Manusialah Yang Lebih Tahu Akan Dirinya Sendiri – Kaidah Qur’an 4

Kaidah Qur’an kali ini membahas Manusia Lebih Tahu Akan Dirinya Sendiri


Allah berfirman:

بَلِ الْإِنسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُ

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (QS. Al-Qiyamah: 14-15)


Kaidah ini merupakan salah satu kaidah penting terkait interaksi kita dengan diri dan jiwa. Sekaligus ia merupakan salah satu wasilah untuk mengobati hati dari berbagai penyakitnya.

Yang mengetahui hati dan keadaan diri seorang yang sebenarnya setelah Allah adalah orang itu sendiri. Baik dan buruknya batinnya, dialah yang mengetahuinya dengan pasti, bukan orang lain. Orang lain hanya bisa melihat secara lahiriyah saja. Karena itulah perbaikan diri mesti dilakukan oleh diri sendiri karena dialah yang lebih tahu keadaan dirinya.

Kaidah ini berlaku untuk banyak keadaan, diantaranya:

  1. Untuk mengetahui kadar (kapasitas) diri

Seringkali, yang membuat runyam hubungan mu’amalah kita dalam kehidupan bersosial adalah karena kita tidak tahu kadar diri kita sendiri. Sehingga, apa yang seharusnya kita lakukan, tidak kita lakukan. Sebaliknya, sesuatu yang di luar kapasitas diri kita, justru itu yang kita lakukan. Seorang Imam dari generasi Tabi’in yaitu Fudhail bin Iyadh rahimahullah pernah mengatakan:

رَأْسُ الْأَدَبِ عِنْدَنَا أَنْ يَعْرِفَ الرَّجُلُ قَدْرَهُ

Inti dari adab menurut kami adalah seorang tahu akan kadar dirinya sendiri.” (Hilyatu al-Auliya’: 10/168)

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga pernah mengatakan:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ

Allah merahmati seorang yang tahu akan kadar dirinya.” (Hilyah Auliya’ 5/306, Tafsir Al-Qurthubi, 12/ 302, QS. An-Nahl: 14)

Oleh sebab itu, milikilah sifat ini yaitu tahu kapasitas diri sendiri dan kitalah yang lebih tahu akan hal itu. Karena Allah berfirman:

بَلِ الْإِنسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. (QS. Al-Qiyamah: 14-15)

Tengok pada diri kita lalu pahami kita ini ada dimana. Ibarat sebatang pohon, jika kita adalah dahan maka janganlah menjadi batang atau akar. Jika kita adalah daun maka janganlah menjadi bunga atau buah. Dengan begitu kehidupan kita akan menjadi baik dan damai. Ketika seorang melampaui batas dirinya padahal dia tahu kadar dirinya sendiri kemudian dia beralasan dengan alasan-alasan yang seolah-olah menunjukkan ia mampu padahal ia tidak mampu maka ia akan jatuh dalam kebinasaan.

Imran bin Hiththan dahulunya adalah seorang Ahlussunnah, ia merupakan salah seorang Tabi’in senior, namun pada akhirnya ia menjadi seorang Khawarij. Kisahnya ia mempunyai seorang sepupu yang berpemahaman Khawarij yang bernama Hamnah. Karena kecantikannya, Imran jatuh cinta dan hendak menikahinya. Ketika ditegur dan diingatkan oleh sebagian kawannya, Imran menjawab:

سَأَرُدُّهَا

Aku akan mengembalikannya. (Siyar A’lam An-Nubala’: 4/214, Cet. Muassasah Ar-Risalah)

Maksudnya adalah ia ingin menikahi sepupunya itu untuk mengentaskannya dari pemahaman Khawarij dan mengembalikannya ke Ahlussunnah. Namun yang terjadi malah sebaliknya, malahan Imranlah yang diubah oleh wanita itu menjadi Khawarij tulen.

  1. Menolak ambisi senang dipuji

Ambisi terhadap pujian adalah pintu kehancuran. Dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu, bahwa seorang laki-laki disebut-sebut disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu laki-laki lain memuji kebaikan laki-laki tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ

“Celaka kamu, kamu telah memenggal leher saudaramu.” (HR. Bukhari: 6061, Muslim: 3000)

Karena pujian akan mengantarkan seorang ujub pada dirinya, merasa bahwa dirinya dipenuhi dengan kebaikan sehingga ia pun terbuai dan akhirnya bisana. Untuk menolak hal ini maka ingatlah kaidah Qur’an bahwa manusialah yang mengetahui keadaan yang sebenarnya dari dirinya sendiri.

