Puasa Sunnah Harus Izin Suami
Riyadhush Shalihin Bab 35 – Hak Suami Atas Istrinya
2/282 – Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sementara sementara suaminya ada di rumah, kecuai dengan seizinnya. Dan tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari: 5195)
Istri wajib minta izin suami untuk puasa sunnah
Dari hadits yang mulia ini, seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah dalam keadaan suaminya berada di rumah kecuali apabila diizinkan. Illat (sebab hukum) dari hal ini adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (bercumbu dan berjima’) dengan istrinya. Dikhawatirkan nanti jika suami menginginkan hal tersebut sementara istrinya tengah berpuasa maka suami menjadi terhalang dan tidak bisa memenuhi keinginannya tersebut.
Dari illat ini, jika suami tidak berada dirumah maka istri boleh berpuasa tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya.
Demikian pula dengan shalat sunnah, boleh istri shalat tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Para ulama menjelaskan bahwa shalat sunnah tidak seperti puasa, karena waktunya singkat. Berbeda halnya dengan puasa yang mengabiskan waktu sepanjang hari. Maka boleh bagi istri untuk shalat sunnah tanpa seizin suami.
Jadi yang menjadi patokan itu adalah illatnya tersebut. Oleh karena itu, para ulama merumuskan sebuah kaidah yaitu:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Sebuah hukum berporos dengan illatnya ada atau tidaknya.
Wajib mentaati suami dalam yang bukan maksiat
Salah satu kunci kesuksesan dan keselamatan seorang istri terletak pada keta’atannya (patuh) kepada suaminya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan ta’at kepada suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya; ‘Masuklah kamu ke dalam syurga dari pintu mana saja yang kamu inginkan’.” (HR. Ahmad: 1573)
Namun keta’atan kepada suami tidak boleh dalam segala hal. Harus dalam hal-hal yang tidak maksiat, kalau maksiat maka tidak boleh mena’atinya dalam hal tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوفِ
Keta’atan (kepada makhluk) itu hanya pada hal-hal yang ma’ruf (bukan maksiat). (HR. Bukhari: 7145)
Dari Imran bin Husain radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَّةِ اللَّهِ
Tidak ada keta’atan dalam kemaksiatan kepada Allah. (HR. Ahmad: 4/426)
Makanya Imam Al-Munawi rahimahullah memberikan catatan mengenai hadist tentang keta’atan istri kepada suami diatas dengan ucapan:
وأطاعت زوجها، في غير معصية
..(dia menta’ati suaminya) yaitu di dalam hal yang bukan maksiat. (Faidhul Qadir)
Kaitannya dengan pembahasan ini, jika seorang suami tidak mengizinkan baik dari awal atau disiang harinya dengan kata lain suami memerintahkan istri untuk membatalkan puasanya maka harus ditaati.
Apakah puasa Qadha’ juga harus dengan izin?
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab:
أما صوم الفرض كقضاء رمضان فهذا ليس له منعها ويجب عليه تمكينها، وليس لها طاعته في ذلك لو منعها، عليها القضاء؛ لأن الله جل وعلا أمرها بالقضاء وهكذا الرسول ﷺ، وقد أجمع المسلمون على: أنه يجب على المرأة إذا أفطرت في رمضان بسبب الحيض أو النفاس أن تقضي، وليس لزوجها أن يمنعها من ذلك
Adapun puasa wajib seperti qadha’ puasa Ramadhan, maka suami tidak boleh melarang istrinya. Wajib baginya untuk mengizinkan. Dan istri tidak boleh mematuhinya dalam hal tersebut apabila suaminya melarang. Karena Allah dan Rasul-Nya yang memerintahkan si istri untuk mengqadha’ puasa, serta para ulama kaum muslimin pun juga telah sepakat (ijma’) bahwa wajib bagi seorang istri apabila tidak puasa di bulan Ramadhan disebabkan oleh haidh atau nifas, untuk mengqadha’, dan suami tidak punya hak untuk melarangnya dalam hal tersebut. (Lihat artikel binbaz.org sa dengan judul Hukmu Shiyami al-Mar’ah Biduni Idzni Zaujiha)
Perintah Allah dan Rasul-Nya lebih diutamakan daripada perintah siapa saja, termasuk suami, makanya Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: “(Dalam ayat QS. An-Nisa’: 59) Allah menjadikan ketaatan kepada-Nya mustaqillah (berdiri sendiri), dan ketaatan kepada rasul-Nya juga mustaqillah, sedangkan ketaatan kepada ulul amri tabi’ah (mengikuti). Oleh sebab itu Allah tidak mengulangi penyebutan perintah Athi’uu (taatilah), maka tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).” (Al-Qaulul Mufid: 2/149)
Baca juga Artikel:
Istri Menolak Ajakan Suami Dilaknat Malaikat
Ditulis di rumah mertua tercinta Jatimurni Bekasi, Ahad 11 Rabi’ul Akhir 1441H/ 8 Desember 2019M
Follow fanpage maribaraja KLIK
Instagram @maribarajacom
Bergabunglah di grup whatsapp maribaraja untuk dapatkan artikel dakwah setiap harinya. Daftarkan whatsapp anda di admin berikut KLIK
One Comment