakan sendiri ketika kita punya syahwat, ketika bertatap muka dengan yang lain jenis; akan terasa daya tarik setan di hati kita walaupun mulut mampu menahan. Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat, apabila keluar disambut (dipercantik) oleh setan.” (HR. at-Tirmidzi 5/23 dishahihkan oleh al-Albani, Tuhfatul Ahwadzi 3/253)
Jabir bin Abdillah رضي الله عنه berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهْىَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ « إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ ».
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang wanita, lalu beliau masuk ke rumah Zainab saat dia sedang menyamak kulit miliknya. Beliau pun menyelesaikan hasratnya (terhadap istrinya). Setelah itu, ia keluar mengunjungi sahabat dan berkata, ‘Sesungguhnya wanita itu datang bagaikan bentuk setan dan pergi bagaikan bentuk setan. Barangsiapa yang mendapati hal itu, hendaklah ia mendatangi istrinya, karena hal tersebut bisa meredam gejolak syahwat yang ada dalam dirinya.” (HR. Muslim: 3473)
Imam an-Nawawi رحمه الله berkata, “Wanita bila keluar akan memfitnah dan membangkitkan syahwat kaum pria, karena Allah ﷻ menjadikan pria menyenangi wanita, dibuat indah oleh setan yang pekerjaannya menyesatkan manusia.” (Syarh Shahih Muslim: 5/75)
Jika melihat sebentar wanita yang bukan mahramnya membawa petaka hawa nafsu, dan orang yang punya istri bisa mendatangi istrinya, maka bagaimana dengan yang tidak punya istri? Apalagi mereka masih belia. Tentu akan terjadi kegelisahan dalam pikirannya. Tentu akan berpengaruh pula dengan pelajarannya, akhlak dan moralnya. Wallahul musta’an.
Kita memohon kepada Allah semoga anak kita dilindungi dari fitnah syubhat dan syahwat serta senantiasa mendapatkan taufik dan hidayah-Nya. Aamiin…