Dahulu para Sahabat Nabi ketika mereka dipuji mereka justru minta ampun kepada Allah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad dari Adi bin Arthah, dia bercerita;

كان الرجل من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا زُكِّي، قال :اللَّهُمَّ لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ، واغْفِر لِي مَا لَا يَعْلَمُونَ واجْعَلْنِي خَيْراً مِمَّا يَظُنُّونَ

“Dulu ada seorang sahabat Nabi. ketika dia dipuji, dia mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang mereka ucapkan, ampunilah aku, atas kekurangan yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari pada penilaian yang mereka berikan untukku.” (Shahih Al-Adab-Al-Mufrad: 585)

Bahkan sebagian ulama menyebutkan sebuah atsar – meski dengan sanad yang lemah – bahwa do’a ini diucapkan oleh Abu Bakar ketika ia dipuji. Dari Al-Ashma’i ia berkata:

كَانَ أَبُو بَكْرٍ إِذَا مُدِحَ قَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ بِي مِنْ نَفْسِي، وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِي مِنْهُمْ، اللَّهمّ اجْعَلْنِي خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّونَ، وَاغْفِرْ لِي مَا لا يَعْلَمُونَ، وَلا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ.

Dahulu Abu Bakar ketika dipuji mengucapkan: Ya Allah, Engkaulah yang lebih tahu keadaan diriku dari padaku. Dan aku lebih tahu keadaan diriku dari mereka. Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira. Ampunilah aku atas kekuranganku yang tidak mereka ketahui dan janganlah engkau menghukumku karena apa yang mereka katakan. (Asad Al-Ghabah li Ibni Atsir: 3/221)

Jika kita perhatikan, do’a ini berangkat dari pemahaman mereka akan kaidah Qur’an ini.

  1. Tidak marah ketika dihina dan dicaci-maki

Jangan marah, tapi jadikanlah muhasabah, jika ada orang yang mengata-ngatai, bilang begitu dan begini, membeberkan aib dan membesar-besarkan kesalahan kita. Karena mungkin Allah ingin ingatkan kita melalui lisan mereka.

Akui sajalah bahwa kita memang punya banyak salah, tidak perlu membela diri. Kita lebih tahu diri kita sendiri daripada orang lain. Apa yang mereka katakan tidak ada apa-apanya, itu hanya sedikit dari total aib diri kita. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak Adam berdosa dan sebaik-baik mereka yang berdosa adalah mereka yang mau bertaubat.” (HR. Tirmidzi: 2499)

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah pernah mengatakan:

لَوْ كَانَ لِلذُّنُوب رِيْحٌ ، مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إلَيّ

“Kalau seandainya dosa-dosa itu memiliki aroma, niscaya tidak akan ada seorangpun yang sanggup duduk bersamaku.” (Ighatsatul Lahafan: 169)

Karena banyak dosa inilah kita diperintahkan untuk banyak-banyak meminta ampun setiap hari. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya dalam satu hari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim: 2702)

Sehingga jika ada orang yang mencela, dan memaki, serta mengumbar aib kita maka tidak perlu terlalu diambil hati, karena bisa jadi itu adalah salah satu cara Allah mengingatkan diri kita supaya kita senantiasa sadar dan kemudian bertaubat kepada-Nya.

Ketika Ali bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib atau yang lebih dikenal dengan Zainal Abidin rahimahullah dicela dan dicaci-maki oleh seseorang, ia sama sekali tidak marah, bahkan ia justru mengatakan:

لَقَد سَبَبْتَنَا بِمَا عَلِمْتَ ، وَمَا سُتِرَ عَنْك مِنْ أَمْرِنَا أَكْبَرُ

“Sungguh kamu telah mencelaku dengan apa yang kamu tahu, padahal apa yang tersembunyi olehmu dari perkaraku jauh lebih banyak.” (Suwar min Hayatit Tabi’in: 345)

Kemudian ia memerintahkan agar laki-laki yang mencela dirinya tersebut agar diberi hadiah berupa uang sebanyak seribu dirham.

Makanya Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, merasa berhutang budi kepada orang-orang yang mengingatkannya tentang aibnya. Ketika beliau menjadi Amirul Mukminin beliau pernah mengatakan:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً أَهْدَى إِلَيْنَا عُيُوْبَنَا

“Semoga Allah merahmati seorang yang telah menunjukkan aib-aib kami pada kami.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin: 196)

Hal ini pun menjadi sebuah hal yang diwarisi pada orang-orang shalih terdahulu, mereka sangat senang jika ada orang yang mengingatkan aib mereka. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

وَقَدْ كَانَ السَّلَفُ يُحِبُّوْنَ مَنْ يُنَبِّهُهُمْ عَلَى عُيُوْبِهِمْ

“Dahulu para salaf merasa senang jika ada seseorang yang mengingatkan kepada mereka tentang aib-aib mereka.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin: 196)

Oleh sebab itu, tidak perlu kita bersedih jika ada yang bilang kita begini dan begitu, aib kita ini dan itu, dst. Katakan saja seperti apa yang dikatakan oleh Zainal Abidin; apa yang tidak mereka ketahui jauh lebih banyak. Berterima kasihlah kepada mereka, karena telah mengingatkan, jadikan itu sebagai muhasabah, tinggal sekarang mari kita perbaiki diri kita.

  1. Menilai manusia secara lahir saja

Lihat:

Arsip Pembahasan Kaidah Qur’an

Selesai disusun di Komplek Pondok Jatimurni Bekasi

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !