Antara Akal & Sikap Tunduk Pada Wahyu – Khutbah Jum’at

Tema khutbah kali ini membahas hubungan antara akal & sikap tunduk pada wahyu Allah

KHUTBAH PERTAMA

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ ، أَيُّها المُسْلِمُونَ ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله فقد فاز المتقون قال الله: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah

Akal adalah salah satu anugerah Allah yang terbesar. Akal inilah yang menjadikan manusia berbeda dan lebih mulia daripada sekian banyak makhluk Allah lainnya. Allah memberikan akal kepada manusia agar mereka dapat hidup dengan baik. Lebih dari itu, agar mereka mengenal siapa Tuhan pencipta mereka yang harus ditaati dan diibadahi.

Karenanya, di dalam Al-Quran ketika Allah mengabarkan tentang manusia-manusia celaka pendosa penghuni neraka yang keadaan mereka lebih buruk dari binatang ternak salah satunya karena mereka tidak mau menggunakan akal untuk mengenal Allah dan memahami ayat-ayatNya. Allah berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (akal), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf: 179)

Bahkan, Allah telah mengabarkan bahwa penyebab penyesalan orang-orang kafir ketika mereka dimasukkan ke dalam neraka salah satunya karena mereka tidak mau menggunakan akal mereka. Allah berfirman:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ فَسُحْقًا لِّأَصْحَابِ السَّعِيرِ

Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Al-Mulk: 10-11)

Namun, ada satu hal yang juga perlu kita ketahui terkait hubungan antara akal dan wahyu yaitu akal digunakan untuk membantu memahami wahyu (Al-Quran dan Sunnah), bukan untuk menghukumi keduanya. Akal itu berada di bawah sikap “Tunduk kepada wahyu (dalil)”. Ketika ada wahyu yang belum bisa dipahami oleh akal maka terima dan imani saja, tunduk kepada dalil. Karena wahyu pasti benar sedangkan akal manusia terbatas.

Ketika seorang lebih mendahulukan akal dari pada dalil. Dalam artian ketika ada dalil yang bisa dicerna oleh akalnya ia terima namun jika tidak bisa dicerna dan dipahami oleh akalnya, ia tolak. Maka ini adalah ciri-ciri orang yang sesat seperti kaum Mu’tazilah. Mereka lebih mendahulukan akal daripada wahyu ilahi.

Lihatlah apa yang mereka perbuat dengan hadits yang tidak diragukan lagi keabsahannya karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari.  Rasulullah bersabda:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً

“Jika ada seekor lalat yang terjatuh pada minuman kalian maka tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada satu sayapnya penyakit dan sayap lainnya terdapat obatnya.” (HR. Bukhari: 3320)

Ratusan bahkan lebih dari seribu tahun mereka menolak dan tidak mau menerima hadits ini karena menurut mereka tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hewan yang kotor justru dicelupkan semuanya. Setelah penemuan dan penelitian modern diketahui serta terbukti kebenaran hadits tersebut barulah mereka menerimanya.

Dan itu pula yang mereka lakukan sampai saat ini dengan ayat dan hadits tentang azab kubur. Mereka tidak mempercayainya lantaran tidak masuk akal, menurut mereka.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ رب العالمين أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه، أما بعد

Jama’ah kaum muslimin, sidang jum’at rahimakumullah….

Mendahulukan wahyu, tunduk kepada dalil adalah konsep hidupnya orang-orang yang selamat. Para sahabat Nabi semua menggunakan konsep ini dalam beragama.

Lihatlah apa  yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Disaat banyak manusia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Nabi, bahwa beliau diperjalanan pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lalu pulang dan sampai di Mekkah kembali pada waktu subuh. Sesuatu yang tidak masuk akal pada masa itu, bagaimana mungkin itu terjadi sedangkan jarak antara keduanya lebih dari 1000 km. Sekalipun menggunakan kendaraan yang tercepat pada masa itu (unta atau kuda terkencang) tetap saja mebutuhkan 2 bulan perjalanan yaitu 1 bulan perjalanan pergi dan 1 bulan perjalanan pulang. Akan tetapi Abu Bakar mengatakan:

لَئِنْ قَالَ ذَلِكَ لَقَدْ صَدَقَ

Jika ia (Rasulullah) berkata demikian maka ia benar. (Ash-Shahihah: 306)

Umar bin Khaththab pernah mengatakan ketika mencium Hajar Aswad:

وَاللَّهِ إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَإِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَأَنَّكَ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Demi Allah aku menciummu padahal aku sangat tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau mudharat. Kalaulah bukan karena aku pernah melihat Rasulullah menciummu, aku tidak akan menciummu.” (HR Bukhari: 1532, Muslim: 1270)

Ali bin Abi Thalib mengatakan:

 لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Kalau seandainya agama ini dibangun berdasarkan akal, maka sungguh bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas dari kedua sepatunya.” (HR. Abu Dawud: 162, Shahih Abi Dawud: 153)

Kesimpulannya, akal adalah anugerah terbesar Allah gunakan untuk memahami ayat-ayatNya. Jika ada wahyu yang belum bisa dipahami oleh akal maka terima dan imani saja dahulu, nanti akan datang masanya dimana semua itu akan dapat dipahami. Tunduk kepada wahyu itulah konsep hidup seorang mukmin.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

ربنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْن

Lihat:

Arsip Khutbah Maribaraja.Com

Selesai disusun di Komplek Pondok Jatimurni Bekasi

Zahir Al-Minangkabawi

Follow fanpage maribaraja KLIK

Instagram @maribarajacom

Zahir Al-Minangkabawi

Zahir al-Minangkabawi, berasal dari Minangkabau, kota Padang, Sumatera Barat. Pendiri dan pengasuh Maribaraja. Setelah menyelesaikan pendidikan di MAN 2 Padang, melanjutkan ke Takhasshus Ilmi persiapan Bahasa Arab 2 tahun kemudian pendidikan ilmu syar'i Ma'had Ali 4 tahun di Ponpes Al-Furqon Al-Islami Gresik, Jawa Timur, di bawah bimbingan al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, Lc hafizhahullah. Kemudian melanjutkan ke LIPIA Jakarta Jurusan Syariah. Sekarang sebagai staff pengajar di Lembaga Pendidikan Takhassus Al-Barkah (LPTA) dan Ma'had Imam Syathiby, Radio Rodja, Cileungsi Bogor, Jawa Barat.

Related Articles

Back to top button
WhatsApp Yuk Gabung !